
Pertanyaannya adalah, apakah suatu saat AI bisa memiliki daya-daya luhur manusia dan mencapai pengetahuan yang lebih luhur dari pengetahuan rasional-algoritmik?
Semestinya, sejauh yang kita ketahui sekarang, tidak bisa. Karena betapa pun, kesadaran AI ini diduga, sampai kapan pun, tetap bersifat algoritmik.
AI jelas punya daya intuitif. Tapi daya intuitifnya masih bersifat logis. Dalam ibn Sina, daya ini disebut hads. Yakni, kemampuan mencapai middle term dengan segera (immediate) – dalam silogisme Aristotelian – tanpa membangun premis mayor dan premis minor, sebagaimana galibnya dalam prosedur logis.
Jadi, masih algoritmis juga. Dan ini juga dikatakan oleh tak sedikit pengamat AI dunia (saya mengumpulkan juga pendapat-pendapat mereka). Malah, AI akan memiliki kemampuan yang lebih hebat daripada manusia dalam prosedur berpikir yang satu ini.
Nah, kalau pun AI mendapatkan masukan dari operasi daya imajinasi discontiguous manusia, sebagaimana dia mendapatkan bahan-bahan pengetahuan rasional “biasa” manusia, tetap saja itu bersifat second hand.
Yakni, tergantung pada feeding dari manusia sebagai pemilik daya tersebut. Memang bahan bahan ini bisa dikembangkan lebih jauh oleh AI. Tetapi, pengembangan selanjutnya akan tetap berada dalam batas-batas prosedur algoritmik.
Dan hanya bisa datang belakangan setelah terlebih dulu ia diraih manusia, lalu di-feeding ke AI.
Artinya, kalau ini benar, dan manusia mampu mengembangkan daya-daya luhurnya, manusia akan bisa tetap unggul dari AI.
After all these, saya sadar betul bahwa ilmu pengetahuan bisa berkembang sebagai suatu leap atau lompatan.
Apalagi ada pembicaraan tentang AGI (Artificial General Intelligence) – yang disebut-sebut lebih canggih dari Generative AI yang ada sekarant ini dengan machine learning ya yang luar biasa – apalagi nantinya pada saat teknologi quantum computing sudah matang.
Pertanyaannya, apakah benar datangnya AGI akan melahirkan era singularity? Yakni, suatu era yang di dalamnya A(G)I akan mampu melampaui inteligensi manusia?
Ada yang bilang era singularity akan datang setahun lagi. Ada juga yg bilang 10 tahun lagi. (Tapi ada juga yang bilang bahwa hal ini tak akan pernah terjadi, karena alasan yang saya uraikan di atas).
Ya, pertanyaannya lagi-lagi adalah, apakah yang dimaksudkan dengan inteligensi, yang AGI akan bisa unggul di dalamnya? Apakah IQ, atau kah kemampuan kognitif biasa?
Sekali kita masuk ke dalam kemungkinan adanya inteligensi luhur manusia yang bersifat supra-rasional itu, maka medan permainan sudah tidak akan sama lagi. Dan persoalannya tidak akan sesederhana itu lagi.
Tapi, pikiran nakal kita bisa bertanya lagi.
Apa benar daya berpikir AI tak mungkin bisa berevolusi hingga mencapai daya-daya luhur manusia itu? Jangan-jangan bisa?
Khususnya dilihat dari perspektif filsafat Sadrian?
Bukankah menurut filsafat Sadrian sendiri, daya-daya lebih luhur dalam jiwa berpikir manusia, asalnya juga dari sesuatu yang bersifat material, lalu berevolusi menjadi rasional, hingga mencapai tingkat imajinal dan spiritual, berdasar prinsip jasmaniyatul huduts, ruuhaaniyatul baqaa’ (awal-mula yang bersifat jasmani, dan ujungnya kekal dalam keruhanian), melalui “mekanisme” harakah jawhariyah (gerak substansi al)?
Harusnya AI bisa juga, dong.
Tapi, syaratnya, AI harus punya jawhar (substance, dan bukan sekadar aksiden/’aradh saja)?
Tapi apakah AI punya jawhar, yang bersifat wujudi/eksistensial. Atau, beingness sebagai lawan aksiden? Tampaknya lbh mudah bagi kita sekarang untuk mengatakan bahwa AI tak punya jawhar, sehingga ia tak akan pernah mengalami harakah jawhariyah. Dan, jika benar demikian, kemampuan algoritmik rasional AI tampaknya tak akan pernah bisa mencapai daya-daya luhur itu (sekali lagi, dilihat dari paradigma, yang di dalamnya daya-daya luhur manusia itu dipercayai – atau dapat dibuktikan – ada).
Pertanyaan selanjutnya adalah, ‘kan tidak mungkin suatu maujud tidak punya jawhar (substance)? Kalau jawhar tak ada maka tak bisa ada ‘aradh (aksiden). Kenyataannya, ada AI. Setidaknya, AI itu adalah aksiden.
Maka, mesti ada jawhar yang berkorespondensi dengannya. Dan jawhar di sini (dalam filsafat Mulla Sadra) maksudnya pasti bukanlah hardware (bahkan juga bukan software) AI itu, sebagaimana makna substansi dalam Aristotelianisme.
Dalam Mulla Sadra, jawhar itu adalah martabat wujud di mana sesuatu itu berada, yakni dalam maratib wujud (hierarki keberadaan) – ini terkait dengan prinsip tasykiik al-wujud atau ambiguitas wujud – juga.
Maka, siapa/apa yg memiliki wujud terkait dengan keberadaan AI ini? Kemungkinan, adalah kumpulan (kesadaran) manusia pembuat atau pengguna AI itulah yang menjadi underlying substance dari AI itu.
Kalau benar demikian, maka evolusi AI – ke atas rasio-algoritmik – terkait sepenuhnya dengan evolusi kesadaran manusia di balik AI itu.
Dalam asumsi bahwa manusia diandaikan bisa mengoperasikan daya-daya dan mencapai alam-alam yang lebih luhur itu, maka – seperti disinggung di atas – AI hanya bisa di-feeding atau menampung hasil pemikiran manusia itu. Dan tidak bisa secara sendirian mencapai daya-daya dan alam-alam lebih luhur itu. Karenanya, dia bisa saja melampaui manusia dalam tingkat inteligensia tertentu – yang rasional – tapi, dalam hal daya-daya yang lebih luhur itu, dia tak akan pernah bisa mencapainya sendiri. Dan akan selalu ketinggalan dari manusia.
Yakni manusia-manusia yang telah benar-benar mampu mengaktualisasikan potensi berkembangnya daya-daya luhur tersebut
WalLaah a’lam (habis)