Saat itu istri bergumam. Ia sudah tiga hari telat dari siklus haid biasanya. Kami memang menikah saat istri sedang haid. ‘Sebelumnya pernah telat?’ tanyaku. Dia menjawab justru biasanya maju. Misal, di bulan Januari tanggal 30, di bulan Februari bisa di tanggal 28.
“Ya kalau itu wajar karena siklus bulan kan pakai penanggalan hijriyah,” ujarku.
Saya pun bertanya-tanya, apakah istri hamil? Tapi kenapa tidak mual-mual seperti di sinetron? Beberapa hari yang lalu bahkan kami baru melakukan perjalanan di Jakarta dan semua baik-baik saja.
Saya pun tidak mau menduga-duga, di sisi lain ingin sekali menyarankan istri untuk testpack. Belum sempat saya ucapkan, tiba-tiba istri meminta saya untuk membelikan testpack itu. Saya pun langsung mencarinya di apotek. Ada dua jenis yang harga ekonomis dan wajar. Katanya, waktu tes terbaik adalah setelah bangun pagi.
Jujurly, setelah salat subuh, saya dag dig dug. Bagaimana kalau positif? Ya alhamdulillah. Perlahan saya justru khawatir kalau hasilnya negatif. Namun saya kembali diingatkan bahwa anak adalah titipan. Kalau memang Allah memberikan titipan pada saat ini, bismillah kami akan menjaga dan merawatnya semaksimal mungkin. Tapi kalau belum, berarti belum rejeki.
Istri saya menyodorkan dua alat itu. DUA GARIS MERAH! Di dalam hati, saya ingin menjerit bahagia. Alhamdulillah… Namun saya tahan agar tidak terlalu euforia. Bukankah ini hanya tes urine? Bagaimana kalau hasilnya tidak akurat? Apalagi alatnya murah. Ya kurang lebih seperti tes Covid-19, ada yang bagus, ada pula yang biasa saja.
Yang mencurigakan salah satu alat garisnya agak samar, meski secara kasat mata bisa terlihat dua garisnya. Ternyata istri punya pendapat yang sama. “Beli alat yang lebih proper gimana?” Saya pun mengiyakan dan membeli alat yang harganya lumayan.
Di hari berikutnya, setelah salat subuh, istri ke kamar mandi lagi. Saya lebih dag dig dug. Jangan-jangan kemarin alatnya yang tidak bagus? Ya Allah, berikanlah hasil terbaik.
Setelah beberapa saat, istri berjalan ke kamar sembari menunjukkan hasil. Tetap, dua garis merah. Kami pun berpelukan tanpa berkata-kata. Di satu sisi ada kebahagiaan besar yang melingkupi. Di sisi lain saya harus bersiap berubah status dari suami menjadi ayah.
“Aku siap gak ya?” tanya istri.
Saya pun terus meyakinkan bahwa kita harus siap karena Allah sudah memberi tanda. Selanjutnya, kita harus bisa menjadi orang tua yang baik bahkan sejak si jabang bayi baru dipersiapkan.
Kami pun mencari klinik di dekat rumah. Sekadar memastikan. Kami bersepakat untuk tidak memberi info apa pun ke keluarga sampai ada titik terang.
Ada sebuah formulir sederhana yang perlu diisi. Siapa nama suaminya, kapan haid terakhir, kehamilan yang ke berapa dan sebagainya. Petugas klinik pun mengarahkan istri untuk menuju sebuah ruangan. Di sana, ia mendapat konsultasi dari dokter dan diperiksa menggunakan ultrasonografi (USG).
“Sudah ada penebalan dinding rahim,” ujar dokter perempuan, sembari menunjukkan hasil pemeriksaan USG.
Ia menjelaskan bahwa itu merupakan indikasi adanya pembuahan.
“Untuk sementara jangan sampai kecapekan. Kurangi aktivitas. Dua minggu lagi coba periksa lagi untuk memastikan ada isinya atau tidak,” jelasnya.
Kata dokter, usia kehamilan istri saya sudah lima minggu.
Lho, kok lima minggu? Padahal saat periksa, itu adalah minggu keempat pernikahan kami. Ternyata, usia kehamilan dihitung pada hari pertama haid terakhir. Karenanya, hari perkiraan lahir (HPL) bisa maju atau mundur sekitar dua minggu.
Kata dokter, penebalan dinding rahim belum berarti mengandung. Ada banyak kasus penebalan dinding tanpa disertai hadirnya bakal janin. Itu yang disebut sebagai hamil anggur. Pemeriksaan lanjutan dimaksudkan untuk memastikan embrio berkembang di rahim tersebut.
“Saya beri obat penguat rahim ya. Diminum sampai habis,” ujar dokter.
Setelah mendapat kabar dari klinik, saya kemudian berkonsultasi ke beberapa teman dekat. Ada banyak saran yang muncul, seperti periksa di dokter di sana, minum susu ini, ramuan itu, dan lain sebagainya. Kita harus pintar dalam menyaring informasi dan saran.
Pada akhirnya, kenyamanan istri menjadi pertimbangan utama. Sebab pengalaman kehamilan setiap orang berbeda.
Waktu itu sebenarnya kami merencanakan bulan madu ke sebuah tempat. Namun dokter menyarankan agar kami tidak melakukan perjalanan udara bahkan perjalanan antar kota karena kondisi kandungan masih lemah. Kami pun membatalkan demi mempersiapkan kedatangan sang buah hati.
Anggap saja hari-hari yang dilalui sebagai bulan madu. Sebagai ‘gantinya’, kami jalan-jalan di sekitaran Yogyakarta dengan merental mobil. Yang penting bukan di mana, tapi dengan siapa. Bukan begitu?