Bagaimana sih Kedudukan Humor dalam Islam?

Bagaimana sih Kedudukan Humor dalam Islam?

Bagaimama sih humor dalam islam?

Bagaimana sih Kedudukan Humor dalam Islam?

Dalam sejarah juga kita kenal Abu Nuwas (Abu Nawas), seorang sufi agung yang hidup di era Dinasti Abbasiyah tepat pada kekhalifahan Harun ar-Rasyid. Islam bukan agama yang kaku, sehingga setiap orang dilarang tertawa sama sekali. Islam agama yang slowly.

Selain buku-buku kisah Abu Nawas, bisa kita cari dengan mudah buku humor Gus Dur. Atau bahkan ada satu kitab berbahasa Arab karya Ibnul Jauzi yang khusus berisi tentang humor-humor saja.

Sebenarnya humor, stand up comedy yang memang sengaja membuat orang lain tertawa tidaklah dilarang. Hal ini karena memandang sebuah kisah yang direkam oleh Al-Qasthalani dalam karyanya Irsyadu as-Sâri Syarah Shahih Al-Bukhâri.

Satu ketika Nabi Muhammad sedang bersama istri-istri beliau di dalam rumah, sedangkan para sahabat duduk di bagian pintu luar rumah Nabi. Abu Bakar hendak sowan untuk menemui Rasulullah. Namun Rasul belum memberikan izin. Begitu pula Umar juga mencoba meminta izin masuk ke rumah Nabi tapi beliau juga belum berkenan. Hingga tiba saatnya Abu Bakar dan Umar yang masing-masing merupakan mertua dari Baginda Nabi tersebut dipersilahkan untuk masuk.

Mereka berdua pun kemudian masuk. Rasulullah duduk-duduk bersama istri-istri yang mulia. Beliau hanya diam tak berbicara. Umar berbisik pada Abu Bakar. Ia akan berbicara dengan kalimat yang kira-kira bisa membuat Rasulullah tertawa.

Umar mulai merangkai kata-katanya, “Ya Rasulallah, andai saja aku melihat putrinya Zaid –istri Umar– (maksudnya adalah istri Umar sendiri) kok sampai berani meminta nafakah kepadaku, akan aku pukul lehernya.”

Mendengar kalimat yang agak aneh ini, Rasulullah pun tertawa sampai gigi geraham beliau tampak. Artinya Rasul tertawa lebar. Lalu Baginda Nabi bersabda “Lho, orang-orang di sampingku ini (maksudnya istri-istri beliau) mereka mintanya nafkah ya kepadaku.”

Mendengar kalimat Rasul ini, Abu Bakar yang menjadi ayahnya Aisyah, salah satu istri Rasul berusaha mendekat kepada Aisyah untuk memukulnya. Mungkin maksud Abu Bakar adalah jangan sampai Aisyah yang menjadi putrinya dan sekaligus istri Rasul ini merepotkan Baginda Nabi. Begitu Umar yang mencoba ingin mendekat kea rah Hafshah.

Keduanya mengatakan “Kalian meminta kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada hal-hal yang tidak beliau punya.”

Namun Rasulullah melarang kedua sahabat yang sekaligus mertua Nabi ini memukul putrinya masing-masing.

Dengan kejadian kisah tersebut, kemudian para istri Rasul berjanji “Demi Allah, kami tidak akan pernah meminta suatu hal yang tidak dimiliki oleh Baginda Rasul shallallahu alaihi wa sallam.
Kisah ini yang kemudian mendasari turunnya ayat:

{يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ إِنْ كُنْتُنَّ تُرِدْنَ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا فَتَعَالَيْنَ أُمَتِّعْكُنَّ وَأُسَرِّحْكُنَّ سَرَاحًا جَمِيلًا (28) } [الأحزاب: 28، 29]

Artinya: “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istri kamu ‘jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka kemarilah. Akan aku mut’ah kalian dan akan aku ceraikan kalian semua dengan cara yang baik. (QS Al-Ahzab: 28)

Cerita Umar yang sengaja memancing Rasul tertawa di atas dapat diambil pijakan bahwa sengaja membuat orang lain tertawa hukumnya diperbolehkan selama tidak berlebihan dan terus menerus. Sebab tertawa secara terbahak-bahak secara terus menerus bisa mematikan hati sebagaimana hadits yang dipesankan oleh Baginda Nabi kepada Abu Hurairah pada suatu saat.

Adapun bercanda yang bisa membuat orang lain tertawa adalah ketika candaannya memuat kebohongan sedangkan kebohongan itu berakibat buruk. Apabila masing-masing pihak tahu bahwa candaan itu adalah sekedar candaan, maka tidak ada masalah.