Bid’ah termasuk istilah yang sampai saat ini masih kontroversial di tengah masyarakat. Kata ini seringkali dilontarkan sebagian kelompok pada orang atau komunitas yang melakukan praktik keagamaan yang dianggap tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Menurut pemahaman kelompok ini, setiap amalan yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah termasuk bagian dari bid’ah. Sehingga, praktik tahlilan, yasinan, maulid Nabi, dan lain-lain dianggap bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.
Ada beberapa dalil yang sering digunakan kelompok anti bid’ah, di antaranya:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Jauhilah perkara baru, karena semua bid’ah adalah sesat” (HR: Abu Daud dan al-Tirmidzi)
Kalau dipahami sekilas memang hadis ini mengarahkan kita untuk menjauhi setiap perkara yang baru agar tidak terjebak dalam kesesatan. Tapi ternyata, para ulama tidak memahaminya demikian. Tidak semua perkara baru dianggap bid’ah. Ibnu Daqiq al-‘Id misalnya, dalam Syarah Arba’in al-Nawawiyyah menjelaskan:
اعلم أن المحدث على قسمين: محدث ليس له أصل في الشريعة فهذا باطل مذموم. ومحدث بحمل النظير على النظير فهذا ليس بمذموم، لأن لفظ المحدث ولفظ البدعة لا يذمان لمجرد الاسم، بل لمعنى المخالفة للسنة والداعي إلى الضلالة، ولا يذم ذلك مطلقا، فقد قال تعالى: ما يأتيهم من ذكر من ربهم محدث. وقال عمر رضي الله عنه: نعمت البدعة هذه، يعني التراويح
“Ketahuilah bahwa muhdats (perkara baru) ada dua macam: Pertama, perkara baru yang tidak memiliki landasan dalam syariat, ini dianggap batal dan tercela. Kedua, perkara baru yang memiliki kesamaan (landasan) dalam syariat. Model kedua ini tidak tercela karena kata “muhdats” dan “bid’ah” itu sendiri tidak tercela dari sisi namanya. Akan tetapi dianggap tercela bila bertentangan dengan sunnah dan membawa kepada kesesatan. Sebab itu, jangan dicela secara mutlak. Karena Allah berfirman, ‘Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka’ (QS: al-Anbiya: 2). Umar bin Khatab berkata, ‘Sebaik-baik bid’ah ini, yaitu shalat tarawih”
Ibnu Daqiq membagi bid’ah atau perkara baru menjadi dua kategori: pertama: perkara baru yang tidak memiliki landasan syariat. Ini termasuk bagian dari kesesatan karena setiap ibadah dan amalan harus memiliki landasan syariat. Mengerjakan shalat shubuh empat rakaat misalnya, ini termasuk bid’ah dhalalah karena Nabi tidak pernah mengerjakan shalat shubuh empat raka’at dan tidak ada juga dalil al-Qur’an dan hadis yang menguatkan amalan ini.
Kedua, perkara baru yang memiliki landasan syariat. Ini tidak tercela dan dibolehkan. Kata bid’ah sebetulnya bermakna netral dan tidak selalu berati negatif. Kalau perkara baru tersebut memiliki landasan dalam syariat atau bisa dianalogikan dengan kasus sebelumnya, maka tidak termasuk bagian dari kesesatan.
Misalnya, Umar bin Khatab menginstruksikan shalat tarawih berjamaah dengan satu imam di masjid. Amalan ini tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah dan baru ada pada masa Umar bin Khatab. Umar sebagai seorang sahabat terdekat Rasulullah tidak mungkin mengamalkan sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. Sebab itu, shalat tarawih yang diajarkan Umar tidak dianggap bid’ah tercela, meskipun tidak pernah dilakukan Rasulullah.
Jadi tidak semua perbuatan yang tidak dilakukan Rasulullah termasuk bid’ah tercela. Bisa jadi perbuatan itu memang baru, tapi bisa dianalogikan dengan kasus lain yang ada pada masa Rasul atau dipahami dari dalil umum yang ada dalam al-Qur’an dan hadis.
Tulisan ini pernah dimuat di NU Online