Begini Kisah Seorang Jemaat Ahmadiyah Melawan Stigma

Begini Kisah Seorang Jemaat Ahmadiyah Melawan Stigma

Begini Kisah Seorang Jemaat Ahmadiyah Melawan Stigma

Malam itu, kami ngopi di salah satu kafe terkenal di Yogyakarta untuk sekedar kongkow dan bertukar cerita. Shakeel Ahmad, begitulah ia biasa memperkenalkan namanya, adalah seorang jemaat Ahmadiyah di Indonesia yang terafiliasi kepada Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI).

Awalnya, saya sangat berhati-hati cum kikuk jika harus menyinggung Ahamadiyah dalam setiap obrolan. Pasalnya, dalam dua dekade terakhir stereotipe jamaah Ahmadiyah cenderung negatif dalam hal kehidupan sosial beragama di Indonesia. Aliran yang disesatkan MUI lewat Fatwa MUI No. 11/Munas VII/ MUI15/ 2005 ini mendapat stigma buruk luar biasa yang membuat mereka sering menjadi korban diskriminasi bagi ormas-ormas Islam garis keras. Setting historis ini yang kemudian membuat saya harus cermat menata kata ketika mengorbol dengan Shakeel tentang Ahmadiyah.

Namun sikap kikuk saya itu tidak bertahan lama. Shakeel menangkap gelagat saya.

“Santai saja mas haris, kalau mau nanya, nanya aja, saya mah seloww.”

Saya haha hihi saja mendengar itu.

Bayangkan saja, Anda duduk di sebelah umat Islam yang bisa dibilang paling terdiskriminasi di Indonesia. Bahkan sejak sebelum era reformasi.

“Kalau di Ahmadiyah itu nikahnya harus sesama Ahmadiyah atau bisa di luar Ahmadiyah, kil?” saya membuka obrolan dengan topik yang saya pikir asik.

“Dianjurkan sih yang dari golongan Ahmadiyah ya mas, soalnya daripada ada masalah yang berkelanjutan nanti.”

Shakeel lalu merefleksikan kelompok Ahmadiyah yang ada di sekitarnya. Meskipun ia masih mengamini ada beberapa pemeluk Ahmadiyah yang menikah dengan orang di luar kelompoknya, dengan orang Muhammadiyah misalnya. Topik ini sekaligus membuka tabir eksklusifitas kelompok Ahmadiyah, bahkan dari aspek memilih pasangan sekalipun.

“Kami sangat tertutup sebenernya mas. Kami sering kali menutup diri dari dunia luar. Bahkan di kalangan teman-teman kelas sekalipun,” ujarnya.

“Jadi, apakah penganut Ahmadiyah memiliki sikap serupa?” tanya saya.

“Enggak mas. Tapi kebanyakan orang Ahmadi seperti itu. Namun, saya seperti kurang bersepakat dengan sikap eksklusifitas macam itu.” Ia merespon.

Tidak seperti mayoritas penganut Ahmadiyah lainnya, Shakeel sangat membuka diri dengan sesama. Meskipun ia tidak memungkiri bahwa ia pernah menutup identitasnya ketika kuliah S1. Namun itu terjadi hanya karena kekhawatiran jika identitasnya terbuka, maka akan berpengaruh pada karir akademiknya. Ia takut bahwa identitasnya akan mempengaruhi kelancaran studi, bahkan kelul usannya.

“Saya awalnya memang menutup diri mas ke semua kalangan di Prodi saya. Saya baru berani membuka identitas ketika saya sudah menginjak semester akhir,” kenangnya.

Shakeel menambahkan, “saya tu bodo amat mas, mau kek gimana orang-orang sama saya. Tapi yang penting, urusan kuliah jangan sampe rusak gara-gara saya Ahmadi. Makanya saya tutup dulu.”

Ketika saya bertanya mengenai alasan keterbukaannya, Shakeel menyebut jika ia hanya ingin bergaul dengan siapapun tanpa pandang bulu, pun sebaliknya ia ingin bersosial dengan lingkungan yang tidak melihat dia siapa.

“Saya sebenarnya engga setuju mas sama sikap eksklusifitas sebagian penganut Ahmadiyah. Menurut saya, orang-orang Ahmadi itu baiknya ya bergaul saja sama siapa pun, melebarkan jaringan, berinteraksi dengan yang berbeda aliran, cuman ya ga perlu bahwa nama Ahmadiyah, mereka cukup jadi diri mereka sendiri aja.”

