
Dusun itu rindang karena banyak pohon tumbuh di kiri-kanan jalannya. Di antaranya pohon kelapa. Terlebih lagi dusun itu diapit bentangan sawah yang masih luas. Kira-kira jam empat sore.
Dari jalan raya kami menyusuri jalan pedusunan yang agak sempit, kemudian menyusiri jalan tanah tak beraspal, motor shogun-R yang mulai batuk-batuk mesinnya tidak bisa dipaksa agar lebih cepat.
Kami berhenti di masjid yang masih dikelilingi oleh telaga sebagaimana masjid lama pada umumnya.”Kauman juga namanya,pak,” sela ponakan saya. Saya dan keponakan mengambil air wudu dan solat ashar dan bertawassul kepada mereka yang membangun masjid tua itu dan juga kepada mereka yang pernah beribadah di dalamnya.
Ini cerita peziarahan saya bersama seorang keponakan saya berapa waktu lalu, limabelas tahun lalu atau lebih dari 20 tahun lalu.
Kami agak keburu karena sudah sore.
Saya minta ponakan segera ke Sareyan yang tidak jauh dari Kauman, saya minta ia parkir agak jauh dari areal Sareyan. Jalan menunju Sareyan yang sisi-sisinya sudah disemen tampak bersih, sepertinya masyarakat sekitar menghormati para empunya Sareyan, secara rutin mereka menyapu dan membersihkan jalan menuju sareyan ini. Ponakan saya sibuk mengambil gambar dengan kamera Canon-nya (DSLR). Papan petunjuk makam dibacanya dengan seksama. Sesekali ia bertanya, kenapa wilayah Bayat menarik? Sepanjang jalan di atas motor, ia sudah banyak bertanya tentang apa yang pernah saya baca dan cerita yang saya serap tentang wilayah ini.
“Mau ziarah, mas?”
Tiba-tiba ada suara memecah percakapan kami. Suara itu tepat di depan pintu sareyan. Seorang perempuan berambut ikal yang disanggul. Agak tinggi, kira-kira 167 atau 170 cm.
Saya tidak memperhatikannya. Antara tidak berani dan tidak kuat, tipis-tipis. Di banyak pesareyan saya selalu terganggu dengan sensualitas yang seringkali hadir sebagai ke-diluardugaan. Berbeda jika di mall, bandara, stasiun, kampus dan kafe, kecantikan seringkali adalah kesengajaan yang tidak menggigit seperti sore itu.
Ponakan saya yang menjawab dan kemudian bercakap dengan perempuan berambut ikal itu. Pintu Sareyan yang sudah dibukakannya saya masuki dengan menundukkan kepala kepadanya sebagai takzim. Saya mengamati jirat, nama-nama yang tertulis di batu nisan, kemudian mengambil posisi untuk tahlil dan melantunkan doa-doa pendek.
Panembahan Romo (Rama), kadang disebut pangeran Kajoran. Sosok ini mengumpulkan banyak hal dalam dirinya sebagaimana ditulis dalam sejarah. Sosok yang sangat kaya. Aspek zahirnya saja membetot semua imaginasi kultural dan historis.
Seorang bangsawan dengan beragam campuran geneologi: Dari Bang Wetan, Pantura Jawa sampai Mataraman Islam. Masih cucu dari Sunan Tembayat, cucu trah Giring, turunan Ngampel, Giri, mertua seorang pangeran Madura, dan seterusnya.
Bangsawan Jawa memang tidak pernah tunggal. Ada hubungan modular secara geneologis, dan selalu mengingatkan mengenai basis-basis bangsawan itu sebenarnya di desa-desa yang zaman dahulu mungkin disebut wanua-wanua atau sima-sima. Kraton-kraton konsentris itu hanya simbol dari pengusa-penguasa konsentris yang tidak pernah benar-benar dapat menguasai desa-desa kecuali setelah mereka tergantung dengan kolonialisme: Saling berbagi kontrol dengan orang-orang Eropa dalam membentuk suatu bentuk kekuasaan yang saling menguntungkan.
Pemerintahan kolonial mengambil inspirasi dari para penguasa keraton dalam hal mengontrol desa-desa dan pertanian sehingga menjadi kekuataan feodalisme dagang yang efektif. Kaum feodal mengambil keuntungan dari dari para penjajah Eropa untuk memastikan kontrolnya atas tanah dan jumlah cacah (wilayah) yang cukup luas dan membantu mereka menghadapi pembangkangan sesama bangsawan di daerah atau desa-desa.
