Penulis disertasi yang viral “Milkul Yamin” Abdul Aziz mendapatkan pelbagai reaksi hingga persekusi. Beberapa media daring menurunkan berita tentang teror yang diterima keluarga penulis sehingga kehidupan pribadi mereka tidak lagi nyaman. Persekusi yang dilakukan dilaporkan dalam berita tersebut kebanyakan berasal dari media sosial.
Teror yang dilancarkan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab adalah titik paling memalukan di ranah pengetahuan, yang seharusnya dimuliakan dan orang-orang yang mau berkecimpung di dalamnya adalah manusia yang dimuliakan Allah sebagai orang yang dilebihkan derajatnya. Namun, kasus Abdul Aziz justru memperlihatkan bagaimana ilmu pengetahuan menjadi bulan-bulanan dan dihinakan karena diserang tanpa dasar dan sudah menyerang sisi kehidupan pribadi.
Lalu, mengapa ini bisa terjadi?
Jika ini ditanyakan kepada warganet, maka kemungkinan besar yang terjadi adalah saling tuding dan menyalahkan. Padahal, ilmu pengetahuan mengajarkan kita untuk rendah diri, menundukkan kepala sebagai tanda kerendahan hati dan hal itu bukan berarti kalah dalam diskursus keilmuan. Sebab, sejarah memang selalu mencatat bagaimana sebuah produk keilmuan dibungkam, diberangus dan dipendam oleh kekuasaan yang lalim. Namun, dalam rentang sejarah juga mencatat bahwa ilmu pengetahuan memiliki cara sendiri dalam bertahan dalam kondisi tersebut.
Socrates boleh dihukum mati, Al-Hallaj boleh digantung, hingga Farag Fouda ditembak tapi tidak disadari bahwa pengetahuan yang mereka hasilkan masih bisa dipelajari hingga sekarang.
Film “Bumi Manusia” juga tanda bagaimana pengetahuan bisa bertahan di tengah rezim otoriter. Apa yang terjadi di ranah media sosial sepanjang fenomena “Milkul Yamin” adalah fakta kegagalan beradaptasi dengan dunia ilmu pengetahuan yang dijunjung tinggi oleh Islam. Perbedaan di ranah ilmu pengetahuan, terlepas boleh atau tidak untuk konsumsi publik, memang sudah seharusnya dilihat sebagai sesuatu yang biasa.
Menghakimi sebuah produk pengetahuan tanpa ditimbang dengan pembacaan yang baik maka yang muncul dominan adalah hinaan dan cacian yang mendistorsi fakta bahwa produk tersebut memiliki bangunan pengetahuan yang kokoh atau tidak.
Hujatan dan hinaan di media sosial terhadap penulis dan keluarganya adalah fakta tentang gerakan massa lewat media sosial memang berhasil, bukan dengan memotivasi orang untuk membuat pengorbanan yang nyata. Tetapi dengan memotivasi mereka untuk melakukan hal-hal yang dilakukan orang ketika mereka tidak cukup termotivasi untuk melakukan pengorbanan yang nyata.
Oleh sebab itu, hujatan dan cacian adalah pilihan paling logis saat berhadapan dengan sesuatu yang tidak disetujuinya, terutama di media sosial, karena lewat layanan jejaring sosial lebih aman dari tanggung jawab politis dan hukum ketimbang lewat media massa.
Residu yang berbahaya dari ungkapan cacian, hinaan yang terlontar hingga mengamini kebencian di media sosial yang tidak disadari dari para pengguna media sosial, minimal ada bahaya yang mengancam warganet. Yaitu, dikelompokkan dengan orang-orang yang memiliki “kemarahan” yang sama.
Merlyna Lim menyebut “kantong algoritma” merujuk pada ruang atau komunitas terbayang yang dibentuk melalui teknologi. Dalam “kantong” tersebut, sulap algoritma menyatukan kita dalam satu komunitas yang memiliki preferensi sama, dan kebencian yang sama membuat linimasa dipenuhi dengan update status yang bernada sama.
Produksi ruang secara spasial akan mempengaruhi mentalitas para penghuninya sehingga menciptakan apa yang disebut oleh Henri Lefebvre sebagai produksi ruang sosial, yakni relasi produksi antara ruang secara spasial dengan masyarakat. Oleh karena itu, Lefebvre menganjurkan supaya kita memahami ruang dalam kaitannya dengan sejarah dan konteks secara spesifik.
Kebencian yang terus-menerus dikonsumsi lewat media sosial semakin menebalkan residu kebencian tersebut, yang berpotensi menjadi kekerasan baik fisik atau verbal. Di sinilah, sudah seharusnya dihentikan caci maki di media sosial pada hal yang kita tidak sukai terutama di media sosial. Permasalahan disertasi yang tidak kita sukai seharusnya bisa dipandang sebagai produk pengetahuan yang memang terbuka untuk kritik dan saran, bukan caci maki, hinaan atau kemarahan membabi buta.
Produk pengetahuan dari sebuah lembaga pendidikan seharusnya bisa lebih dihormati, sehingga kalau memang dikritik adalah produk pengetahuan sebagai objek dengan mengajukan wacana tandingan yang mampu bersaing. Bukan dengan menyerang opini membabi buta tanpa tahu apa yang dikritik, apalagi sampai menyerang pribadi penulis dan keluarganya.
Kekuasaan yang tiran dan menindas terhadap ilmu pengetahuan, atas bantuan media sosial, tidak lagi hanya ditujukan pada Negara. Sebab, kehadiran layanan jejaring sosial sudah merubah bahwa setiap orang memiliki kekuasaan hampir setara seperti negara untuk menindas pada sesuatu yang tidak disukainya. Sehingga, ketika masyarakat tidak mampu berbuat bijak atas sebuah pemikiran atau pengetahuan, maka ada yang sakit dan perlu diobati dalam kehidupan sosial masyarakat kita.
Fatahallahu alaihi futuh al-arifin