Sebenarnya biasa saja kalau Baim Wong bertemu dengan ustadz Felix Siauw dan ustadz Fatih Karim, dua pendakwah yang tersohor sebagai pendukung Hizbut Tahrir itu. Toh ya mereka sesama publik figur yang digandrungi warganet. Anggap saja itu pertemuan sesama persona platform digital.
Pertanyaannya begini, Memangnya kalau ada pertemuan semacam itu, Baim Wong otomatis membawa misi HTI? Sebagai antek HTI? Sebentar dulu, Bosku..
Di kalangan gerakan hijrah, utamanya kalangan Muslim perkotaan dan kelas menengah, bertemu & belajar dari guru lintas ideologi itu hal biasa, kok. Sekarang ngaji sama Ustadz Salim Fillah, besok tiba-tiba mendatangi pengajian Gus Miftah yang dikenal dekat dengan Nahdlatul Ulama. Lusa ngepost quotes dari Ustadz Felix.
Itu hal yang lumrah saja, menurut saya. Ya gimana, wong mereka tidak mau dikotak-kotakkan dengan bendera kok. Bagi Muslim seperti Baim yang belum tersejat secara ideologis, Muslim ya muslim saja. Islam ya Islam saja. Tidak harus bernaung di bawah bendera seperti Muhammadiyah atau NU, kan begitu?
Ini cuma persoalan akses dan circle saja kok. Kok bisa begitu?
Ishhh.. ya bisa toh, kenapa tidak? Wong di tangan ustadz-ustadz itu Islam menjadi semakin populer. Akui saja deh. Islam dikemas menjadi semacam produk jadi siap pakai yang menarik dan siap dipasarkan. Dimodifikasi dengan bahasa yang kekinian, penuh motivasi, romantisme kenabian dan janji-janji surgawi. Disampaikan secara massif dengan marketing yang ciamik melalui kanal YouTube, Instagram, Facebook, dan media sosial lainnya.
Di sisi lain, sebagian besar orang yang sedang berhijrah (boleh sebut siapa saja nama artis hijrah di sini) juga tidak banyak yang tahu peta ideologi di balik ustadz-ustadz itu, kan?
Mereka belum mengerti ruwetnya sengkarut benang dari Ikhwani, Salafi-Wahhabi, maupun HTI. Asal yang mereka sampaikan adalah kebaikan, ya diikuti saja. Tanpa perlu memilah & memilih ideologinya. Narasi besarnya kan begini: Kalau orang masih terkotak-kotak sama ideologi, bagaimana umat ini akan bersatu?
Namun, pada realitanya tidak senaif itu. Kelompok ideologis dalam Islam itu nyata adanya kok. Dan masing-masing juga membawa kepentingan politik benderanya. Baim Wong bertemu Felix Siauw ya biasa saja memang. Tapi akan rawan terjebak pertarungan ideologi masing-masing kelompok Islam.
Toh para cendekiawan Islam juga sudah memperkirakan fenomena seperti ini. Almarhum Kuntowijoyo menyebutnya sebagai Muslim tanpa Masjid (2002). Yang belajar Islam lewat institusi Rohis (tidak di masjid kampung, guru ngaji atau pesantren) yang menjamur di kampus pada tahun 90an, melalui kaset VCD, radio dan TV.
Para ilmuwan sosial mengistilahkannya dengan tantangan terhadap otoritas keagamaan tradisional. Maksudnya, ustadz-ustadz itu menjadi ‘pesaing’ para ulama/kyai yang telah menahun menempuh studi baik di pesantren maupun perguruan tinggi Islam, dalam dan luar negeri sebagai pemegang otoritas keagamaan.
Tapi santai saja, saya tetap optimis kok. Belakangan ini sudah banyak bermunculan kok para Kyai, Gus, dan santri-santri pesantren yang ikut mewarnai dinamika dakwah ini. Saling sikut berlomba-lomba dalam kebaikan dengan ustadz-ustadz itu. Ya ideologinya, ya kritik terhadap pesan-pesan dakwahnya, bahkan yang terbaru, mengoreksi bacaan Al-Quran ambyarnya Evie Efendi, yang ternyata kalau gelar ustadznya dicopot ya seperti mas-mas biasa saja yang berkupluk seperti saya. Hehe.
“Ustaz kok bacaan Qurannya amburadul? Mbok belajar ngaji dulu…”
Begitu juga buat Baim Wong. Sebelum situ nanti terjebak silang sengkarut ideologi Islam yang rawan makin bikin gaduh, mending belajar tajwid dan baca Al-Quran dulu biar nanti enggak malu.