Semua manusia diberi hawa nafsu oleh Allah Ta’ala. Dan sifat dasar hawa nafsu adalah cenderung atau menyeru kepada keburukan. Kecuali, hawa nafsu yang telah dirahmati oleh Allah Ta’ala….
“Dan aku (Nabi Yusuf As) tidak berlepas dari (hawa nafsu) ku (dari kesalahan), karena sesungguhnya hawa nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan kecuali hawa nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yusuf 53).
Kala Nabi Yusuf As digoda, ada momen nyaris saja beliau terseret godaan itu. Tetapi, berkat pertolongan Allah lah Nabi Yusuf As bisa menarik diri dari seretan hawa nafsu itu dan kembali ke jalan yang benar.
“Sesungguhnya wanita itu telah bermaksud (condong melakukan perbuatan (buruk) itu) dengan Yusuf dan Yusuf pun telah bermaksud (condong melakukan pula) dengan wanita itu jika saja dia (Yusuf) tidak melihat tanda (dari) Tuhannya. Demikianlah agar Kami memalingkan darinya (Yusuf) (dari perbuatan) kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih.” (QS. Yusuf 24).
Atas karunia pertongan Allah sehingga membuatnya terselamatkan, Nabi Yusuf As melambungkan ungkapan penuh syukur:
“Dan jika saja tidak Engkau hindarkan dariku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung (memenuhi keinginan mereka) dan tentulah aku (akan) termasuk orang-orang yang bodoh.” (QS. Yusuf 33).
Pada diri manusia, terdapat dua arah godaan: internal dan eksternal.
Godaan yang datang dari dalam diri sendiri adalah hawa nafsu itu. Godaan yang datang dari luar diri adalah bujuk rayu setan. Wujud setan ada dua jenis: setan dari jenis jin dan setan dari jenis manusia sendiri. “Dan demikianlah Kami menjadikan kepada setiap nabi (juga manusia lainnya, seperti mukminin) musuh dari golongan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An’am 112).
Poin pokok keduanya sama, menyeret manusia kepada keburukan.
Mungkin Anda punya pertanyaan, bagaimana dengan iblis yang banyak disebut dalam al-Qur’an?
Begini jawabannya: iblis adalah dari jenis jin, bukan dari jenis malaikat. “Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat, ‘Sujudlah kalian kepada Adam,’ maka bersujudlah mereka kecuali iblis. Dia (iblis) adalah dari golongan jin, ia mendurhakakan perintah Tuhannya.” (QS. Al-Kahfi 50).
Iblis, sebagaimana setan, juga berpoin pokok untuk menyesatkan manusia. Dialog panjang Allah Ta’ala dengan iblis dalam bagian akhir surat Shad memberikan keterangan luas tentang hal tersebut. Saya nukil sebagiannya saja:
“Iblis menjawab: ‘Demi KekuasaanMu, aku akan menyesatkan mereka (manusia) semuanya, kecuali hamba-hambaMu yang mukhlis di antara mereka (manusia).’ Allah berfirman: ‘Maka yeng benar (adalah sumpahKu) dan hanya kebenaran itulah yang Kukatakan. Sungguh Aku pasti akan memenuhi neraka Jahannam dengan jenis kamu (iblis) dan orang-orang yang mengikuti kamu (iblis) di antara mereka semuanya.’” (QS. Shad 82-85).
Sekarang coba bandingkan keterangan di atas dengan dalil berikut, insya Allah akan terciduk kejelasan lebih jauh perihal perbedaan godaan hawa nafsu dan godaan setan/iblis itu.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri (orang) memperhatikan (muhasabah, introspeksi) terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk (kebaikan) hari esok (esok di dunia atau akhirat), dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Alllah Maha Mengetahui terhadap apa yang kalian lakukan. Dan janganlah kalian menjadi seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, (hingga) lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri (bahwa mereka adalah manusia dan hambaNya/makhlukNya). Mereka itulah orang-orang yang fasik. Tidaklah sama penghuni-penghuni nereka dengan penghuni-penghuni surga; penghuni-penghuni surga itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr 18-20).
