Dakwah Sebagai Arena Balapan, Betulkah Demikian?

Dakwah Sebagai Arena Balapan, Betulkah Demikian?

Benarkah dakwah dianggap sebagai arena balapan? Yuk ah lebih jernih lagi

Dakwah Sebagai Arena Balapan, Betulkah Demikian?
Salah satu pengajian khusus pemuda yang diselenggarakan di salah satu masjid di Bandung

Dalam KBBI Daring, dakwah diartikan sebagai penyiaran atau propaganda. Penyiaran agama dan pengembangannya di kalangan masyarakat; seruan untuk memeluk, mempelajari, dan mengamalkan ajaran agama.

Dalam praktiknya di masyarakat, dakwah umumnya dimaknai sebagai kegiatan ceramah, semacam penyuluhan dalam bahasa tahun 1980-an. Artinya masyarakat dan para pelaku dakwah (orang yang biasanya disebut dai) memang cenderung memfokuskan pembahasan dakwah di seputar masalah-masalah ceramah panggung dengan berbagai aspek dan perkembangnnya. Mulai dari materi, cara penyampaian hingga penyebarannya.

Zaman dulu dai disebut hebat bila ceramahnya mampu mengumpulkan puluhan massa di satu tempat, biasanya alun-alun, lapangan atau bahkan sawah yang disulap menjadi lapangan. Hanya organisasi besar dan event besar yang dapat melahirkan dai besar pada zaman ini.

Di era radio dan televisi berjaya, dai besar diciptakan oleh keduanya melalui tayangan atau siaran yang kontinue yang mampu menciptakan pemirsa atau pendengar fanatik. Tidak semua orang dapat berceramah di sana. Selayak para artis peran, dahulu orang – orang yang berceramah di radio atau televisi harus sudah memiliki kapabilitas atau kredibilitas tertentu.

Contoh dari dai besar yang dilahirkan zaman radio adalah KH Zainuddin MZ. Rekaman suaranya rutin mengalun di seluruh kota hingga pelosok desa melalui gelombang radio tiap subuh dan petang. Hampir tiada hari terlewat tanpa suaranya selama puluhan tahun.

Di hari itu di dunia dakwah berlaku satu norma, apa yang orang kota senang, orang desa juga senang. Apa yang orang desa senang, orang kota juga senang. Apa yang disukai anak muda, orang tua harus belajar menyukainya. Apa yang disukai orang tua, anak muda dipastikan menyukainya, meski mungkin terpaksa atau sekadar basa basi.

Namun tidaklah demikian di hari-hari ini. Hari di mana semua orang memiliki akses atas pilihannya sendiri, hari di mana semua orang mampu mendapatkan akses untuk menjajakan dagangan dakwahnya sendiri. Hari di mana kita mengenal lahirnya istilah baru di dunia penyiaran/dakwah: Viral.

Yah, kini kita berada di dunia Internet yang telah melahirkan kata viral. Dunia global di mana setiap individu bahkan dapat memilih dan menjajakan seleranya sendiri kepada khalayak. Masing-masing segment masyarakat secara merdeka berinteraksi tanpa adanya mobilisasi.

Maka lahirlah apa yang disebut dai Youtube, dai Sosmed. Siapa pun tiba-tiba bisa menjadi dai tanpa harus melewati seleksi apa pun. Kelompok mana pun bersaing secara sejajar tanpa harus dibedakan modal sosial, apalagi modal uang dan massa jalanan, eh lapangan.

Selayaknya artis yang tiba-tiba bisa menjadi terkenal tanpa pernah syuting sinetron satu epidode pun. Atau seperti penyanyi tanpa pernah menyanyi satu lagu pun. Tanpa Casting tanpa audisi tanpa kompetisi dan pemandu bakat.

Demikian pun dunia dakwah, siapa yang berani mempublikasikan hal-hal kontroversial, dialah yang menjadi viral. Orang mana pun yang berani memuaskan syahwat di hadapan umum maka dia kemudian dilabeli dai. Tak perlu pandai berdalil, asal berani mencaci-maki dengan modal baju koko dan peci, jadilah dai terkenal. Tak perlu susah dan lama-lama belajar agama, asal berani mengutuk pemerintah dengan dimulai assalamualaikum dan bismillah jadilah dia dianggap dai. Efeknya, besok dia dipanggil ceramah agama.

Lalu dunia balapnya di mana? Sabar bro, meski ini zaman internet, kesabaran tak boleh dibuang begitu saja. Seperti juga dunia pra internet yang belum juga sirna. Ingat koran yang masih dijajakan di trotoar? Mereka masih ada, masih juga teronggok berjemur di sudut lobby kantor atau hotel mana pun di tiap kota. Maka begitu pun dengan televisi dan radio, mereka tidak mati. Bahkan semakin menjamur.

Kamu pernah ke desa? kalo pernah, kalian pasti tahu bahwa orang-orang di desa dimanjakan oleh tayangan yang tidak pernah dilihat oleh orang kota. Demikian pun orang kota mereka melihat tayangan yang tidak bisa dinikmati oleh orang desa. Bedanya orang desa melihat dengan gratis, sedangkan orang kota harus rutin mentransfer tagihan untuk menikmati tayangan yang nyaris sama.

Demikian pun dengan kelompok-kelompok kajian atau pengajian bagi orang-orang kota yang tidak juga mampu dibunuh oleh internet. Entah kelompok mahasiswa, pegawai kantoran, arisan sosialita atau apa pun jenis pelabelannya. Intinya pengajian tatap muka tidaklah binasa. Kelompok-kelompok ini terus tumbuh dan eksis dengan segala dinamikanya. Tak perlu bertanya tentang pengajian masjid atau tempat ibadah. Kategori terakhir ini bahkan mampu membadai-gulungkan ombaknya menyapu dunia politik.

Maka, begitulah sekelumit medan dakwah yang jenisnya bermacam-macam dan membutuhkan kendaraan serta joki dengan berbagai keahlian. Ibarat dunia balap yang tak bisa disama-ratakan apalagi dicampur aduk. Pebalap off road tak perlu dipaksa melintas di sirkuit beraspal mulus, demikian sebaliknya. Yang dibutuhkan adalah mencetak sebanyak mungkin dai untuk masing-masing sirkuit, eh medan dakwah.

Mencetak artinya mengkader, membekali dengan ilmu dan membimbing dengan kemampuan teknik yang memadai. Karena kita tentu tak ingin memiliki semakin banyak dai karbitan, ustad dadakan atau muballigh yang cuma pandai melucu. ~wallahu a’lamu bisshowab.