Penghujung tahun sudah di depan mata. Seperti tahun-tahun lalu, peringatan demi peringatan akan datang di seluruh penjuru dunia. Akhir tahun selalu memillik arti bagi setiap orang, setiap kelompok, dan setiap negara yang mempunyai hari monumentalnya masing-masing.
Selain peringatan menyambut tahun baru, setiap akhir tahun Slovenia juga memperingati Hari Kemerdekaannya, Kepulauan Solomon memperingati Hari Pengucapan Syukur (Thanksgiving Day), sebagian kelompok masyarakat di Indonesia memperingati Haul (hari wafatnya) Gus Dur, dan tak pernah luput adalah Hari Raya Natal yang diperingati sekitar 2,2 miliar umat Kristiani di seluruh dunia.
Di Indonesia, peringatan Natal dan Tahun Baru selalu riuh dengan kegembiraan dan ketegangan yang meliputinya sekaligus. Seperti biasa, beberapa kali kita sudah mendengar siaran televisi yang mengabarkan segala bentuk pengamanan di gereja-gereja. Di samping itu, media sosial juga mulai ramai menampilkan eyel-eyelan seputar Banser (Barisan Ansor Serbaguna) yang ikut menjaga gereja pada malam Natal.
Terkait yang terakhir ini, komentar yang sering muncul biasanya seperti: “Buat apa jaga gereja pas natal, itu sama aja sepakat dengan kepercayaan mereka”, “Gereja dijaga, masjid malah ditinggal”, “Orang Islam harus tahu batas kalau bertoleransi, jangan kelewatan”, dan sebagainya, dan sebagainya.
Komentar-komentar seperti ini sebenarnya bisa disanggah dengan mudah, sebab selain tidak berpijak pada fakta, juga tidak memiliki landasan teologis yang kuat dan parameter yang jelas. Kita tidak akan memperdebatkan komentar miring di atas, saya hanya akan mengajak merefleksikannya.
Lebih jauh, tidakkah kita merasa prihatin dengan ketidakamanan yang mengancam negeri kita saban tahun? Terorisme berbasis agama masih belum hilang sama sekali, bahkan terus menetaskan telur-telur “pengantin surga” mereka. Konservatisme beragama menjadi akar mereka bertindak tidak manusiawi. Konsep keberagaman yang menjadi identitas bangsa kita sejak zaman nenek moyang dengan mudah diinjak-injak. Maka dari itu, kita harus bertindak.
Jika mengacu pada alasan Banser ikut membantu mengamankan gereja, ini tidak terlepas dari sejarah teror bom gereja yang dimiliki Indonesia. Perayaan Natal seakan menjadi lampu terang yang menggiurkan bagi laron-laron jihadis jahat untuk melancarkan aksinya.
Yang paling parah adalah “Teror Bom Natal Tahun 2000”, di mana serentetan serangan bom terjadi di banyak gereja di seluruh Indonesia pada malam Natal 24 Desember 2000. Pada insiden yang diduga didalangi oleh kelompok teroris Jamaah Islamiyah tersebut, setidaknya terdapat 16 orang meninggal dunia, 96 terluka, dan mengakibatkan 37 mobil rusak. Ironisnya, angka-angka tersebut hanyalah ada di satu insiden teror, belum meliputi insiden di tahun-tahun setelahnya yang tidak sedikit.
Sebenarnya Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi problematika ini. Pakistan, negara yang punya kemiripan dengan Indonesia dalam hal mayoritas penduduk Muslim, ternyata juga memiliki kemiripan serupa dalam menghadapi terorisme berbasis agama.
Pakistan sudah kenyang dengan serangkaian teror bom yang menyasar umat Kristiani, baik saat perayaan Natal maupun Paskah. Kebanyakan dari mereka dimotori oleh faksi-faksi dari kelompok Taliban. Sebut saja tahun 2013 lalu, bom bunuh diri yang meledak di Gereja All Saints di Peshawar. Tahun 2015, dua bom pula meledak di Gereja St. John dan Gereja Christ di Lahore. Dan yang terbaru, yakni minggu lalu, seorang teroris meledakkan diri di depan pintu Gereja Bethel Memorial Methodist di Quetta, Pakistan. Dari riwayat kelam tersebut, sudah ratusan korban yang meninggal dunia dan terluka.
Melihat apa yang terjadi di negara-negara dengan mayoritas Muslim, khususnya Indonesia, setidaknya bisa diambil kesimpulan bahwa hak kelompok minoritas belum sepenuhnya terpenuhi. Padahal sudah seharusnya sebagai kelompok mayoritas kita wajib melindungi saudara-saudara kita yang menjadi minoritas.
Maka dari itu, saya rasa apa yang dilakukan Banser sudahlah tepat, baik secara moral maupun simbolik. Secara moral, penjagaan Banser atas gereja adalah bentuk konkret dalam melawan teror, yang mana seharusnya memang menjadi pekerjaan kita bersama. Sedangkan secara simbolik, sebagai paramiliter yang berasal dari organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU), menjaga gereja adalah bentuk kerukunan antarumat beragama yang seharusnya memang selalu dipupuk di negeri ini. Selain itu, Banser bisa menjadi contoh baik yang riil sebagai kelompok mayoritas yang melindungi kelompok minoritas.
Dalam bukunya yang berjudul Kelompok Paramiliter NU, Hairus Salim mengungkapkan bahwa setidaknya ada tiga peran yang dimainkan Banser. Yaitu membantu atau bahkan menggantikan polisi dalam pengamanan, mengawal tamu dan atau tokoh, serta mengendalikan massa. Dalam konteks menjaga gereja, Banser memainkan peran yang pertama. Hal ini selain membantu kerja pengamanan oleh polisi, juga sebagai bentuk pengabdian mereka sebagai warga NU kepada rakyat atau masyarakat luas.
Pada sambutannya di acara pengajian dan istighosah yang diselenggarakan Polres bersama GP Anshor Jombang, Kapolres AKBP Agung Marlianto bercerita tentang seorang anggota Banser yang ragu ketika menjaga gereja. Anggota Banser tersebut gamang dan menemui Gus Dur untuk bertanya.
Saat ditemui, Gus Dur pun menjawab, “Jika masih ada sedikit keraguan dalam hatimu, berpikirlah bahwa yang kau jaga ini bukan gereja, melainkan Indonesia. Atau setidaknya berpikirlah, bahwa yang kamu jaga adalah kotamu. Yang kamu jaga adalah tanah kelahiranmu. Sebab setiap gangguan yang terjadi di tanah kelahiranmu, pasti akan berdampak kepadamu.”
Jawaban Gus Dur cukup masuk akal. Persoalan “jaga-menjaga” ini tidaklah sesempit Muslim menjaga tempat ibadah umat Kristiani sehingga dapat mendangkalkan akidah. Lebih luas lagi, kita harus berpikiran terbuka, bahwa ada musuh bersama yang harus kita perangi. Musuh kemanusiaan yang nantinya bisa menyebabkan kerugian yang meluas, termasuk pada masyarakat yang berada di lingkungan lokasi teror. Siapa yang masih berpikir tentang pendangkalan akidah jika orang-orang di sekitar kita ikut terancam nyawanya?
Jika tidak keberatan, saya ingin menambahkan jawaban Gus Dur di atas dengan mengutip sebuah pesan yang pernah disampaikan oleh Sayyidina Ali bin Abi Thalib: “Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”
Mohammad Pandu, penulis adalah pegiat di Islami Institut Jogja.