“Islam is Progress: Islam itu kemajuan!”-Soekarno, Surat-Surat Islam dari Ende (1936)
Dalam alam pikir modern barat, agama tidak mendapat tempat dalam ruang publik. Agama hanya dipersilahkan untuk menjadi penghayatan individi di masing-masing ruang privat. Pengalaman sejarah dari bumi Eropa yang melahirkan gagasan modernitas, membikin agama jadi momok sekaligus musuh yang membuat peradaban mereka terlelap di zaman kegelapan. Moralitas dan kekuasaan agama yang kolot dianggap sebagai lawan dari kemajuan yang berhasil dibuktikan oleh rasionalitas. Gagasan tentang sekulerisme—pemisahan agama dari urusan-urusan publik—lahir dalam konteks demikian.
Berbeda dari bumi yang melahirkannya, gagasan modernitas yang memusuhi agama tidak dapat bertahan di berbagai wilayah dimana peradaban Islam berkembang. Dalam berbagai pikiran tokoh-tokoh dibelahan yang lain tersebut, integrasi gagasan modernitas ke dalam sendi-sendi keagamaan menjadi sebuah strategi untuk membangun kemajuan yang sesuai dengan kondisi masyarakat islam. Peradaban Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh yang mempercayai bahwa ide-ide modernitas dan rasionalisme harus terintegrasi pada pemahaman atas nilai-nilai dan praktik keagamaan. Bahkan beberapa tarikh yang mencatatkan kemajuan peradaban Islam, menjadi bukti bahwa proses itu harus dilaksanakan oleh setiap umat.
Sebut saja pengalaman sejarah dinasti Abbasyiah yang disebut-sebut sebagai puncak perkembangan kebudayaan dan pemikiran Islam. Pada masa ini, lahir banyak sekali universitas, akademi dan perpustakaan yang menjadi pusat-pusat pengembangan dan penerjemahan bidang-bidang ilmu pengetahuan. Para pemikir Islam di masa Abbasyiah bahkan mengembangkan sebuah metode tafsir, bi al-ra’yi, yang dipengaruhi perkembangan pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan yang mengedepankan rasionalisme. Tak ayal dimasa ini, muncul banyak tokoh-tokoh pemikir besar seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan al-Farabi.
Kemajuan peradaban pemikiran dan kebudayaan Islam saat Dinasti Abbasyiah tidak bertahan lama. Serangan dari Mongol menluluh-lantahkan prestasi dan kemajuan ilmu pengetahuan Islam. Peradaban Islam selanjutnya hanya mampu mempertahankan kekuasaan politik hingga hancurnya kekhalifahan Turki Usmani pasca Perang Dunia I. Upaya membangkitkan kembali peradaban Islam digaungkan oleh dua tokoh yang mempelopori gerakan Pan-Islamisme, Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Namun, hingga saat ini peradaban Islam tidak mampu menandingi prestasi-prestasi yang ditorehkan pada masa kejayaan dinasti Abbasyiah.
Di bawah bayang-bayang kemajuan peradaban Islam, banyak dari umat hingga kini terjebak pada romantisme di masa lalu. Mereka jarang merujuk pada sejarah yang lebih mendalam untuk menganalisis perkembangan peradaban Islam di era kekhalifahan. Mereka hanya berimajinasi dan secara dangkal menyimpulkan bahwa kejayaan Islam akan kembali jikahanya sistem pemerintahan dikembalikan pada kekhalifahan dan sistem hukumnya dilandasi oleh hukum syariat.
Pemahaman umat islam yang seperti ini yang bikin Bung Karno resah dan gemas, bahkan pada saat dulu ia dengan tekun mempelajari Islam. Di masa-masa pembuangannya di Ende, Nusa Tenggara Timur, beliau sering surat-menyurat dengan karibnya, Husein yang merupakan ketua Persatuan Islam. Surat-surat Soekarno lantas dibukukan oleh Husein dan diterbitkan pada tahun 1936. Dalam surat-surat itu, Bung Karno banyak menyatakan keresahannya pada kondisi umat islam yang makin jauh untuk meraih kemajuan. Hal ini utamanya karena penyakit taqlid yang menjangkiti umat Islam. “Taqlid adalah salah satu sebab terbesar dari kemunduran Islam sekarang ini. Semenjak ada aturan taqlid, disitulah, kemunduran Islam cepat sekali”, begitu ia tulis disalah satu suratnya.
Sikap taqlid ini membuat umat islam menjadi kolot, menghamba pada pemahaman tekstual, dan tidak bersikap kritis bahkan rasional. Padahal kenyataannya mereka hari ini telah tertinggal oleh kemajuan zaman modern yang dibawa oleh bangsa barat.
“Islam harus berani mengejar zaman. Bukan seratus tahun, tetapi seribu tahun Islam ketinggalan zaman (…) bukan kembali kepada Islam-glory yang dulu, bukan kembali kepada ‘zaman chalifah’, tetapi lari ke muka, lari mengejar zaman.”
Perjuangan menentang kekolotan, menghantam ortodoksi, mempelajari pengetahuan barat untuk mengejar modernitas adalah beberapa cara yang diharapkan dapat mengembalikan kemajuan Islam. Menurut Bung Karno, pengetahuan Islam yang baik akan diperoleh jika seorang memiliki pengetahuan umum yang baik pula. Islam tidak akan maju jika hanya menyuruh umatnya untuk beriman dan percaya saja. Kemajuan Islam justru terletak pada kemampuannya untuk menembus relung akal dan relevansinya menjawab setiap tantangan zaman. Bukan hanya mengimani apa yang fardhu, haram, dan makruh, seorang muslim juga perlu untuk memikirkan yang jaiz atau mubah selama kedua hal yang terakhir tidak bertentangan dengan ketiga pasal yang disebut pertama.
Musuh dari dalam umat islam adalah kekolotan, sikap ortodoks-fundamentalis, anti-pengetahuan, eksklusif, serta intoleran. Dan dengan sikap-sikap rasional dan modern yang menjunjung dialog, keterbukaan, toleransi, dan pemahaman kontekstual, sejatinya yang dapat menjadi senjata untuk mengembalikan kejayaan Islam dan melahirkan peradaban islam yang berkemajuan. []