Tekanan pada “orang-orang yang lupa kepada Allah, (hingga) lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri (bahwa mereka adalah manusia dan hambaNya/makhlukNya)” merupakan wilayah internal diri kita, wilayah hawa nafsu kita.
Mungkin saja dulunya seseorang digoda oleh setan untuk tidak menunaikan shalat, misal, dengan dipalingkan kepada dugem atau keplekan atau yangyangan, lalu ia terseret. Itu pintu masuknya setan.
Lantas, ketika perbuatan buruk itu (artinya poin setan telah tercapai) terus dibiasakan oleh seseorang tersebut, itu telah merasuk ke seretan hawa nafsunya sendiri. Setan sudah “libur kerja” alias prei di sini. Jika hawa nafsu terus menjerembabkannya begitu, hingga membuat seseorang itu sampai pada keadaan hati tak lagi merasa bersalah dan berdosa dalam meninggalkan shalat, sempurnalah seseorang itu telah lalai dan apla bahwa dirinya adalah sekadar manusia yang fana, makhluk yang sewajibnya menyembah Allah Ta’ala –di antaranya dengan menjalankan shalat. Itu telah menandakan betapa ia sepenuhnya telah dikuasai hawa nafsunya. Maka lazim keadaan begitu disebut “hidup hanya dengan hawa nafsunya”. Dan itu adalah derajat manusia yang paling rendah, bahkan lebih rendah dibanding binatang –ulaika kal an’am bal hum adhal ulaika humul ghafilun (QS. Al-A’raf 179). Tentu, maksud “derajat paling rendah” tersebut tidaklah sama dengan derajat paling rendahnya orang yang masih beriman kepada Allah Ta’ala….
Setan tak lagi perlu kerja keras untuk menggelincirkan manusia yang gemar (dan semakin terseret dalam kegemaran) memamerkan auratnya, misal lainnya. Makin lama ia membiarkan dirinya tenggelam dalam pelanggaran syariat menutup aurat itu, maka hwa nafsunyalah yang akan terus menyurukkannya ke jurang perbuatan-perbuatan maksiat itu. Hawa nafsunya menjadi nahkodanya. Lantas, tak cukup stop di situ saja, hawa nafsu lalu menjadikannya bangga pada perbuatan pamer aurat itu–dengan segala macam argumen, bahkan dalil—hingga makin lama makin sempurnalah ia lupa dan lalai bahwa ia adalah manusia yang semestinya punya rasa malu.
Pudarnya rasa malu, berganti kebanggaan pada ekspos tubuhnya, menandakan telah pudarnya fitrah kemanusiaan pada dirinya. “Tidaklah orang-orang dzalim ketika menguatkan (mengatakan atau menjajikan kebenaran) satu kepada lainnya kecuali tipu daya belaka.” (QS. Fathir 40).
Dalam pemahaman lainnya lagi, godaan iblis/setan itu memiliki karakter berbeda dengan godaan hawa nafsu. Jika godaan setan berorientasi pada menggelincirkan manusia dari kepatuhan pada perintah Allah (misal shalat), maka ketika seseorang telah tergelincir di titik itu saja ataupun titik-titik ketergelinciran lainnya, seperti menunda-nunda shalat atau menggampangkan shalat, itu sudahlah selesai misi setan.
Tetapi bagi hawa nafsu, apa yang didorongkannya untuk berbuat keburukan, maka akan terus diderakannya pada sosok bersangkutan hingga benar-benar terwujud persis dan bahkan terus lebih besar dan dalam lagi. Misal, hawa nafsu mengentengkan shalat takkan berhenti di situ saja walau itu telah terjadi; hawa nafsu akan terus menerkamnya dan menyurukannya lebih jauh dan dalam lagi, hingga misal berwujud argumen-argumen yang membenarkannya untuk terus menyepelekan shalat atau mempermainkannya.
Mungkin sekarang Anda punya sebuah penyimpulan: kalau begitu, godaan hawa nafsu tampaknya jauh lebih hebat dibanding godaan setan?
Jawaban saya: tanpa bermaksud mengentengkan hebatnya bujuk rayu setan untuk menenggelamkan kita ke dalam laku keburukan dan kemaksiatan, Kanjeng Nabi Saw telah bersabda pasca Perang Badar: “Perang yang lebih hebat (dibanding perang ini, Perang Badar) adalah perang melawan hawa nafsu.”
Kini, perihal hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Clue-nya jelas: (1) semua kita disemati hawa nafsu oleh Allah Ta’ala–untuk menguji kita siapa yang paling baik amal perbuatannya, dan (2) hawa nafsu senantiasa mendorong kepada keburukan kecuali hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah Ta’ala.
Tentulah semua kita menyimpan pertanyaan: bagaimana cara meraih derajat hawa nafsu yang dirahmati oleh Allah Ta’ala?
Pertama, mari yakinlah sepenuh keyakinan tauhid yang haq bahwa Kemahakuasaan Allah Ta’ala yang meliputi segala apa pun, tentu pula meliputi urusan penundukan hawa nafsu pada diri masing-masing kita, merupakan kunci pokok dan sejati bagi pengaruniaan derajat yang kita impikan itu. Nabi Yusuf As diberi “tanda” oleh Allah Ta’ala, dan seketika hawa nafsunya yang telah condong kepada bujuk rayu syahwat itu terpalingkan. Maka senantiasa memohon perlindungan, penjagaan, dan pertolongan Allah menjadi kemutlakan rohani dan laku kita untuk semakian luas dirahmatiNya dalam urusan hawa nafsu ini.
Kedua, Al-Qur’an dalam surat Al-Hasyr di atas membahasakan dalam dua bidang: “bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri (orang) memperhatikan (muhasabah, introspeksi) terhadap apa yang telah diperbuatnya untuk (kebaikan) hari esok (esok di dunia atau akhirat).” Satu, bertakwa kepada Allah Ta’ala. Takwa berarti keselarasan diri dengan syariatNya –menjauhi laranganNya dan menjalankan perintahNya. Dua, muhasabah, yakni memaksimalkan kajian nalar logis yang bersifat evaluatif dan introspektif terhadap segala apa yang telah kita lakukan di masa lalu demi meraih pemahaman-pemahaman positif sebagai bekal bagi hari-hari eosk. Terus-menerus muhasabah sama dengan terus-menerus memperbaiki diri, tanpa henti hingga akhir hayat, dan proses ini jelas memerlukan penambahan ilmu dan pemahaman –maka tegasnya, kata Abah Gus Mus, “Jangan pernah berhenti belajar.”
Ketiga, ujung dari surat Yusuf 53 tentang hawa nafsu itu begini: “Inna rabbi ghafurun rahim, sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Kata “Ghafur” seyogianya kita refleksikan dalam rupa permohonan ampunan, istighfar, kepada Allah Ta’ala. Kanjeng Nabi Saw yang ma’shum beristighfar 100 kali setiap hari. Tentu, makna istighfar beliau Saw bukan dalam nisbat dosa. Tidak. Tetapi, beliau Saw mendawuhkannya dalam riwayat Sayyidah Aisyah sebagai “ungkapan syukur kepada Allah Ta’ala”. Kini, bayangkan pada derajat kita, seberapa intens dan intimkah kita beritighfar setiap hari di antara jubelan dosa yang terus-menerus kita lakukan, bahkan kerap konsisten dan penuh ghirah, dengan sadar maupun tidak? Jangankan kok ke level ungkapan syukur, istighfar kita tentulah nisbat penuhnya kepada kebaknya dosa-dosa kita. Maka logikanya, seyogianya, kita mesti lebih intens dan karib lagi dengan istighfar. Seyogianya manusia….
Dalam kitab Nashaihul ‘Ibad, hadis Kanjeng Nabi Saw menuturkan bahwa siapa yang melazimkan istighfar, di antara barakahnya ialah Allah akan mangaruniakan pertolongan-pertolongan kepadanya dari arah yang tak terduga-duga (oleh akal logis manusia). Maka bukankah melazimkan istighfar dalam konteks munajat diparing rahmat pada hawa nafsu kita selaras betul dengan hadis tersebut? Tentu saja. Asma Ghafur Allah Ta’ala dan laku istighfar kita sepenuhnya sebaris seshaf.
