Bagaimana Warisan Cheng Ho untuk Islam Indonesia?

Bagaimana Warisan Cheng Ho untuk Islam Indonesia?

Bagaimana warisan Cheng Ho untuk Islam Indonesia masa kini?

Bagaimana Warisan Cheng Ho untuk Islam Indonesia?

Cheng Ho banyak disebut dalam catatan sejarah Nusantara. Cheng Ho, atau biasa disebut Zheng He, menjadi tokoh Tionghoa yang menyebarkan Islam dan kebudayaan Tiongkok, pada masa Dinasti Ming, di beberapa negara dan kawasan Nusantara. Misi diplomatik Cheng Ho, berlangsung dari tahun 1405 hingga 1433. Cheng Ho menjadi sosok penting dalam penguatan interaksi serta silang budaya di tradisi Islam Indonesia.

Lalu, siapakah Cheng Ho itu sebenarnya? Dalam catatan sejarah resmi Dinasti Ming (Mingshi), dalam bagian mengenai biografi Cheng Ho (Zheng He Huan), tokoh ini lahir pada 1371 di Distrik Kunyang, Provinsi Yunan, Tiongkok. Cheng Ho merupakan putra dari Ma Hazhi (Haji Ma), yang beragama Islam. Ia memiliki lima saudara, dengan seorang laki-laki dan empat perempuan.

Ketika Cheng Ho lahir, kerajaan Ming sedang bekerja keras untuk melawan pemberontakan dari laskar-laskar Dinasti Yuan. Ketika itu, Dinasti Yuan (1279-1365) sedang runtuh, berganti dengan kekuasaan Dinati Ming. Pada 1382, ketika Cheng Ho berusia 11 tahun, tentara Dinasti Ming menyerbu provinsi Yunnan, menguasai kawasan itu. Cheng Ho ditangkat oleh tentara kerajaan, dan kemudian mengabdi kepada Raja Zu Di, putra keempat Kaisar Ming.

Cheng Ho berjasa besar dalam bidang militer Dinasti Ming, ketika menyelamatkan nyawa Raja Zu, yang sedang melawan Kaisar Jiwen. Atas jasa itu, Cheng Ho mendapat gelar Zheng, dan kemudian diangkat menjadi kasim istana. Cheng Ho kemudian dipercaya untuk memimpin muhibah militer dan angkatan laut kerajaan Ming, untuk menuntaskan misi diplomatik ke berbagai negara. Misi ini dimulai pada tahun 1405.

Misi diplomatik dan pelayaran Cheng Ho, menghasilkan catatan dan dokumentasi penting bagi pengembangan pengetahuan kerajaan Ming. Di antara yang masih tersimpan, yakni 24 peta navigasi yang diterbitkan dengan judul Zheng He’s Navigation Map. Dari arsip peta ini, berisi mengenai arah pelayaran, jarak di lautan, pelbagai pelabuhan, dan beberapa data pendukung. Dalam catatan Prof Hembing Wijayakusuma, buku peta ini, merupakan laporan penting mengenai geografi lautan buatan dari Tiongkok yang pertama, dengan akurasi yang tidak kalah dibandingkan peta-peta buatan alat canggih pada masa kini (Wijayakusuma, xxxii).

Dalam catatan Prof Kong Yuanzhi, perawakan Cheng Ho sangat tepat sebagai pemimpin misi diplomatik kerajaan Ming. “Cheng Ho bertubuh tinggi dan tegap perawakannya. Lingkaran pinggangnya lebih dari 10 jengkal telunjuk. Dahinya menonjol, telinganya besar tapi berhidung kecil. Giginya putih dan rapi bagai rangkaian mutiara. Sedangkan langkahnya mantap bagai macan. Suaranya lantang laksana lonceng. Beliau berotak tajam dan pandai berdebat. Beliau adalah pemimpin ulung dalam pertempuran,” ungkap Prof Kong Yuanzhi, “Cheng Ho Muslim Tionghoa: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara” (2015: 31).

Rombongan kapal yang dikomando Cheng Ho, mengangkut sekitar 28.000 orang, yang terdiri dari tentara, dokter, perawat, pedagang, ahli pertanian, penulis, ahli navigasi, dan sebagainya. Rombongan ini, berangkat menuju Laut China Timur, berlanjut ke  Samudra Hindia, hingga singgah di kawasan Asia Tenggara.

Jejak Cheng Ho ditemukan di beberapa kawasan Nusantara, di antara Aceh, Palembang, Cirebon, Semarang, Lasem, Gresik, dan beberapa kawasan lain. Di Semarang, menurut catatan peneliti, rombongan Cheng Ho mendirikan sebuah masjid di kawasan Gedong Batu, Simongan.

Pada waktu singgah di Semarang, jurumudi Ong King Hong sakit parah, hingga perawatan yang membutuhkan waktu lama. Ia ditemani oleh beberapa anakbuahnya, yang kemudian berasimilasi dengan penduduk setempat. Jejak sejarah ini, sampai sekarang termaktub dalam inskripsi di Goa Gedong Batu, di kawasan klenteng Sam Po Kong. Pada inskripsi di goa Gedong Batu, Cheng Ho beserta rombongannya singgah di kawasan ini, pada 1406 dan 1416.

Di Lasem, Cheng Ho dan rombongannya mewariskan tradisi membatik. Catatan Carita Sejarah Lasem yang dianggit Mpu Santi Badra pada 1401 Saka (1479 M), yang ditulis ulang R Panji Khamzah pada 1858, bahwa anak buah Cheng Ho bernama Bi Nang Un dan istrinya Na Li Ni, mewariskan tradisi batik dengan motif-motif yang berkembang hingga sekarang.

Apa warisan Cheng Ho untuk Islam Indonesia? Misi diplomatik Cheng Ho mewariskan pengetahuan, tradisi dan silang peradaban. Dari tradisi pertanian, kuliner, arsitektur, lifestyle, hingga pembauran antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk setempat. Misi diplomatik Cheng Ho ini, mewariskan ingatan perdamaian untuk masyarakat kita pada masa kini [Munawir Aziz].