Bahtiar Efendy dalam Kenangan Saya

Bahtiar Efendy dalam Kenangan Saya

Prof Bahtiar Efendy termasuk dosen di IAIN (UIN) Jakarta yang turut mempengaruhi perkembangan intelektualisme saya.

Bahtiar Efendy dalam Kenangan Saya

Kabar duka itu datang. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Prof. Dr. Bahtiar Efendy dipanggil menghadap Allah tadi malam. Pak Bahtiar, demikian biasa dipanggil, sudah lama mengidap penyakit yang cukup serius. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit.

Prof Bahtiar termasuk dosen di IAIN (UIN) Jakarta yang turut mempengaruhi perkembangan intelektualisme saya. Saya bukan hanya pernah diajar, tapi juga menjadi co-promotor disertasi saya selama kurang lebih 7 tahun bersama dg Prof Dr. Azyumardi Azra.

Ketika semester awal kuliah S3 di UIN Jakarta tahun 1998/1999, saya pernah diajar dalam mata kuliah Politik Islam di Indonesia. Saya termasuk mahasiswa yang ngeyel, apalagi cara pandangnya terhadap NU sering berbeda dengan cara pandang saya. Hal itu berkali-kali. Lama-lama beliau mengenali saya dan sering bilang, “Itu, Rumadi, pasti gak setuju dengan pandangan saya,” sambil terkekeh.

Tahun 2001, ketika saya bersama Marzuki Wahid menerbitkan buku “Fiqh Mazhab Negara,” tiba-tiba menelpon saya. Rupanya beliau baru membaca buku itu. Di samping memberi ucapan selamat, beliau menyampaikan kekesalannya atas satu bagian dari buku itu. Dalam bagian akhir buku itu, saya memang memberi kritik terhadap “teori akomodasi” negara terhadap Islam, seperti yang beliau tulis dalam buku “Islam dan Negara” yang merupakan disertasinya di Ohio State University. Sebenarnya kritik itu juga pernah saya sampaikan dalam suatu perkuliahan dengan beliau. Poin kritik saya, tidak mungkin saya uraikan di sini, silahkan cari buku Fiqh Madzhab Negara. Intinya, kalau teori akomodasi tidak dibaca dengan hati-hati bisa menyesatkan.

“Rum, kalau kamu tidak setuju dengan pendapat saya gak apa-apa. Tapi jangan dibilang teori saya menyesatkan,” begitu inti telpon beliau di tahun 2001 itu. Saya lebih banyak diam dan mendengarkan keberatan Pak Bahtiar.

Apakah beliau dendam? Tidak sama sekali. Ketika saya lama tidak ketemu dan tidak melaporkan perkembangan disertasi, tak segan beliau menelpon saya. “DIsertasimu gimana? Ayo cepet diselesaikan!” Berkali-kali beliau memberi semangat.

Saya tidak tahu, apakah hal itu dilakukan kepada semua mahasiswa bimbingannya atau hanya ke saya karena saya memang terhitung lama menyelesaikan studi.

Ketika menjadi Dekan Fisip UIN Jakarta, tiba-tiba beliau telpon, “Rum, saya minta dong buku-buku yang diterbitkan Wahid Institute.” Dengan senang hati saya siapkan buku-buku yang diminta dan saya antar ke ruang dekan Fisip. Tak lupa, saya melaporkan kalau disertasi saya sedang diterjemahkan dan mau diterbitkan ISEAS Singapore. “Wah, bagus. Selamat, ya!” katanya.

Setelah itu, lama sekali saya tidak kontak tapi saya mendengar beberapa pandangannya terhadap Islam di Indonesia mulai bergeser.

Selamat jalan Pak Bahtiar. Terima kasih atas tetesan ilmu yang pernah diberikan kepada saya.

Allahummagfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu.

Ciputat, 21 November 2019

Rumadi Ahmad