Bagaimana sih hijrah para sufi ini? Sebelum belajar tentang itu. Ada baiknya kita memahami hal ini. Ada delapan prinsip (adab), berbahasa Persia, dalam tarekat Naqsyabandiyah yang dikompilasi oleh Syekh Abdul Khalik Al-Ghujdawani, qs. Prinsip –prinsip ini kemudian disempurnakan menjadi 11 prinsip oleh Imam tarekat ini, Syah Muhammad Baha’uddin an-Naqsyaband. Salah satunya adalah Safar dar Wathon yang secara harfiah artinya adalah berjalan melintasi negeri.
Para Guru dalam tarekat ini sering mengartikan Safar dar Wathon, sebagai: perjalanan kembali ke kampung halaman. Itu artinya seorang salik (orang yang mengalami/belajar di perjalanan sufi-red) menempuh perjalanan dari alam ciptaan menuju alam Sang Pencipta. Diriwayatkan bahwa Nabi (saw) bersabda, “Aku menuju Tuhanku dari satu keadaan menuju keadaan yang lebih baik dan dari satu maqam menuju maqam yang lebih tinggi.”
Oleh karenanya seorang salik harus menempuh perjalanan spiritual meneladani perjalanan ruhani Rasululah ini. Penempuhan yang berlangsung dari alam hawa nafsu yang selalu meyukai hal-hal yang terlarang menjadi nafsu yang baik, yaitu keinginan untuk mencapai Hadirat Ilahi.
Mereka, para pembimbing jalan ruhani dari tarekat Naqsyabandiyah ini membagi perjalanan itu menjadi dua kategori: pertama, perjalanan eksternal. Perjalanan eksternal adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lainnya dalam mencari seorang mursyid (Kamil Mukammil) yang sempurna dan menyempurnakan, untuk membawa dan mengantarkan menuju tempat mendapatkan bimbingan. Kita sering mendapatkan cerita tentang seorang yang ingin menuntut ilmu harus berjalan jauh bahkan melintasi berbagai negara hanya untuk menemukan Guru yang layak baginya.
Ini tidak mudah, apalagi jaman dahulu, tidak ada sistem informasi yang secepat hari ini. Penempuhannya juga mesti melalui berbagai kesusahan karena jarak serta alat transportasi yang seadanya. Mestinya kita berkaca pada mereka, betapa susahnya mendapatkan seorang Mursyid, seorang Guru yang benar-benar memiliki kapasitas untuk membuka buhul ruhani kita. Sebab, ruhani yang belum diperjalankan rata-rata masih terikat, terbelenggu, oleh keinginan-keinginan duniawi. Pembimbing yang mampu menjalankan, membuka rahasia-rahasia ruhani kita. Melambungkan spiritual kita melintasi alam-alam ruhani hingga bisa duduk di Hadirat-Nya.
Bukannya malah merasa cukup dengan membaca buku dan kitab-kitab, yang itu –serumit apapun pengetahuan yang kita peroleh, hanyalah bersifat informatif belaka. Hatta, itu adalah soal penjelasan tentang hakikat, itu masih berupa informasi. Ruhani kita belumlah diperjalankan. Belum beringsut sejengkalpun. Namun, bahkan sudah banyak yang merasa puas dan mengumbar cerita di podium-podium keilmuan, meras sudah menjadi salik. Yang paling parah, cukup dengan mbah Google!
Perjalanan ini membuat kalian beranjak ke kategori kedua, yaitu perjalanan internal. Seorang salik ketika sudah menemukan seorang mursyid yang sempurna dilarang untuk melakukan perjalanan eksternal lainnya. Dalam perjalanan eksternal banyak kesulitan yang tidak dapat dihadapi oleh para pemula sehingga mereka jatuh ke dalam perbuatan yang dilarang, karena mereka lemah dalam ibadahnya.
Syekh Muhammad Irfa’i Nahrawi an-Naqsyabandi, qs, seorang Mursyid yang membimbing ribuan muridnya, menjelaskan; “seorang salik harus meninggalkan perilaku rendahnya dan beranjak menuju perilaku yang terpuji, akhlaknya para nabi dan wali, membuang semua nafsu duniawi dari dalam kalbunya.”
Hal ini sering dipraktikkan ketika seseorang datang meminta izin untuk menjalankan riyadhah (suluk) di Pondok Pesantren Qoshrul Arifin Atas Angin, Cikoneng, Kab. Ciamis, diperintahkan untuk menanggalkan niat-niatnya dahulu, bahkan jikapun itu adalah niat yang diperbolehkan, atau masuk kategori niat baik. Umpamanya, seseorang tersebut datang untuk melakukan riyadhah dalam rangka keluar dari permasalahan hidupnya, beliau memberi izin sembari mengingatkan agar niatnya dibuang jauh-jauh. Cukup dengan niat yang diarahkan oleh beliau. Berniatlah untuk mendapatkan ampunan, kasih sayang dan keirdhaan Allah, saja, tekannya.
Perjalanan internal adalah penempuhan ruhani. Ia adalah peralihan dari maqam ke maqam yang lebih tinggi. Karena setelah berada di lingkungan pasulukan atau tempat kholwat, jasad sudah terpisah dari dunianya, jauh dari kepentingan-kepentingan yang sebelumya memengaruhi ruhaninya. Maka selanjutnya, ia akan diperjalankan secara vertikal menuju Hadrah Ilahiyah. Ia akan diangkat dari keadaan yang belum suci menuju keadaan yang suci dan murni.
Pada saat itu ia tidak lagi memerlukan perjalanan internal lainnya. Ia harus fokus pada jalan yang dilempangkan oleh Gurunya tersebut. Berjuang menguak lembaran-lembaran kitab diri yang penuh rahasia. Menegakkan adab-adabnya untuk mencapai puncak pengetahuan ma’rifat. Oleh sang Mursyid Ia akan dibukakan pengetahuan siapa sejatinya dirinya dan siapa Tuhannya. Gurunya akan menuangkan air ma’rifat ke dalam hatinya setelah ia memurnikan kalbunya. Riyadhah-riyadhahnya akan membuat bersih jiwanya dan menjernihkan hatinya bagaikan air, transparan bagaikan kristal, mengkilap bagaikan cermin, sehingga akan memantulkan dan memperlihatkan hakikat dari semua hal yang penting dalam kehidupan sehari-harinya, tanpa perlu melakukan perbuatan eksternal dari dirinya. Kemudian dalam kalbunya akan muncul segala yang diperlukan di dalam kehidupannya dan bagi kehidupan orang-orang di sekitarnya.
Seberapa jauh dan panjang jangka waktu perjalanan internal ini? Hanya Mursyidnya lah yang mengetahui melalui informasi surgawi dari para Guru-guru sebelumnya. Adakalanya panjang dan ada kalanya pendek, tergantung pada sang murid pula. Seorang salik mesti menjaga dirinya dengan kesadaran Safar dar Wathon ini. Ia harus menyadari bahwa hidup hanyalah perjalanan pulang. Tidak boleh mapan. Tidak boleh berlama-lama dalam persinggahan. Tidak boleh terlena dalam kehidupan duniawi.
Jadi, inilah hijrah kita yang sebenarnya. Jauh dari urusan busana. Bukan pula urusan eksibisionisme keberagamaan. Ini bukan soal trend. Tapi tentang kembali kepangkuan keridhaan-Nya.