Sebagai tambahan keterangan, Asma’ “Ghafur” mengandung lingkup makna yang berbeda dengan Asma “Afuw” –kendati keduanya dalam bahasa kita sama-sama diterjemahkan “Maha Memaafkan atau Maha Mengampuni”.
Afuw adalah memaafkan atau mengampuni dengan sebatas itu belaka. Bagaikan, tamsil analogisnya, Anda kadung berbuat salah kepada istri/suami, lalu Anda minta maaf, dan dimaafkannya. Sudah, selesai.
Ghafur mengandung lingkup dan ejawantah yang lebih jauh dan luas lagi dibanding sekadar “memaafkan dan mengampuni”. Ghafur adalah Memaafkan dan Mengampuni yang sekaligus “Mengarahkan, Meluruskan, Mentaufiki, serta Mengarunikan beragam nikmat lainnya”. Bayangkan, secara tamsil analogisnya, Anda kadung berbuat salah kepada istri/suami, lalu Anda minta maaf, ia bukan hanya memaafkan kesalahan itu, melainkan juga lebih lanjut memberikan suguhan makan yang enak, senyum yang manis, elusan yang hangat, tidur yang lelap, dan seterusnya. Sungguh betapa dalamnya kasih sayang yang begitu rupa….
Kadang, Asma “Ghafur” disejajarkan dalam al-Qur’an dengan Asma “Syakur”, misal dalam surat Al-Fathir 34: “Sesungguhnya Tuhan kami Maha Pengampun lagi Maha Menerima.” Ya, Asma “Syakur” paling tepat diterjemahkan “Maha Menerima” –dalam bahasa Jawa lazim disebut “nerimaan, nerimakke, atau nyukupke”. Ayat tersebut (Al-Fathir 34) berkonteks tentang ungkapan syukur yang amat mendalam dari orang-orang yang lalu beruntung dikaruniaiNya surga (RidhaNya) setelah melalui hisab yang tak ringan di Mahsyar. Ungkapan syukur mendalam mereka sampai kira-kira berejawantahkan sejenis nada ini:
“Sungguh, ya, betapa Allah Ta’ala adalah Sang Maha Penguasa yang keluasan ampunanNya amat tak terbatas, bahkan sekalipun salah-salah dan dosa-dosa kita selama hidup di dunia tak terperikan sesaknya. Sungguh, ya, betapa Allah Ta’ala adalah Sang Maha Penguasa Yang Maha Menerima betapa pun sangat kurang dan minimnya amal saleh kita serta Yang Maha Menerima betapa pun sangat tak terkiranya salah dan dosa kita.”
Maka, misal, bila ada seseorang yang dulunya ahli maksiat, luar biasa sekalipun dalam mata manusia, lantas di suatu masa ia menjadi ahli masjid, ahli ilmu dan amal, maka itulah contoh ejawantah Asma Ghafur Allah Ta’ala –diampuni, sekaligus dibenarkan dan diluruskan dengan dihidayahi dan ditaufiki; sementara segala dosa dan maksiat di masa lalu umpamapun sesungguhnya tak tertutupi oleh segala amal saleh yang dilakukan kemudian, maka lubang hitam itu begitu saja “Diterimakke” oleh Allah Ta’ala Yang Maha Menerima (Syakur).
Berikutnya, Asma Rahim pada ayat tersebut adalah sifat Welas Asih dan Kasih Sayang Allah Ta’ala (Kerahmatan). Perihal Asma Rahim, di sini, saya takkan menjabarkannya dalam konteks hikmah Ar-Rahman Ar-Rahim –sebagaimana lazim diulas serentak dalam kajian kalimat basmalah. Di sini, saya ingin mengajak Anda memahami “Rahim” pada wilayah ejawantah lelaku kita saja, sebagai bagian dari pancaran Cahaya Rahim Allah Ta’ala.
Rahim adalah Welas Asih, Kasih Sayang; pada konteks kita, misal, rahim pada diri seorang ibu digambarkan sebagai tempat yang hangat, mencukupi segala kebutuhan pertumbuhan janin, selalu dibawa ke mana saja, dan diemong terjaga terpelihara penuh.
