Bagaimana Sejarah Peperangan Islam-Kristen Dijadikan Landasan Sentimen Kebencian? (Bag-1)

Bagaimana Sejarah Peperangan Islam-Kristen Dijadikan Landasan Sentimen Kebencian? (Bag-1)

Sejarah peperangan Islam-Kristen berabad-abad lalu dijadikan landasan sentimen kebencian aksi teror. Apa efeknya bagi Muslim?

Bagaimana Sejarah Peperangan Islam-Kristen Dijadikan Landasan Sentimen Kebencian? (Bag-1)
Ilustrasi: Dzargon

Penembakan yang terjadi beberapa waktu lalu di dua masjid di kota Christchurch, Selandia Baru menjadi tragedi kemanusiaan yang menuai kecaman seluruh dunia saat ini.  Sekurang-kurangnya 49 Muslim meninggal di tangan Brenton Tarrant, seorang teroris Australia yang secara terang-terangan mengirimkan pesan kebencian terhadap imigran Muslim dengan mentarget masjid di waktu ibadah shalat Jumat.

Aksi penembakan bermotif kebencian terhadap imigran bukan kali pertama terjadi. Pada tahun 2011, Anders Beihring Breivik melakukan aksi pengeboman di kediaman Perdana Menteri Norwegia di Oslo yang menewaskan 8 orang. Hanya beberapa saat setelah ledakan terjadi, Breivik menginjak pedal gasnya menuju kemah pemuda Partai Buruh yang berhaluan kiri. Di sana ia melepaskan rentetan tembakan di tengah acara, menyebabkan 69 anak muda progresif meregang nyawa.

Tarrant mengaku mendapatkan inspirasi dari aksi berdarah Breivik. Motifnya sama, ingin melindungi dunia Barat dari serbuan imigran asing yang mengancam keberadaan masyarakat kulit putih di Barat.

Bagi Breivik, keberadaan para anak muda progresif juga perlu dimusnahkan, karena hanya akan melancarkan ‘hegemoni multikulturalis’ para imigran dan Muslim yang menurutnya pelan-pelan menguasai Eropa. Tarrant dan Breivik sama-sama menyampaikan manifesto anti-imigran, yang mewujud pada kebencian kepada Muslim.

Kebencian mereka kepada imigran Muslim tidak hanya reaksi atas isu terkini, tapi mereka membungkusnya dengan narasi sejarah peperangan Islam-Kristen yang jauh di masa lalu. Di badan senjata rifle R-15 yang dipakai oleh Terrant, tertulis nama-nama tokoh White Supremacist dan tentara perang yang dalam sejarahnya pernah melawan Muslim. salah satunya adalah Ernst Rudiger von Starhemberg, komandan perang pada pertempuran Wina 1683. Manifesto Brievik di tahun 2011 juga mengutip pertempuran Wina 1683.

Apa yang terjadi di Pertempuran Wina tahun 1683? Kenapa narasi sejarah ini jadi justifikasi aksi berdarah mereka?

Sejarah peperangan Islam-Kristen antara Kesultanan Utsmani dan Imperium Suci Romawi sudah berlangsung berabad-abad. Tentu yang paling diingat adalah Perang Salib. Akan tetapi, peristiwa Pertempuran Wina 1683 tidak bisa dilewatkan dalam lembaran sejarah. Pada tahun 1682, Kesultanan Utsmani sudah menguasai Laut Tengah dan sekitarnya, yang luasnya dari Maroko di ujung utara Afrika sampai Hungaria, di wilayah Eropa Tengah. Kota Wina menjadi sasaran ekspansi selanjutnya, dengan wilayahnya yang strategis dan menjadi kunci arus perdagangan yang menyusuri Sungai Danube sampai ke Laut Tengah.

Pasukan Utsmani, yang saat itu dipimpin oleh Kara Mustafa Pasha, memutuskan untuk mengepung Austria di luar benteng kota Wina. Jejak pengepungan sendiri masih bisa dilihat di Katedral St. Stephens di pusat kota Wina. Saat penulis berkesempatan mengunjungi gereja terbesar di Wina itu pada tahun 2014, seorang teman menunjukkan butir peluru meriam yang masih menancap di dinding katedral, bukti selama pengepungan itu Utsmani menembaki kota Wina dari luar benteng.

Pengepungan ini berlangsung selama berbulan-bulan sampai suplai makanan di kota menipis. Pada akhirnya Wina mendapatkan bantuan kekuatan dari pasukan persemakmuran kerajaan Polandia-Lithuania pimpinan Raja John Sobieski III. Pertempuran Wina sendiri pecah di perbukitan Kahlenberg pada bulan September 1683, yang hasilnya dimenangkan oleh pihak koalisi Imperium Suci Romawi, di bawah komando von Starhemberg, yang namanya tertulis di senapan rifle AR-15 milik Tarrant.

Sulit untuk melepaskan sentimen etnis dan keagamaan dari peristiwa ini. Masing-masing pihak merepresentasikan etnis dan agamanya. Kesultanan Utsmani sebagai kesultanan terbesar Islam, dan Imperium Suci Romawi mewakili peradaban Kristen Eropa. Kekalahan dari Imperium Suci Romawi menjadi awal mengendurnya pengaruh Utsmani di tanah Eropa. Tapi, apakah masih relevan?

Nah, spirit kemenangan atas Utsmani ini lah yang dicomot oleh Tarrant dan Brievik. Mengulang kemenangan ini jadi obsesi yang diidam-idamkan, sekaligus jadi narasi justifikasi aksi berdarah mereka. Brievik memberi judul manifestonya “2083 – European Declaration of Independence” yang bercita-cita mewujudkan kemerdekaan Eropa dari para imigran, sekaligus menandai 400 tahun kemenangan Eropa atas Islam.

Adapun Tarrant, yang Jumat lalu melakukan aksinya, menuliskan Starhemberg dan Vienna 1683 di wadah selongsong senapannya. Mengirim pesan kepada siapa saja, bahwa satu kali Islam pernah ditaklukkan, dan sejarah akan berulang.

Bersambung ke bagian 2: Bagaimana Sejarah Peperangan Islam-Kristen Dijadikan Landasan Sentimen Kebencian? (Bagian 2-Habis)