Seorang filsuf, matematikawan, dan penemu teknologi asal Perancis abad ke 17, Blaise Pascal (1623-1662), pernah mengatakan:
“Tidak ada manusia-manusia yang mampu melakukan kejahatan secara begitu komplit, bersemangat, dan riang gembira melebihi mereka yang mengatasnamakan keyakinan keagamaan.”
Pascal, saya rasa, tidak sedang melecehkan agama atau para pemeluknya secara semena-mena. Beliau, selain filsuf dan pakar matematika, adalah juga seorang pengikut Jansenis, salah satu dari sekian banyak ordo di dalam Katolik. Pascal mengucapkan statemen di atas dalam konteks kritik beliau yang tajam terhadap praktik manipulasi terhadap ajaran agama yang telah kehilangan spiritualitas dan bermuara kepada manipulasi yang menghancurkan kemanusiaan dan peradaban.
Kekinian, saya khawatir di Indonesia tampaknya sedang mengalami malaise spiritualitas seperti yang pernah dialami Perancis pada abad ke 17, karena kita bisa menyaksikan fenomen muncul dan bergentayangannya para manipulator ajaran agama dari yang semestinya “memanusiakan manusia” dan “menjadi rahmat buat semesta”, dsb. menjadi alat untuk menyemai, mengembangkan, dan menyebarluaskan pekokisme alias obskurantisme di dalam masyarakat dan negara.
Para manipulator ajaran agama itu, melalui kemampuan orator dan demagoginya menggunakan kesempatan yang diberikan oleh sistem demokrasi untuk menyulut emosi dan nafsu brutal untuk saling benci dan menghancurkan sesama ummat dan anak bangsa.
Ayat-ayat dan dalil-dalil ditafsirkan secara semena-mena untuk menjustifikasi gagasan dan laku yang sejatinya biadab jika diukur dengan standar budaya dan etika masyarakat normal.
Mereka dengan semangat menyala-nyala dan teriakan membahana mencap lawan (yang seagama pun) dengan istilah-istilah seram: sesat, kafir, halal darahnya, Normalisasi pemakaian kalimat dan kata-kata sumpah serapah sarat dengan kebun binatang menjadi asesori wajib bagi khotbah, ceramah, dan orasi publik mereka!
Tujuan mereka sebenarnya tak terlalu berbeda dengan mereka yg kemaruk harta dan kuasa, sebab para manipulator agama tsb sejatinya juga memiliki syahwat kuasa (will to power) yang mirip. Hanya saja alatnya adalah melalui penafsiran ajaran agama. Karenanya, dampak detrukstif antara ketiga pemilik “will to power” itu (kekuasaan politik, kekuasaan ekonomi, kekuasaan agama) adalah sama dan sebangun. Apalagi kalau ketiganya saling menopang satu dengan lainnya!
Bahaya yang paling mengerikan dari kelompok yang punya “will to power” melalui agama adalah merosotnya kemampuan akal budi yang, pada gilirannya, memroduksi kejahiliyahan massif di negeri kita. Hasilnya adalah manusia dan masyarakat yang seperti atom-atom dan robot-robot tanpa ruh (soul) dan nalar (mind). Padahal keduanya adalah inti dari kemanusiaan dan komponen utama yang memungkinkan peradaban bisa dibangun.
Karenanya, kita perlu merenungkan kata-kata Pascal pada konteks kekinian Indonesia. Negara, Pemerintah, dan masyarakat sipil harus bersikap tegas terhadap para manipulator ajaran agama tsb. Sekuat tenaga gunakanlah pendidikan akal budi utk meredam dan menghilangkan proyek obskurantisme alias pekokisme massif yang mengatasnamakan ajaran agama.
Di samping itu penegakan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu perlu dilaksanakan.