Beberapa Hikmah Puasa

Beberapa Hikmah Puasa

Beberapa Hikmah Puasa

Jika secara terminologi fikih, puasa dipahami sebagai aktifitas menahan makan, minum, dan berhubungan intim mulai dari terbitnya fajar, hingga tenggelamnya matahari dengan niat yang ditentukan, maka puasa, jika ditelisik dari sudut pandang manajemen qalbu bisa diposisikan sebagai madrasah penempa jiwa.

Karena sejatinya puasa tidaklah terbatas pada menjaga diri dari tidak makan, minum, dan berhubungan intim saja, tapi lebih dari itu, nilai terpenting dari puasa terletak pada pengendalian diri agar tidak berkata dan berbuat yang keji, selama berpuasa, dengan tujuan, agar di hari-hari lain ketika sedang tidak berpuasa jiwa kita telah terbiasa menjauhkan diri dari perkataan dan perbuatan yang keji tersebut.

Oleh karena itu, Rasulullah SAW menegaskan bahwasannya orang yang berpuasa dengan hanya meninggalkan makan, minum, dan berhubungan intim, namun masih terus menggunjing oranglain, mendzalimi orang lain, serta melakukan hal-hal lain yang dilarang oleh syara, maka puasanya tak akan memberikan sesuatu apapun kepadanya kecuali rasa lapar dan haus saja.

Rasulullah SAW bersabda: “siapa yang tak meninggalkan perkataan dan perbuatan yang keji, maka Allah SWT tidak butuh kepada pengorbanannya untuk meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Muslim),

dalam riwayat lain Rasulullah SAW bersabda: “berapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa haus dan lapar saja” (HR. al-Darimi)

lebih lanjut, terkadang kita bertanya jika memang menahan haus dan lapar bukanlah tujuan utama dari ibadah puasa, lantas mengapa kedua hal tersebutlah yang menjadi fokus utama ketika seseorang berpuasa dalam pandangan fikih?

Jawaban dari pertanyaan tersebut terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ali bin Husain :”… Rasulullah SAW bersabda: “sesungguhnya setan berada bersama anak adam melalui peredaran darahnya” (Muttafaq Alaih) (fadayyiqu masalikahu bil ju’).

Redaksi fadayyiqu masalikahu bil ju’ merupakan perkataan salah satu perawi hadis di atas yang disisipkan dalam redaksi hadis tersebut. menurutnya “maka cara untuk mencegah setan terus bersama manusia dengan mempersempit tempat peredarannya dengan rasa lapar”.

Dari perkataan salah satu perawi yang disisipkan dalam redaksi hadis tersebut, dapat dipahami bahwasanya dengan lapar dan dahaga seseorang bisa mempersempit tempat persemayaman setan dalam tubuhnya. Maka dengan hal tersebut ia mampu menempa jiwanya agar menjadi lebih baik dengan mempersempit kesempatan setan melatih nafsunya untuk bermaksiat kepada Allah SWT.

Kemudian, puasa sebagai sebuah ibadah yang memiliki fokus menahan lapar dan dahaga dalam pandangan fikih, memiliki hikmah dibaliknya. Yaitu, seorang yang berpuasa ketika merasakan lapar dan haus diharapkan bisa memiliki rasa simpati kepada orang-orang miskin yang kurang beruntung, yang harus senantiasa menahan lapar karena kemiskinan mereka. Sehingga, dengan rasa simpati tersebut dapat melahirkan solidaritas sosial “al-takaful al-ijtima’I” di antara masyarakat, sehingga tidak akan ada lagi yang merasakan kelaparan karena ketidakmampuan untuk sekedar membeli makanan.

Maka, dengan landasan hal-hal yang disebutkan di atas kita bisa memahami bahwasannya puasa sebagai sebuah ibadah yang memiliki intisari menahan diri dari hal-hal yang berkaitan dengan hawa nafsu, dengan tujuan dapat mengendalikannya, bisa diposisikan sebagai madrasah penempa jiwa.

Dan melalui madrasah tersebut manusia pada umumnya dan kaum muslimin khususnya, dapat menjadi pribadi-pribadi yang dapat mengendalikan diri dari hal-hal buruk dan keji, yang dapat merugikan dirinya sendiri, maupun orang-orang di sekitarnya. orang-orang demikian dalam istilah Al-Qur’an disebut dengan pribadi-pribadi “muttaqien”.