Menjadi pemimpin bukanlah perkara mudah seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Karena selain dibutuhkan jiwa kepemimpinan, pemimpin juga harus memiliki keimanan dan ketakwaan, sehingga bisa memberikan teladan kepada rakyat dan serius bekerja sebagai pelayan masyarakat, bukan hanya sekadar menikmati hasil dari pajak yang mereka bayar untuk Negara.
Ketika keimanan dan ketakwaan seorang pemimpin mulai melemah dan menurun, maka ia akan berada dalam situasi tertekan dan mudah terombang-ambing oleh berbagai kepentingan, pada saat yang sama rasa tamak terhadap kursi jabatan kian menguat dan segala macam cara akan dilakukan untuk mempertahanakan kursi jabatan yang sedang dipegang.
Biasanya, di saat-saat seperti inilah seorang pemimpin sudah memikirkan kepentingannnya sendiri dan tidak ingin lagi berpikir lurus untuk kepentingan rakyatnya. Akibatnya, segala macam kebijakan senantiasa berbau kepentingan-kepentingan yang dapat menguatkan kedudukannya. Pada akhirnya rakyatlah yang menjadi korban. Di sinilah kemudian, seorang pemimpin diuji sejauh mana ia mampu memberikan suri tauladan kepada bawahannya. Sebab, apa yang dilakukan oleh seorang pemimpin seringkali diikuti oleh bawahannya.
Jika pemimpinnya korupsi, maka bawahannya juga akan ikut korupsi. Jika pemimpinnya berbuat sewenang-wenang, maka bawahannya juga akan melakukan hal yang sama. Hal inilah yang selalu menjadi perhatian oleh Umar bin Khattab dalam memimpin Umat Islam. Sebelum memerintahkan bawahannya untuk berbuat adil, Umar sudah memberikan contoh terlebih dahulu bagaimana menerapkan keadilan. Di samping itu, Umar bin Khattab selalu memotivasi pegawainya untuk selalu mengintropeksi diri selama diamanahkan dengan sebuah jabatan.
Suatu hari, Umar penah mengirimkan surat kepada para bawahannya, mulai dari Gubernur sampai jabatan tingkat terendah. Dalam surat tersebut Umar berkata, “Hendaklah kalian untuk selalu mengintropeksi diri di saat lapang sebelum datang masa sulit. Karena barang siapa yang mengintropeksi dirinya di saat lapang sebelum datang masa sulit, maka kehidupannya penuh keridhaan dan kebahagiaan. Dan barang siapa yang diperdaya oleh kehidupan duniannya dan disibukkan oleh hawa nafsunya, maka kehidupannya akan dipenuhi dengan penyesalan dan kerugian.
Dalam riwayat lain, Umar pernah berkata, “Hitung-hitunglah amal perbuatan kalian sebelum kalian dihitung. Timbanglah amal perbuatan kalian sebelum kalian ditimbang. Perhitungan kalian kelak di akherat akan lebih ringan dikarenakan telah kalian perhitungkan diri kalian pada hari inidi dunia. Berhiaslah (persiapkanlah) diri kalian demi menghadapi hari ditampakkannya amal. Pada hari itu kalian dihadapkan kepada tuhan kalian, tiada sesuatupun dari keadaan kalian yang tersembunyi bagi-Nya.”
Demikianlah salah satu potret perhatian Umar terhadap para pegawainya. Di tengah-tengah kesibukannya dalam mengurus umat Islam, ia masih menyempatkan waktu untuk mengirim surat nasihat kepada para pembantunya yang duduk di pemerintahan. Hal itu dilakukan agar mereka selalu mengintropeksi diri dan berhati-hati dalam menjalankan amanah yang telah diberikan.