Bank Dunia vs BPS, Jadi Situ Golongan Miskin atau Tidak, Bro?

Bank Dunia vs BPS, Jadi Situ Golongan Miskin atau Tidak, Bro?

Bank Dunia vs BPS, Jadi Situ Golongan Miskin atau Tidak, Bro?

“Kang, menurut sampean, kita ini sebenarnya masuk kategori miskin atau tidak?” tanya temanku tiba-tiba waktu nyantai.

Saya tak langsung menjawab, tapi mengira-ngira, dari mana pertanyaan itu keluar; apakah dari anggapan bahwa dia tak miskin atau dia merasa aneh, kalaupun dia miskin kok hidupnya serba cukup.

Sebab begini, orang NU itu punya kemampuan utama berupa skill mensyukuri apa yang dia miliki dan skill menertawakan kekurangannya sendiri. Ini skill dasar yang identik dengan warga NU yang memegang teguh prinsip “rizqu min haitsu la yahtasib”.

“Itu tegantung Sampean,” kataku.

“Kalau Sampean senang dapat ‘jatah’ dari Lazisnu, maka secara mental, sampean miskin. Terus kalau Sampean tidak menerima jatah, tapi masih merasa susah buat nyumbang ke Lazisnu, maka secara mental masuk rentan miskin.

Nah, kalau waktu buka aplikasi NU Online terus ringan buat donasi atau membayar zakat/infak atau bayar yang lain, maka sampean sudah tidak rentan miskin. Minimal secara mental begitu,” kataku santai.

“Itu baru jawaban psikologis, Kang,” lanjutku.

Kulanjutkan, untuk jawaban yang lebih scientific, kita harus mendefinisikan dulu kemiskinan. Ini bisa merujuk pada salah satu dari dua mazhab yang sedang ramai, yaitu mazhab Badan Pusat Statistik (BPS) atau Bank Dunia (World Bank). Perdebatan ini lagi viral setelah Bank Dunia menyebut bahwa separuh lebih penduduk Indonesia itu miskin.

Metode BPS

Mazhab yang pertama ini lebih ‘murah hati’ karena seseorang tidak akan dikatakan miskin apabila memiliki pengeluaran lebih dari Rp595.242 per kapita per bulan (BPS, 2024). Pengeluaran ini untuk makanan dan non-makanan yang menjamin kehidupanmu selama sebulan.

Secara lebih detil yang diukur BPS adalah 1) pengeluaran untuk kebutuhan membeli 2.100 kalori per orang per hari, seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayuran (rokok gak masuk ke sini, Kang!). Lalu yang kedua 2) pengeluaran untuk non-makanan seperti tempat tinggal, pakaian, pendidikan, transportasi dan kesehatan.

Jika uang yang dikeluarkan untuk membeli kebutuhan ini selama sebulan gak nyampe Rp595.242 maka seseorang dianggap miskin. Sebaliknya, jika lebih dari itu, dia dianggap tidak miskin.

Lalu hasilnya, jika menggunakan garis kemiskinan BPS ini, orang se-Indonesia Raya ini yang masuk kategori miskin sebesar 8,57% atau sekitar 24,06 orang. Walaupun hanya 8,57%, tapi kalau orang-orang ini dikumpulkan, mereka bisa bikin dua provinsi baru skala sedang.

Mazhab Bank Dunia

Nah kalau kita menggunakan data Bank Dunia dengan standar pengeluaran sebesar US$ 6,85 per kapita per hari, maka jumlah orang miskin mencapai 60,3% dari jumlah penduduk atau kalau dikonversi sekitar 171,8 juta jiwa. Dengan angka ini, kita bisa bikin negara!

Sebenarnya standar US$ 6,85 per kapita per hari ini adalah salah satu standar Bank Dunia. Di luar standar ini ada standar lain yakni kategori international poverty rate atau negara miskin yang sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, dan lower middle income poverty rate US$ 3,65 per kapita per hari. Kalau kedua yang dijadikan acuan adalah salah satu dari dua kategori itu, maka angka jumlah penduduk miskin akan turun.

Misalnya, jika mengacu pada international poverty rate yang sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, maka persentase penduduk miskin di Indonesia pada 2024 menjadi hanya 1,3% atau setara 3,7 juta orang saja. Sedangkan dengan ukuran garis kemiskinan untuk kategori lower middle income poverty rate sebesar US$ 3,65 per kapita per hari sebesar 44,47 juta orang atau setara 15,6%. Tapi sekali lagi menurut Bank Dunia, untuk negara yang pendapatan nasional bruto sudah mencapai US$ 4.580 harus dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah ke atas.

Akan tetapi Indonesia masuk kategori sebagai negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country), karena gross national income Indonesia atau GNI (pendapatan nasional bruto) mencapai US$ 4.580 per kapita pada 2023 lalu.

