Bagaimana Organisasi Islam Indonesia di Luar Negeri, Agensi Keagamaan?

Bagaimana Organisasi Islam Indonesia di Luar Negeri, Agensi Keagamaan?

Muhammadiyah, NU dan organisasi Islam lain memiliki agensi di Luar Negeri, apa fungsinya?

Bagaimana Organisasi Islam Indonesia di Luar Negeri, Agensi Keagamaan?
Ilustrasi: Muhammad Abdul Syukri, mahasiswa Pasca Sarjana Ilmu Politik University of Duisberg-Essen Jerman ini nekat jalan-jalan pakai sarung di Berlin. Poto itu pun menjadi viral dan akhirnya membuat gerakan Sarungan Challenge di banyak tempat.

Organisasi-organisasi Islam utama di Indonesia seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, dan Persatuan Islam (Persis), dan juga partai politik (parpol) Islam, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) memiliki cabang (istimewa) di luar negeri. Selain itu, ada juga pengurus, kader, dan simpatisan organisasi-organisasi Islam dan parpol Islam lainnya yang menyuarakan ideologi dan praktik-praktik keagamaan afiliasinya tanpa secara resmi mewakili mereka, tetapi lebih secara pribadi mengatasnamakannya.

Dilihat dari satu sisi, hal tersebut mengindikasikan bahwa dunia (Islam) semakin mengglobal, dan warga Indonesia (Muslim) turut berpartisipasi di dalamnya. Ditinjau dari sudut pandang yang lain, kita patut membuat sebuah pertanyaan penting: apa motivasi atau tujuan kelompok-kelompok tersebut?

Tentu saja jawabannya bisa sangat beragam, mulai dari faktor religiusitas yang mungkin menjadi yang paling utama, hingga aspek politis yang mungkin juga sangat penting, tetapi sering ditutupi karena alasan-alasan normatif. Di dalam tulisan ringkas ini, saya akan mencoba mengulasnya dari sudut pandang sosiologi politik, yaitu dengan menguraikan kemungkinan bahwa salah satu motivasi atau tujuan berdirinya kelompok-kelompok tersebut di luar negeri adalah karena adanya upaya untuk membentuk agensi keagamaan (religious agency) bagi kepentingan mereka.

Agensi keagamaan: sebuah konsep

Ada beragam definisi dari konsep agensi, baik itu dalam sosiologi, filsafat, maupun psikologi. Dari sudut pandang sosiologi, secara umum agensi adalah kemampuan individu/kelompok untuk bertindak secara mandiri dalam lingkungan tertentu. Agensi menyiratkan kapasitas untuk memahami dan mempengaruhi lingkungan mereka, baik secara aktif maupun pasif. Dalam ruang lingkupnya, agensi dibatasi oleh struktur, yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi dan sering kali menentukan atau bahkan membatasi kemampuan individu/kelompok dalam bertindak secara mandiri. Struktur yang dominan dan sering kali menentukan kapabilitas individu/kelompok di antaranya adalah status, kelas sosial, etnisitas, agama, jenis kelamin, kewarganegaraan dan lain sebagainya.

Menurut Laura M. Leming (2007), agensi keagamaan adalah konsep sosiologis yang menyediakan lensa untuk mempertajam pemahaman mengenai cara-cara individu/kelompok dalam mengklaim dan menetapkan identitas keagamaan yang berarti. Leming memperlihatkan kepada kita bagaimana agensi keagamaan diciptakan dalam strategi-strategi emosional, intelektual, dan perilaku (behavioural) di mana akhirnya ia mampu menggerakkan individu/kelompok untuk bernegosiasi dengan identitas-identitas lain yang saling tumpang-tindih.

Jörg Rüpke (2015) menjelaskan bahwa agama dipahami sebagai strategi untuk menghubungkan agensi dengan agen-agen (individu/kelompok) yang tampaknya tidak masuk akal. Ada tiga bagian besar agensi keagamaan, yaitu: (1) bertindak religius dengan keterkaitan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan; (2) identitas agama kolektif; dan (3) komunikasi agama. Terhadap kondisi ini, agama dijelaskan sebagai sumber daya budaya yang tidak stabil yang diartikulasikan melalui agensi individu dan memungkinkan perubahan atribusi agensi individu.

Sementara itu, Allen D. Hertzke (2017) tidak membedakan antara agensi keagamaan dengan kebebasan beragama. Menurutnya, agensi keagamaan adalah hak untuk mempraktikkan, menafsirkan, mengkritik, atau mengubah keyakinan seseorang. Secara umum, agensi keagamaan merepresentasikan dimensi aktif dari kebebasan beragama yang termaktub dalam hukum internasional. Agensi keagamaan memperlihatkan kapasitas individu/kelompok untuk mempraktikkan pemikiran-pemikiran keagamaan. Kapasitas tersebut membantu menjelaskan dampak yang luar biasa dari kebebasan beragama terhadap pembangunan sumber daya manusia, tata kelola pemerintahan, dan penyertaan.