Melihat sejarah desa dan feodalisme lama, saya selalu teringat dengan Eric Wolf, Antropolog Amerika yang menulis buku Europe and The People Without History, bagaimana feodalisme lebur di Amerika oleh praktik dagang lintas negara yang jauh, praktik kapitalisme yang bersetubuh dengan kolonialisme.
Kekuasaan konsentris Jawa yang bergantung pada pertanian agraris masih sempat ikut menanam modal dengan perusahaan asing seperti dilakukan kraton Mangkunegaran tetapi faktanya mereka tetap limbung karena tidak mampu mengikuti derap kapitalisme-kolonialisme yang rusuh dan tidak mau tahu.
Aspek kedua yang menginspirasi para penguasa konsentris Jawa adalah militerisme. Kekuatan militer modern menjadi tuntutan untuk mengatur sebuah wilayah seperti Jawa yang terdiri desa-desa dan wilayah yang dikuasai para bangsawan vernakular. Orientasi negara dagang kum negara militer sudah terlihat sejak masa sebelum Mataram Islam.
Ketika tiba statisme modern pada masa kemerdekaan, penyakit kalangan militer kumat dan mereka tidak akan pernah mau surut,apalagi mengalah, dalam urusan negara.
Dalam salah satu babad menurut seorang karib saya yang pernah membaca dan menulisnya, kerumitan hubungan Mataram dengan trah-Giri pernah melibatkan trah-Kajoran.
Agak rumit ceritanya, bahwa setelah Sultan Agung, seperti dikisahkan di akhir serat Centhini yang genap oleh ragam metafora, bagaimana tokoh utama dalam serat itu, jasad Syekh Amongraga yang sudah diabukan, diminum oleh Pangeran Amangkurat sebagai simbol peleburan Mataram dengan Giri. Menurut karib saya, trah Kajoran pernah menukar bayi yang diembankan pihak Kraton Mataram kepada mereka dengan sorang bayi berdarah Giri sehingga setelah generasi Sultan Agung, trah Mataraman adalah para turunan Giri.
Pada masa Panembahan Senapati, Sunan Giri memberi pendiri trah Mataram Islam itu rekomendasi untuk menalukan Bang Wetan tapi mengalami kegagalan karena Surabaya dan seterusnya masih sulit ditundukkan. Kronik masalalu berpilin-pilin, tidak lebih mudah dari kerumitan kisah cinta dalam novel modern: semua hal yang bertabrakan dan berbeda diserapnya menjadi satuan cerita yang terbaca.
Saya ingat ketika suatu kali datang ke peringatan mulud atau grebeg mulud di alun-alun negari Yogyakarta. Di stan bagian penelitian nasab, seorang abdi dhalem menggambarkan ciri khas para trah Kajoran; mereka gagah-gagah, lebih mancung hidungnya, kuning kulitnya, tipis bibirnya dan rambutnya hitam tebal (tidak disebutkan lurus,ikal atau kriting).
Saya kurang percaya penjelasa abdi dalem kraton itu. saya masih lebih percaya pada wibawa dan aura para bangsawan yang tumbuh dari kesederhanaan dan ketidakrakusan, makanya saya selalu menkasir bahwa bangsawan-bangsawan yang berkeliaran di desa-desa lebih menarik dan lebih beragam.
Moyang kita lebih mengutamakan kualitas diri. Mungkin dalam langgam negeri atas angin, mereka menempatkan diri sebagai warga, kualitas sipil: manusia yang memilih tinggal di pedesaan karena mereka telah memiliki kualitas diri yang tidak kalah dengan kualitas yang para penguasa di kraton-kraton konsentris.
Bayat saya ambil bagi sebuah contoh saja, di kenal sebagai pusat pendidikan Islam di masanya,dan wilayah yang ramai sehingga menarik hati banyak bangsawan Jawa untuk menetap di Bayat. Tidak juga kisah-kisah perlawanannya pada angkara. Motip-motif batiknya yang ditulis dengan bahan alam seperti determinasi kedirian penduduknya.
