Aksi demonstrasi yang dilakukan di Yogyakarta pada tanggal 23 & 30 September lalu dipenuhi poster-poster lucu nan menggemaskan, tetapi tetap tajam. Bukan hanya di Jogja, di daerah-daerah lain yang ribuan mahasiswanya melakukan demonstrasi serupa, poster-poster lucu ini juga dibawa oleh peserta aksi. Dan, aku bagian di dalamya.
Poster-poster ini menjadi ajang curhat bagi beberapa peserta aksi, karena membahas hal-hal yang secara langsung mereka rasakan, seperti kisah cinta, tugas akhir, hingga skincare. Jujur, saya tidak bisa betul-betul merasakan emosinya karena masih jomblo sejak embrio memang itu berasal dari pengalaman pribadi masing-masing mahasiswa peserta aksi.
Tagar GejayanMemanggil ini dilanjutkan dengan kegiatan Gejayan Memanggil 2 yang dilakukan oleh apa? Yah, sebab pemerintah dianggap belum cukup mengakomodir tuntutan demonstrasi ini. Jengkelin nggak sih? Bahkan pada aksi Gejayan Memanggil 2, poster-poster lucu ini masih tetap menarik perhatian. Bukan hanya poster, snapgram dari mahasiswa peserta aksi juga meramaikan media sosial. Sebagian mengunggah foto-foto keadaan selama aksi, dan sebagian lainnya mengunggah foto selfie dirinya sendiri. Bahkan, di Purwokerto, tersebar foto peserta demo yang menggunakan mobil BMW.
Snapgram mahasiswa peserta aksi ini ramai berseliweran di Instagram dan Twitter, sehingga tagar GejayanMemanggil dan GejayanMemanggil2 sempat menjadi trending topic di Twitter. Melihat snapgram mahasiswa peserta aksi ini terasa menyenangkan. Bayangkan, mereka pasti bangga sekali bisa bercerita ke anak-anak mereka di masa depan, “Nak, dulu mama ikut aksi di Gejayan tahun 2019 yang rame itu lho,” meski hanya foto saja.
Generasi analog tidak akan paham bahwa mengunggah foto-foto bahagia selama aksi ini adalah bagian dari demonstrasi. Mahasiswa-mahasiswa yang biasanya tidak pernah turun ke jalan ini sedang membantu para korlap untuk meyakinkan teman-temanku bahwa demonstrasi bisa berjalan aman. Dan memastikan suara mereka, yang bahkan tidak tergabung dalam organisasi apapun di kampus inim sama saja dengan suara aktivis yang kalau ngomong suka ndakik-ndakik.
Ya, kami, sedang menciptakan tren bahwa peduli dengan kondisi negara itu keren.
Ketidakpahaman generasi analog (baca: tua) terhadap cara demonstrasi ala sobat ambyar masa kini ini terlihat dari cara mereka merepresi aksi di berbagai daerah seperti di Jakarta, Kendari, Medan, dan daerah-daerah lainnya. Mereka menyebarkan berita bohong bahwa ambulans membawa batu dan senjata, tapi lupa pada rekam jejak digital sehingga mudah saja bagi netizen untuk mengungkap berita bohong tersebut.
Polisi juga menembakkan gas air mata dan melepaskan tembakan yang menyebabkan seorang mahasiswa peserta aksi di Kendari meninggal dunia.
Menristekdikti malah melakukan hal yang lebih tak masuk akal, yaitu menghimbau para rektor untuk meminta mahasiswa mereka tidak melakukan demonstrasi. Beliau juga bilang bahwa sebagian mahasiswa peserta demonstrasi tidak paham dengan tuntutan aksi. Pemberitaan tersebut justru membuat mahasiswa yang sedang sibuk oleh urusan percintaan yang ruwet ini jadi semangat membaca masing-masing draft RUU yang dipermasalahkan.
Sebelumnya, pada aksi Gejayan Memanggil yang pertama, rektor dari kampus-kampus besar di Jogja sempat mengeluarkan surat edaran bagi mahasiswa untuk tidak ikut dalam aksi ini, karena rawan ditunggangi oleh pihak tertentu.
Tetapi, ribuan mahasiswa tetap memadati pertigaan Gejayan-Colombo, dan aksi tetap berjalan damai. Kepada bapak-ibu dari generasi analog, kami cuma ingin bilang bahwa apa yang akan kami lakukan di kemudian hari mungkin tidak pernah Anda bayangkan. Tapi sementara, biarkan kami menikmati lagu-lagu patah hati Lord Didi Kempot dan menunggu tindak lanjut atas aksi-aksi kami.