Al-Qur’an juga menyematkan sifat rahim ini kepada kaum mukminin –“ruhama-u bainahum, berkasih sayang sesama mereka (mukminin).” (QS. Al-Fath 29). Ejawantahnya pada tataran manusia tentu tak boleh dimafhumi sebagaimana Asma Rahim Allah Ta’ala. Ejawantahnya dalam mafhum manusia selayaknya rahim yang “hangat” tersebut.
Dulu, awal Kanjeng Nabi Saw hijrah ke Madinah, beliau Saw mempersaudarakan kaum Muhajirin dengan kaum Anshar. Di antaranya adalah antara Abdurrahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi.
Sa’ad bin Rabi yang kaya raya berkata kepada Abdurrahman bin ‘Auf, “Aku memiliki banyak harta. Separuhnya kuberikan padamu.”
Abdurrahman bin ‘Auf menjawab, “Terima kasih. Tetapi, janganlah begitu. Tunjukkan saja padaku di mana pasar Ukasy.”
Perhatikan pada sikap keduanya yang saling berwelas asih tanpa batas. Penuh kesalinghangatan. Si kaya raya Sa’ad bin Rabi tanpa pamrih rela menolong saudaranya seiman dengan mengaruniakan separuh hartanya, pun sebaliknya Abdurrahman bin ‘Auf dengan penuh cinta menolak halus pemberian luar biasa itu.
Begitulah tamsil ruhama’ bainahum yang sungguh menggetarkan jiwa….
Nah, pada konteks hawa nafsu yang dirahmati ini, di antara indikasinya ialah meruahnya rasa dan sifat rahim tersebut: welas asih, kasih sayang, ngemong, dan cukup-mencukupi atau tolong-menolong. Kesalinghangatan….
Marah, misal, merupakan contoh hawa nafsu yang buruk –tidak dirahmatiNya; maka ketika seseorang telah berhasil merendahkan gelegar marahnya, lalu meluas di dalam hatinya berbagai rasa dan sifat kasih sayang dan lemah lembut, itulah kondisi telah terahmatinya hawa nafsu pertama tadi. Dari nafsul ammarah menjadi nafsul muthmainnah.
Pada konteks relasi Asma “Ghafur” dan “Rahim” –sebagaimana disematkan surat Yusuf ayat 53 itu—kini kita bisa menarik pemahaman begini di sini: “Tatkala hwa nafsu yang buruk sedang mengusasi diri kita, misal marah atau benci atau ragam egoisme, maka bersegeralah taqarrub kepadaNya dengan (di antaranya) beristighfar kepadaNya. Lantas, ketika rasa-rasa dan sifat-sifat buruk itu meluruh, itulah fase atau kondisi hawa nafsu telah dirahmatiNya. Bukankah kini menjadi logis sekali untuk memafhumi bahwa (di antara) jalan untuk meraih karunia RahmatNya kepada hawa nafsu kita ialah dengan melazimkan istighfar itu? Nafsu yang membawa kepada keburukan, istighfarilah, maka Allah Ta’ala akan merahmatinya dengan menghadirkan rasa dan sifat rahim itu.”
Keempat, Imam Ghazali menasihatkan dalam kitabnya, Bidayatul Hidayah, “Wahai manusia yang papa lahir dan batin (dalam kemampuan dan kekuatan apa pun), beradablah dengan adab seorang hamba papa yang hina dan penuh dosa kepada Allah Ta’ala Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa; silakan saja bila engkau mau berusaha keras agar Tuanmu tak melihatmu di saat Dia memberikan larangan kepadamu (untuk engkau langgar) dan pula engkau mau berusaha keras agar Tuanmu tak menemukanmu di saat Dia memberikan perintah kepadamu (untuk engkau langgar)—sungguh engkau takkan pernah mampu melakukannya….”
Semoga keterangan panjang ini membawa pertambahan hudzan dari sisiNya kepada diri kita; semoga hawa nafsu kita dikaruniaiNya kerahmatan dari sisi Ghafur dan Syakur-Nya.
Wallahu a’lam bish shawab.