Mungkin kita menyangka, keadaan zaman sebelum dan saat nabi hidup, kaum perempuan tidak mendapat peluang sama sekali beraktivitas ke luar rumah. Yang terbetik dalam benak, pasti hanya beraktivitas di dalam rumah saja. Memasak, mengurus rumah, mengasuh anak dan pekerjaan umum lain yang hanya ‘dikhususkan’ untuk kaum wanita. Sebuah rutinitas yang ‘wajib’ dilakukan wanita manapun di belahan dunia hingga kini. Mereka tidak bisa meninggalkan rumahnya, sekalipun untuk keperluan beribadah atau beraktivitas sosial yang mengharuskan dirinya ke luar rumah. Apalagi, patriarkhalisme (sistem maupun paham yang memprioritaskan laki-laki) sangat bercokol kuat di tanah Arab.
Namun, kenyataan tidak selalu sesuai dengan apa yang kita duga. Banyak perempuan di zaman itu yang terlibat beraktivitas di ruang publik. Syeikh Abdul Halim Muhammad Abu Syuqqah, penulis Tahrirul Mar’ah, menceritakan bahwa sahabat perempuan di zaman Nabi telah turut serta dalam berbagai kegiatan, mulai dari ibadah sampai kegiatan ilmiah. Kisah-kisah ini diceritakan syekh dalam buku yang dikarangnya itu dari sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Dalam hal ibadah, Asma’, puteri Abu Bakar, khalifah pertama setelah nabi wafat, pernah bercerita : “Suatu ketika, gerhana Matahari tengah menaungi belahan sudut kota. Cuaca nampak sejuk tertimpa sinaran matahari yang redup. Waktu itu aku bermaksud keluar untuk mencari sesuatu yang kuperlukan. Setelah keperluanku terpenuhi, aku segera mendatangi masjid karena suasana jamaah kali ini tidak seperti biasanya. Saat memasuki masjid, kulihat rasul sedang berdiri. Beliau shalat rupanya, pikirku. Maka segera aku putuskan untuk mengikutinya. Tetapi aku merasa heran, kenapa beliau berdiri lama sekali. Sampai-sampai kakiku pegal dan ingin segera duduk. Sesaat aku tertegun waktu kutengok kebelakang. Aku melihat perempuan yang lemah keadaannya karena sudah termakan usia, tetap berdiri mengikuti nabi. Aku merasakan malu yang teramat sangat. Ia yang sudah tua renta saja masih kuat untuk terus berdiri, mengapa aku yang masih muda selalu mengeluh, seolah tidak mensyukuri atas apa yang kukecap kini, ujarku membatin. Maka, akupun berdiri lagi sampai kemudian aku dapat menunaikan shalat.”
Tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Asma’. Ayahnya, Abu Bakar mengisahkan tentang perempuan yang terlibat dalam sebuah perayaan umum. Itu terjadi saat nabi mengunjungi perkampungan Bani Najjar. Kabar tentang kunjungan itu hampir tersiar ke seluruh pelosok perkampungan. Suasana semarak tampak. Laki-laki-perempuan, tua-muda, besar-kecil, budak maupun merdeka, bersuka cita menyambut hari itu dengan menggelar berbagai aktivitas.
Tentunya kunjungan itu adalah sebuah kunjungan yang membanggakan bagi penduduk kampung. Suatu kehormatan bagi mereka bisa bertemu dengan pemimpin yang sangat mereka cintai. Beruntunglah mereka, karena di kampung itu terdapat banyak tempat tinggal paman-paman nabi yang sangat beliau sayangi dan mulyakan. Kunjungan itu seolah kewajiban bagi nabi sebagai tanda penghormatan terhadap para pamannya.
Tibalah waktu yang mereka nanti-nantikan. Rombongan nabi ahkirnya sampai juga ke perkampungan Bani Najjar itu. Sorak sorai bergema, nyanyian dilantunkan dan bebunyian ditabuhkan. Mereka mengelu-elukan nabi sambil mengatakan Wahai Muhammad, Wahai Utusan Allah. Sungguh saat itu menjadi hari yang sangat menyenangkan. Layaknya perayaan agustusan yang selalu dirayakan setiap tahun.
Hal itu dirasakan pula oleh Ummu ‘Atiyah, meski dalam kesempatan berbeda. Ia berkisah : “Tidak seperti hari-hari biasanya, kami kaum wanita, bahkan para gadis yang biasa dipingit dan wanita yang haid (waktu itu sudah menjadi tradisi bahwa wanita haid tidak diperkenankan ke luar rumah) diperintahkan keluar rumah. Sekeluarnya dari rumah, kami berkumpul dengan kaum laki-laki. Posisi mereka membelakangi kami. Namun kami secara bersamaan bertakbir, berdo’a dan bertahmid bersama kaum laki-laki. Kami bergembira menyambut hari Id dengan bentuk perayaan yang seperti ini. Karena, kaum perempuan dapat turut serta merasakan suka cita itu beda dengan hari-hari biasanya.”
Dalam kegiatan ilmiah, dikisahkan seorang perempuan bernama Fatimah, anak perempuan Pak Qais berkisah. Hari itu Ia memutuskan untuk pergi ke masjid. Ia hendak shalat berjamaah dan bermakmum kepada nabi. Setelah shalat selesai, nabi segera menuju ke arah mimbar. Ia ingin memberi tausiah kepada para jamaah yang hadir seperti biasanya. Beliau tersenyum ketika hendak menyampaikan ceramah.
Nabi berseru : “Semestinya setiap orang harus mendatangi tempat shalatnya, cerita Fatimah. Lalu nabipun bertanya lagi kepada para jamaah : apakah saudara sekalian tahu mengapa aku mengumpulkan kalian? Hadirin serempak menjawab : Allah dan Andalah yang paham akan maksud itu. Seraya menjawab : Demi Allah, maksud aku kumpulkan kalian bukan untuk merasakan kesenangan apalagi mengecap kesusahan. Tadi, seorang pemuda yang beragama nasrani bernama Tamim Addari, baru saja menyatakan diri untuk berislam. Ia bercerita tentang kejahatan fitnah Dajjal yang akan datang. Dan aku tertarik menceritakan ini kepada kalian semua wahai saudaraku. Kita baru saja diingatkan oleh Tamim Addari, tentang kejahatan fitnah dajjal, meski ia baru berislam, tukas beliau.
Kenyataan di atas memang sangat tak asing lagi dalam pandangan kita saat ini. Banyak kita jumpai mereka di forum seminar, pengajian, sekolah-sekolah, atau kegaiatn ilmiah lainnya. Jelaslah apa yang dimaksud Al-Quran maupun perintah nabi pergi ke negri Cina. Sebuah seruan untuk memberantas kebodohan yang ditujukan kepada semua mahluk tanpa melihat jenis kelamin.
Cerita di atas adalah sekelumit dari sejarah yang terekam. Layaknya sebuah perjalanan hidup, sudah barang tentu kondisi riil mungkin menceritakan lebih dari itu. Hanya saja, berita mengenai amaliah mereka teramat sedikit—bila tidak ingin dikatakan tidak ada–. Dan, siapa yang peduli dan hendak mengingat, bahwa dibalik kejayaan suatu peradaban, tangan-tangan perempuan turut serta mengukir dan menciptanya.
Tulisan ini sebelumnya termuat di Syir’ah 35