“Jadi orang-orang nanti bakal liat, kok orang ini ramah ya sama tetangga, kok baik ya sama saya, itu bakal jadi kredit dan citra baik buat dirinya sendiri, citra itu nanti otomatis juga akan mempengaruhi Ahmadiyah secara umum.”

Selama hidupnya, Shakeel selalu berusaha mencari komunitas yang inklusif untuk merealisasikan keinginannya. Ia merupakan mahasiswa S1 Studi Agama-agama di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah dan S2 di Studi Agama dan Lintas Budaya (ALB) di Universitas Gadjah Mada.

“Saya nyari ekosistem yang terbuka mas. Saya sudah melirik prodi ALB sejak tahun 2016, dan saya berekspektasi bahwa ALB UGM sangat inklusif sehingga saya bisa bergaul dengan banyak perbedaan.”

“Lalu, apakah sesuai dengan yang diharapkan?” saya menyela.

“Lebih dari ekspektasi saya mas, saya bisa mengenal dan dikenal dengan baik di sini.” tukasnya.

Ia sempat menyinggung sejarah konflik antara Persis dan Ahmadiyah di masa akhir penjajahan. Pada awal masuknya Ahmadiyah ke Indonesia, para penganutnya mendapat pertentangan luar biasa dari Persatuan Islam (Persis) kala itu. Debat terbuka sering  terjadi, membahas mengenai argumen-argumen teologis dan ideologis kedua belah pihak. Misalnya  yang terjadi pada 28-29 September 1933 di Salemba. Shakeel bahkan mengafirmasi bahwa ormas yang paling menentang adanya Ahmadiyah di Indonesia adalah Persis.

“Ormas-ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU, justru tidak begitu mempermasalahkan ideologi Ahmadiyah mas. Ya walaupun tetap ada beberapa pihak dari kedua ormas itu yang tetap menentang hadirnya Ahmadiyah. Tapi dalam lintasan sejarahnya, Persis merupakan ormas yang paling mencolok dalam memerangi umat-umat Ahmadiyah,” terang Shakeel.

Uniknya, pada saat menempuh jenjang Sekolah Dasar (SD) Shakeel mengaku bahwa ia mengikuti madrasah diniyah (sekolah agama) yang kebetulan milik Persis. Namun, ia tidak mendapatkan perlakukan yang diskriminatif di sana. Saya terheran kemudian bertanya, “lho, katanya tadi Persis sangat berkonflik sama Ahmadiyah?”

Shakeel tersenyum, sembari menjelaskan, “nah itu mas pentingnya kita bersosial. Suatu kali, madrasah  diniyah saya itu punya  acara, tapi kekurangan kursi. Lalu saya tawarkan itu kursi-kursi di masjid Ahmadiyah saya, kebetulan kami punya banyak kursi untuk acara-acara kami. Ustadz madrasah saya mau, kemudian mengambil kursi di masjid Bilal JAI Sukabumi.”

Baca Juga, Alasan Kita Sulit Menerima Ahmadiyah itu Jadul

Terus terang, saya sangat menikmati cerita Shakeel pada episode itu sembari mengangguk-angguk.

“Nah dari momen pinjem kursi itu mas, ustadz madrasah Persis jadi kenal dengan ustadz di masjid Ahmadiyah saya. Mereka lalu sering berdiskusi dan berdialog. Di situlah kemudian hubungan baik terbina.” Ia melanjutkan.

Shakeel berharap bahwa citra Ahmadiyah akan membaik berkat aksi pemeluk-pemeluknya sendiri. Mereka tidak perlu menunjukkan identitasnya. Intinya hanya berusaha untuk membangun hubungan yang baik dan menjadi pribadi yang bermanfaat. Shakeel hanyalah satu dari segelintir penganut Ahmadiyah yang keluar dari zona nyaman untuk bergaul dengan yang di luar kelompoknya. Bulan depan, saya dan beberapa teman saya juga diajak oleh Shakeel untuk menghadiri peresmian Masjid Fadhli Umar, masjid yang diinisiasi oleh jemaat Ahmadiyah yang berada di bilangan Gondokusuman, Kota Yogyakarta. Ajakan yang haram untuk dilewatkan.

 

*) Artikel ini adalah hasil kerjasama islami.co dan Jaringan Nasional Gusdurian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama