Bagaimana sosok Gus Dur bagi Jaya Suprana? Sebagai orang Tionghoa Indonesia yang dekat dengan Gus Dur, Jaya Suprana memiliki banyak kenangan pribadi. Jaya Suprana banyak mendapatkan kesan-kesan penting, juga renungan atas pelbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini. Bagi Jaya Suprana, Gus Dur merupakan sosok panutan, yang selain menyegarkan dengan humor dan banyolan cerdas, juga mengajak untuk berpikir tentang masa depan Indonesia.
Ketika penulis menemui Jaya Suprana untuk sebuah wawancara, pada pertengahan 2016, di kantornya kawasan Kelapa Gading, ia mengenang Gus Dur sebagai sosok penting dalam hidupnya. Menurut Jaya Suprana, Gus Dur mengajarinya untuk terus melihat arah perkembangan masyarakat dan mengabdi untuk bangsa Indonesia. Dari sosok Gus Dur, Jaya Suprana belajar untuk terus menyayangi manusia lain, dan membantu sebisa mungkin untuk tujuan kemanusiaan.
Jaya Suprana mengenang ketika ia mengantar Gus Dur ke Kantor PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Ketika itu, Jaya Suprana mengantar Gus Dur dengan mobil mewah, dari sebuah acara. Jaya Suprana tidak tahu arah menuju Kantor PBNU, sebab waktu itu belum ada aplikasi digital untuk mempermudah peta jalan. Di tengah kebingungan Jaya Suprana, Gus Dur memberi arah untuk belok kiri dan kanan, padahal beliau sudah mulai merasakan gangguan mata. Dan ternyata, sampai juga di Gedung PBNU Kramat Raya.
Dalam sebuah perjumpaan terakhir dengan Gus Dur, Jaya Suprana bertanya mengenai apa yang sebenarnya keliru pada bangsa dan negara Indonesia masa kini. Kemudian, Gus Dur mengisahkan sebuah hadist, dari riwayat Abu Abdillah as-Shadiq, “Ketika Nabi Muhammad Saw menyambut pasukan Sariyyah kembali setelah memenangkan peperangan, Beliau bersabda: ‘Selamat datang wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil tetapi masih harus melaksanakan jihad akbar!’. Ketika itu, orang-orang heran lalu bertanya tentang makna sabda itu. Rasul Saw menjawab: ‘Jihad kecil adalah perjuangan menaklukkan musuh. Jihad akbar adalah jihad an-nafs, perjuangan menaklukkan diri sendiri”.
Jaya Suprana mengenang betapa Gus Dur semasa hidupnya seperti Socrates, dituduh eksentrik, ngawur hingga dianggap membahayakan negara dan bangsa. Bahkan, Gus Dur dilengserkan dari Kepala Negara. Menurut Jaya, kekeliruan orang memahami Gus Dur, bahkan dari penyebutan nama beliau. “Gus Dur layak masuk MURI sebagai orang yang paling sering dikelirutafsirkan, terbukti namanya saja sering disebut ‘Pak Gus Dur’, akibat keliru tafsir bahwa ‘Gus Dur’ sebuah nama. Padahal istilah ‘Gus’ sebenarnya sebutan dialek Jawa Timur yang sama dengan sebutan Pak,” ungkap Jaya Suprana, dalam esainya ‘Warisan Gus Dur’ (2010). Sebutan Gus, merupakan istilah bagi putra kiai, yang bisa setara dengan Mas atau Pak.
Lebih lanjut, Jaya Suprana juga menganggap Gus Dur orang yang sangat berani, dan siap berjuang membela minoritas. “Pada masa Orba, Gus Dur paling berani secara terbuka memprotes kezaliman pemerintah. Hanya Gus Dur yang berani secara terbuka membela Arswendo Atmowiloto ketika menjadi korban ketidakadilan. Hanya Gus Dur yang berani membela kaum minoritas tertindas di Indonesia masa Orba kemudian setelah menjadi Presiden nyata memperjuangkan hak-hak kaum minoritas!” tegas Jaya Suprana.
Dalam setiap perbincangan tentang Gus Dur, Jaya Suprana selalu mengenang sosok Gus Bangsa. Bagi Jaya Suprana, Gus Dur tidak hanya sekedar teman, namun lebih sebagai sahabat dan Maha Guru. Dalam sebuah perbincangan dengan pendetanya, Jaya Suprana bertanya tentang bagaimana nasib Gus Dur apakah masuk surga atau neraka. “Saat Presiden Abdurrahman Wahid Wafat, apakah ia masuk surga?” Pendeta yang ditanya menjawab, bahwa lantaran Gus Dur bukan Nasrani, maka pendeta menganggap Gus Dur tidak akan masuk surga. Mendengar ini, Jaya Suprana ingin ketika mati masuk neraka saja, mengikuti Gus Dur.
“Daripada masuk surga ketemunya pendeta melulu, mending saya masuk neraka tetapi bisa tertawa bersama Gus Dur”, ungkapnya dalam sebuah diskusi di Kantor PBNU, 23 Januari 2014 lalu. Bagi Jaya Suprana, Gus Dur merupakan sosok panutan, yang bersedia berjuang untuk mewujudkan cita-cita dan idealismenya. Bahkan, Gus Dur siap dihujat banyak orang dan siap tidak populis, asalkan membela kebenaran yang dianutnya.
Bagi Jaya Suprana, Gus Dur bukan sekedar pemikir, namun pejuang yang berani bergerak untuk mewujudkan idealismenya, cita-citanya. Gus Dur konsisten membela minoritas sampai akhir hayatnya [].
—Munawir Aziz, Wakil Sekretaris LTN Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, buku terbarunya bertema “Gus Dur & Jaringan Tionghoa Nusantara”, dalam proses terbit (Komunikasi via email: [email protected])