Beberapa teks hadis lain yang dijadikan dasar hukum untuk menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh tubuhnya selain muka dan telapak tangan adalah:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وآله وسلم قَالَ لَا يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلَّا بِخِمَارٍ
“Dari ‘Aisyah RA bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Allah tidak menerima shalat perempuan yang sudah haid kecuali dengan memakai tutup kepala”. (HR: Abu Daud, Al-Turmidzi, Ibnu Majah)
Teks hadis ini dinilai para ahli hadis secara berbeda. Al-Turmudzi memberinya predikat baik (hasan). Ibnu Hibban menilai shahih. Sementara Imam al-Daruquthni menganggapnya mawquf, berhenti hanya sampai sahabat, tidak sampai Nabi. Bahkan Imam al-Hakim menganggap hadis ini bermasalah, cacat (ma’lul).
Di dalam teks ini disebutkan bahwa perempuan yang sudah haid (dewasa), yang hendak shalat diperintahkan untuk menutup kepalanya. Dalam bahasa Arab penutup kepala atau kerudung ini disebut khumar/khimar. Jika perintah tersebut diartikan sebagai kewajiban, maka apakah kewajiban ini berlaku bagi bagian wajah, telapak tangan dan telapak kaki?.
Teks ini jelas tidak menyebutkannya secara eksplisit, tetapi ulama sepakat berpendapat bahwa wajah dan dua telapak tangan bukanlah bagian dari aurat yang wajib ditutup ketika shalat. Untuk telapak kaki, ulama berbeda pendapat. Perbedaan juga muncul dalam kasus aurat di luar shalat, seperti sudah disebutkan di atas. Teks hadis ini hanya bisa dijadikan dasar untuk melegitimasi bahwa kepala perempuan dalam sembahyang haruslah ditutup dengan kerudung (khimar) dan ini, bagi mayoritas ulama, hanya diperuntukan bagi perempuan merdeka, bukan perempuan hamba hamba sahaya.
Hadits lain:
عَنْ أُمِّ سَلَمَة أَنَّهَا سَأَلَتْ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَنْ تُصَلِّيَ الْمَرْأَةُ فِي دَرْعٍ وَخُمَارٍ لَيْسَ لَهَا إِزَارٌ قَالَ إِذَا كَانَ الدَّرْعَ سَابِغاً يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهَا
“Dari Ummu Salamah, dia bertanya kepada Nabi SAW tentang perempuan yang sembahyang memakai baju dan kain penutup kepala, tanpa memakai sarung. Nabi bersabda, ‘(Boleh) kalau baju itu panjang sampai menutup bagian atas dari telapak kakinya.’” (HR: Abu Daud)
Teks hadis ini dianggap shahih oleh sebagian ulama. Tetapi ulama madzhab Hanafi menganggap teks hadis ini lemah (dhaif). Al-Zayla’i menyebutkan beberapa ulama hadis yang melemahkan teks hadis ini, antara lain Ibnu al-Jawzi dan Abu Hatim. Karena itu, ulama madzhab Hanafî membolehkan telapak kaki perempuan terbuka baik di dalam maupun di luar sembahyang, padahal di dalam teks hadis ini secara eksplisit disebutkan bahwa telapak kaki perempuan harus ditutup ketika sembahyang, yang berarti telapak kaki adalah aurat.
Ulama Hanbali yang mengatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat tanpa kecuali merujuk kepada teks hadits berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ مَسْتُورَةٌ
“Nabi SAW bersabda, ‘Bahwa perempuan adalah aurat yang (harus) tertutup.'”
Banyak literatur fiqh klasik yang menulis teks hadits ini dengan redaksi seperti tertulis di atas. Akan tetapi Muhammad bin ‘Abd al-Wahid al-Siwasi al-Hanafi (w. 681H) dan yang lain menyatakan bahwa teks seperti ini tidak ada dalam literatur hadis. Yang ada adalah riwayat al-Turmudzi seperti ini :
.عن ابن مسعود عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتْ اِسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَان، أخرجه الترمذي وقال حسن صحيح غريب
“Dari Ibnu Mas’ud, dari Nabi SAW, ‘Bahwa perempuan adalah aurat, apabila ia keluar (dari rumah) akan disambut oleh setan.'” Hadis riwayat al-Turmudzi dan hadis ini hasan shahih gharib (asing/tidak populer).
Walaupun ulama Hanbali merujuk kepada teks hadis ini, tetapi mereka tetap mengecualikan (takhshish) muka dan telapak tangan. Dengan kata lain, meski hadis menyebutkan kata “al-Mar’ah” tubuh perempuan, mereka berpendapat kedua bagian tubuh itu tidak wajib ditutup.
*Bersambung