Memiliki anak usia balita menghadirkan tantangan sendiri bagi orang tua. Masa balita menjadi masa yang menentukan, karena di masa itu seorang anak akan belajar dan mengingat banyak hal. Pada masa itu nilai-nilai kebaikan hendaknya terus kita semai dan ajarakan, seperti nilai keadilan, kejujuran, kerukunan, toleransi dll.
Kita tahu, persoalan intoleransi menguat beberapa tahun ini dan menjadi permasalahan bangsa. Pernah kita dengar seroang ibu melarang anaknya di sekolah berteman dengan anak dari agama lain. Pernah pula kita dengar sekelompok warga mengusir warga lain yang berbeda agama atau berbeda suku. Sikap intoleran ini lahir dari sifat merasa paling benar sendiri dan menolak kemajemukan.
Membicang toleransi, saya teringat cuitan Qaris Tajudin, jurnalis Tempo, di Twitter beberapa hari lalu. Ia membuat utas yang menceritakan tentang bagaiamana seorang anak merundung temannya di sekolah hanya karena ia tak berhijab. Melali akun @QarisT, Qaris mengawali utas dengan pertanyaan penting: Anak teman di Solo di-bully karena ke sekolah gak pake jilbab. Seblmnya dia cuek, tp kemarin dia pulang nangis krn teman2nya blg kalo ortunya salah didik. Membolehkan dia tdk berhijab. Dikatakan orang tua macam apa? Knp pendidikan agama buat anak pemarah & intoleran?
Ya, pertanyaan itu cukup penting: apakah pendidikan agama menjadikan pemarah dan intoleran? Seharusnya tidak, tapi kenyataanya masih banyak perilaku intoleran yang bahkan sudah dilakukan oleh anak-anak. Qaris menuturkan, ia kerap bertemu dengan anak yang belajar agama tapi pemarah. Menurutnya, penyebabnya bisa macam-macam. Salah satunya adalah karena orang tua yang terlalu keras, obsesif dan penuh target saat mengajarkan agama. Cara mendidik yang penuh tekanan itu pada akhirnya menjadi semacam “bumerang”.
Saya memiliki anak usia tiga tahun. Tentu saya memikirkan bagaiamana cara “mengajarkan agama” kepada anak saya agar kelak ia jauh dari cara beragama yang kaku dan intoleran.
Anak saya, sebagaimana anak seusianya gemar menonton serial kartun Upin Ipin. Sebagai orang tua, saya kira, siapapun ingin berlaku selektif pada tontonan anak. Saya berupaya menemani anak saya ketika menonton televisi.
Mulanya saya agak resah juga karena bahasa percakapan anak saya jadi sangat Malaysia sekali, terpengaruh Upin Ipin. Tapi, dari segi cerita, saya melihat Upin Ipin masih “baik-baik saja”. Bahkan saya melihat Upin Ipin ini memberi pelajaran yang cukup baik tentang toleransi.
Pada episode Gong Xi Fa Cai misalnya. Meimei jadi sorotan utama di episode itu karena sedang merayakan Imlek. Opah menunjukkan sikap bijak dengan mengizinkan cucunya datang ke rumah Meimei. Di rumah Meimei, Upin Ipin dan kawan-kawannya tampak menikmati perayaan Imlek.
Saya kira episode itu merupakan contoh yang baik tentang bagaimana cara berinteraksi dengan seseorang dari agama atau suku lain. Anak diajarkan bahwa dunia ini tidak hanya diisi oleh orang-orang yang sama agamanya atau sukunya. Sehingga ketika dewasa kelak ia siap dengan perbedaan dan tidak bersikap eksklusif.
Di episode lain, Upin Ipin juga turut dalam perayaan Divapali. Upin Ipin bahkan membantu Uncle Mutu menyiapkan acara itu. Apa yang dilakukan Upin Ipin, atas seizin Opah, saya rasa mejadi tabungan pengetahuan bagi anak-anak yang menontonnya. Tentu orang tua harus mengawal har tersebut di dunia nyata (bukan televisi/tontonan). Anak diberi kebebasan bermain dengan teman-teman lintas agama dan suku. Agar tidak kita dengar lagi maraknya intoleransi di masyarakat.
Sejak awal Upin Ipin memang menghadirkan keragaman Malaysia melalui tokoh-tokohnya yang multietnis. Interaksi antar tokoh terjalin baik dalam harmoni Kampung Durian Runtuh. Menjadi teladan tentang bagaiama hidup dalam keberagaman. Kita berharap muncul lebih banyak tayangan semacam itu di televisi kita.