Bagi yang mengikuti tarikh tasyri’ islami (sejarah legislasi islam), tentu tidak asing dengan istilah al-tadarruj (pentahapan) dalam penentuan suatu hukum. Salah satu yang kerap dijadikan contoh adalah soal khamr (miras). Kalau tidak keliru, ada tiga tahapan sampai miras betul-betul diharamkan.
Setelah selesai dengan ketiga tahapan tersebut, apakah miras hilang dari dunia Islam? Tidak. Dalam catatan sejarawan, beberapa keluarga inti Khalifah di masa Daulah Islamiyyah adalah pemabuk. Begitupun dengan sejumlah ‘selebriti’ kala itu. Sebut saja yang paling terkenal penyair Hasan bin Hani’ alias Abu Nawas.
Berbicara soal Kekhalifahan Islam berarti bicara tentang kurun yang panjang. Dalam rentang waktu tersebut, pernah ada upaya redefinisi ‘khamr’. Sempat ada pendapat minor, bahwa khamr terbatas pada fermentasi anggur. Minuman yang bukan dari anggur tidak bisa disebut khamr. Konsekuensi hukumnya, kalau diminum sedikit dan tidak sampai mabuk; tidaklah haram.
Apapun itu, kok bisa ya kekhalifahan Islam membiarkan miras beredar?
Ya itulah tantangan kala itu. Sudah disiapkan hukuman tegas bagi peminum, tapi miras tetaplah sebuah bisnis. Supply and demand. Ada permintaan ada pemasok. Urusan perut memang pelik. Syeikh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir, pernah berujar bahwa tidak dosa penjual miras di selain negara Islam dan bagi non-muslim. Meskipun penjualnya muslim.
Ini Syeikh Ali Jum’ah. Mufti. Bukan orang sembarangan yang bicara. Pendapatnya juga berdasar pada salah satu pendapat di madzhab Hanafiah, bukan murni pendapat baru.Lalu bagaimana dengan ketentuan investasi miras yang belakangan sedang trending topic di Indonesia?
Sebenarnya dalam hal investasi di hal haram, ini bukan hal baru. Sebelumnya sudah ada bir yang diizinkan. Juga ada ‘khamr’ dengan kearifan lokal macam Ciu Bekonang atau Arak Bali. Kalau mau ditarik lebih ketat, kita juga ada pabrik rokok (menurut Muhammadiyah: haram).
Kadang sebagai muslim kita menyamakan dosa dengan kriminal. Menyamakan maksiat dengan tindak pidana. Padahal kan belum tentu? Kadang kita juga mengukur moral orang lain dengan standar yang kita punya. Pemabuk pasti moralnya bejat, misalnya.
Padahal kalau saudara lihat, orang Korea pada minum soju. Orang Jepang pada minum sake. Masyarakat kedua negara itu melihat orang mabuk dengan persepsi yang berbeda dengan kita. Tidak ada urusannya dengan degradasi moral.
Hal yang sama adalah rokok, bagi muslim Afrika. Perokok bagi masyarakat muslim Afrika juga dianggap orang yang moralnya bejat. Kawan Afrika saya, harus sembunyi-sembunyi untuk itu. Naik ke rooftop dan dalam kegelapan untuk hisap barang sebatang rokok. Ini berbeda dengan muslim Indonesia. Pada umumnya, perokok tidak dianggap orang bejat. Merokok tidak ada urusannya dengan moralitas.
Kembali ke soal miras. Kita bentengi diri kita, anak dan keluarga kita dari miras. Jika itu kita anggap sebagai standar moral kita. Ada atau tidak adanya investasi miras, keimanan tetap dipegang teguh.
Namun tidak perlu menilai orang lain dari standar yang kita bikin. Rasanya itu yang paling pas. Setuju?