Berikut kategorisasi negara-negara berdasarkan Gross National Income (GNI) / (pendapatan nasional bruto) per kapita yang digunakan Bank Dunia: 1) negara berpendapatan rendah atau miskin: ≤ US$1.145, lalu 2) negara berpendapatan menengah bawah: US$1.146 – US$4.515, lalu 3) negara bendapatan menengah atas: US$4.516 – US$14.005, lalu 4) negara berpendapatan tinggi: ≥ US$14.006

Di kelas negara pertama yang miskin ada negara seperti Malawi, Republik Demokratik Kongo (DRC), Mali, Botswana, dll. Di kelas kedua (negara dengan pendapatan menengah bawah) ada India, Pakistan, Bangladesh, Kamboja, Laos, Myanmar, Nigeria, Kenya, Zambia, Ghana, Yaman, Sudan, dll. Sementara negara yang ‘sekelas’ dengan kita (negara dengan pendapatan menengah atas) ada Malaysia, Thailand, China, Iran, dll. Di papan atas negara pendapatan tinggi Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Prancis, Inggris, Jepang, Korea Selatan, Singapura, Australia, Arab Saudi, dll.

Nah Indonesia, walaupun masuk yang kelas menengah atas, tapi ada di batas bawah. Berbeda dengan China, meskipun ada di kelas yang sama, tapi dia hampir menyentuh bagian atasnya dengan GNI per kapita US$13.400 atau pada tahun 2023.

Ini persis yang ditulis BPS di laman resminya “…namun perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori upper middle income country dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori upper middle income country, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara US$4.516- US$14.005”.

Intinya, BPS mau bilang: meskipun kita sudah masuk ke kelas negara berpendapatan menengah atas tapi sejatinya masih lebih dekat ke miskin. Ini mirip anekdot begini, “kita memang tidak di bawah garis kemiskinan, tapi pas ‘menclok’ di atas garisnya”.

Ketimpangan dan Oligarki

Setelah penjelasan itu, Kang-kang ini masih belum puas rupanya. “Tapi, kalau kita sudah di level negara berpendapatan menengah atas, kok tak rasa-rasain masih kayak miskin? Ini perasaanku aja apa emang begitu sebenarnya?” tanya dia lagi.

Tak jawab, perasaan dia itu ada dasarnya dan sahih. Sebab, meskipun Indonesia sudah masuk kelas negara berpendapatan menengah atas atau PDB negaranya pada 2023 mencapai 1.4 triliun dollar, tapi karena sebagian besar kekayaannya uangnya ngumpul di kantong sebagian kecil orang saja dan tidak terdistribusi dengan baik, sehingga tidak semua kantong terisi.

“Nah, kantong Sampean ini, sialnya, termasuk yang gak kebagian,” saya bilang. Dia cuma manggut-manggut.

Sebagian kecil kelompok orang itu disebut dengan “Oligarki”. Oligarki ini adalah sejumlah kecil orang yang menguasi sebagian besar kekayaan dan resources lain di negara ini.

Kalau merujuk ke Material Power Index yang ditulis oleh Jeffrey Winter, pada tahun 2014, jumlah 40 orang terkaya rata-rata dibagi income per kapita = 678.000 kali.

Artinya, jika kamu menjumlahkan seluruh kekayaan 40 orang terkaya di Indonesia dan membaginya dengan pendapatan per kapita, maka hasilnya setara dengan 678.000 kali lipat pendapatan rata-rata satu orang Indonesia. Gilanya, kelipatan ini terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2018 kelipatannya meningkat 750.00 kali, pada 2020 menjadi 822.00 kali, 2022 menjadi 1.065.000 kali.

“Paham, Kang?” tanyaku. Dia diam saja.

Gini, penguasaan harta di Indonesia juga timpangnya nauzubillah.

Konon, harta 4 orang terkaya sama dengan harta 100 juta penduduk Indonesia paling miskin menurut credit Suisse. Kekayaan 1% penduduk terkaya sama dengan 46,6% total PDB dan 10% terkaya sama dengan 75,3% PDB. Gampangnya gini, harta 10 orang terkaya Indonesia menurut Forbes (2024) itu, sudah menguasai sebagian besar seluruh kekayaan di Indonesia.

“Sementara Sampean, cuma bagiannya bantuan Lazisnu, atau paling bagus dapat PKH dari Kemensos, Kang!” lanjutku.

Makanya meskipun rata-rata Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.870 dan kita dianggap negara dengan ekonomi besar sampe masuk G20, tetap saja sampean miskin.

“Gitu Kang. Jadi gimana, sudah ketemu jawabannya, sampean miskin atau tidak, Kang?” tanyaku balik.

“Wes mbuh lah, biarin aja. Di akhirat, itu semua gak penting, Kang,” katanya sambil nyeruput kopi. []