Tradisi minum tehnya yang terkenal (sebagaimana klaim orang Mlangi di Sleman Yogyakarta). Wajah penduduknya sampai hari ini masih menyisakan raut khas masa lalu walau terhijab oleh kondisi ekonomi pedesaan zaman modern yang penuh nestapa.
Hari sudah gelap ketika saya keluar dari areal pesaerayan Panembahan Rama. Ponakan mempercepat jalannya. Mungkin ia lapar dan rokonya sudah habis dari sebelum masuk makam. Sebelum magrib kami berencana mampir di sekitaran pasar Wedi, mencari warung dan sekalian magriban. Kalau siang hari kami biasa mencari sate di sekitar pasar Wedi.
Saya tidak berpapasan lagi dengan perempuan berambut ikal yang membukakan pintu makam. Hanya berapa anak-anak dusun yang kami sapa ketika motor kami melaju santai meninggalkan dusun itu.
Saya baru sadar, selesai menuliskan cerita dengan tut-tut hape butut saya, saya sudah hampir sampai di Malang.
Malang memiliki cerita sama dengan Bayat. Begitu juga dengan Madiun, Madura dan Blitar, Ponorogo dan seterusnya. Wilayah para pembangkang! De Graff walaupun mengandalkan tiga naskah babad dan catatan kolonial, menuliskan kendal-kendala Mataram menaklukan Bang Wetan, mulai Madiun, Kediri, Mojokerto,Surabaya dans seterusmya. Semua wilayah para pembangkang ini terkenal dengan perempuan perempuannya yang menjadi favorit penguasa-penguasa konsentris Jawa, terutama Madura Sumenepan dan Madiun. Permaisuri HB II adalah puteri Madura sebagaimana permaisuri PB III yang sempat kontroversial karena dianggap dominan. Eyang Retno Dumillah, istrinya panembahan Senapati, adalah puteri Madiun keturunan Demak.
Malang tidak kalah ceritanya, bukan saja betis Ken Dedes yang tersingkap sebagaimana cahaya yang menyeruak di antara paha Putri Fatahati (garwa/istri Pangeran Sambernyawa dan banyak babad menyebutnya sebagai Puteri Kyai Nur Iman) dalam versi tiruan Mataram Islam, bangsawan terbaik Mataram banyak yang berpindah ke Malang seusai kegagalan Sultan Agung menyerang Batavia dan belakangan setelah Perang Jawa (1825-1830).
Menurut MC Ricklefs, sejarawan paling sinis soal Mataram, dalam bukunya tentang Pangeran Mangkubumi, menceritakan bahwa pada masa “palihan nagari” di Mataram Islam pada tahun 1755, Malang menjadi intaian Pangeran Mangkubumi Yogyakarta. Sepupunya atau ponakannya, saya agak kurang teliti, pangeran Singasari, adalah penguasa Malang masa itu. Baik Kesultanan atau Kasunanan agak khawatir dengan Pangeran Singashari yang bergelagat ingin mandiri dari tiga kraton pecahan Mataram Islam. Pada saat bersamaan Yogyakarta dan Mangkunegara sedang adu taktik untuk mendapatkan pengaruh di Kasunanan Surakarta.
Perkawinan antara Surakarta dengan Yogyakarta gagal, malah Pangeran Sambernyawa berhasil menikahkan puteranya dengan puteri Sunan Surakarta saat itu. Sunan Surakarta belum memiliki putera mahkota sampai di masa ia sakit-sakitan. Begitu puteranya lahir, Sultan Yogya dan Pangeran Mangkunegara kehilangan harapan menanam pengaruh di Kasunanan.
Berapa kali Sultan Yogya bersurat ke gubernur kolonial untuk mendapatkan wilayah Malang, tapi gubernur Belanda pura-pura tidak mendengarkan keinginan Sultan Yogya yang sudah mulai uzur itu.
Suratnya tidak jelas, Malang atau Pemalang yang diinginkannya, begitu jawaban pejabat kolonial. Tapi akhirnya Pangeran Singashari yang pernah ikut berjuang bersama Sultan Jogja ditumpas sebagai pemberontak. Dan mulailah suatu awal kestabilan dari penguasan tiga kraton Jawa Islam di Mataram sebelum Jogja diskita tentara sepoi Inggris.
Dan Bang Wetan tidak pernah benar-benar takluk atau kalah. Wallahu ‘alam bishawab