Orientasi warga Indonesia di luar negeri

Bagi kelompok-kelompok diaspora Indonesia di luar negeri, tanah air pada dasarnya membentuk kehidupan pasca-migrasi secara signifikan, dan oleh karenanya ia tetap menjadi titik acuan khusus untuk kehidupan mereka. Di era teknologi komunikasi dan moda transportasi yang semakin canggih ini, banyak orang Indonesia di luar negeri memilih untuk mempertahankan hubungan mereka dengan orang-orang dan institusi di tanah air untuk kontak real-time yang lebih teratur (Trupp dan Dolezal 2013).

Orang Indonesia yang tinggal di luar negeri dapat memilih dari semua informasi tentang tanah air yang tersedia bagi mereka dan secara selektif memutuskan apa yang penting dan menarik untuk dikonsumsi dan apa yang harus diabaikan. Mereka dapat dengan mudah memilih untuk mengingat kenangan masa lalu (atau bahkan trauma) dengan mempertimbangkan perkembangan dan perubahan dan dengan demikian menghasilkan pandangan tentang tanah air yang terdistorsi (Missbach, 2011).

Tergantung pada apakah keberangkatan dari tanah air secara sukarela atau tidak dan apakah tinggal di luar negeri dimaksudkan untuk jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang, atau bahkan permanen, orang cenderung untuk membuat dan menciptakan kembali hubungan dengan tanah air secara kolektif dan individual dari waktu ke waktu dalam berbagai cara, misalnya, melalui asosiasi pekerja di luar negeri, organisasi mahasiswa, kelompok afiliasi keagamaan, atau perkumpulan-perkumpulan budaya (Missbach dan Myrttinen 2014, 142).

Meskipun tinggal di luar negeri, orang Indonesia cenderung menggali kenangan masa lalu mereka, atau bahkan mungkin bermimpi kembalinya mereka dan masa depan yang lebih cerah, di mana hal yang belakangan justru sering tidak nampak terlihat di kalangan imigran Tionghoa dan India di negara asing yang mereka tempati.

 

Bagi orang-orang Indonesia yang tinggal di luar negeri yang memproyeksikan diri mereka ke tanah air, mereka ternyata menjadi sarana yang kuat untuk agenda politik jarak jauh mereka, solidaritas/aktivisme transnasional, penggalangan dana, dan bahkan untuk membentuk reputasi Indonesia di negara yang sekarang mereka tempati. Bayangan tentang tanah air sama sekali tidak homogen atau statis; alih-alih mereka berkembang dari waktu ke waktu dan justru lebih sering berubah menjadi agak terfragmentasi, ambivalen, atau bahkan tidak realistis ketika mereka melihat tanah air Indonesia dengan cara yang berbeda (Missbach dan Myrttinen 2014 , 142).

Agensi keagamaan organisasi Islam Indonesia di luar negeri?

Menurut hemat saya—sebelum melakukan penelitian yang lebih mendalam—penelitian-penelitian terdahulu di atas tentang diaspora Indonesia di luar negeri memperlihatkan bahwa ada kecenderungan yang kuat dalam diri orang-orang Indonesia ketika mendirikan perkumpulan-perkumpulan sosial-budaya-ekonomi-politik bahwa orientasi kepentingan terhadap tanah air muncul lebih kuat dibandingkan dengan motivasi untuk menjadi bagian yang integral dari negara baru yang mereka tempati. Dalam konteks agensi keagamaan untuk bertindak secara mandiri dalam lingkungan barunya (baik secara permanen maupun sementara waktu), organisasi-organisasi Islam Indonesia di luar negeri cenderung untuk lebih memproyeksikan dirinya ke dalam kepentingan-kepentingan kelompoknya di tanah air.

Dengan kata lain, kapasitas  yang mereka miliki belum secara optimal dimanfaatkan untuk mempengaruhi lingkungan baru mereka di negeri asing. Penyebab kondisi tersebut bermacam-macam. Jika kita kaitkan dengan struktur sosial-politik, terutama dengan kondisi di Eropa, Amerika Serikat, atau negara-negara Barat lainnya, dan juga dengan negara-negara di Timur Tengah, kita dapat melihat bahwa kelas sosial, etnisitas, dan kewarganegaraan memainkan peran penting dalam membatasi kemampuan organisasi-organisasi Islam Indonesia dalam mengarahkan ideologi, kebijakan, dan praktik-praktik sosial-keagamaan, serta memainkan peran-peran mereka lainnya di negara-negara asing tersebut.

Jika kita kaitkan dengan konsepsi yang diformulasikan oleh Leming di atas, agensi keagamaan organisasi-organisasi Islam Indonesia di luar negeri cenderung masih lemah dalam mengklaim dan menetapkan identitas keagamaan yang berarti di sana. Strategi-strategi yang diciptakan nampak kurang mampu untuk menggerakkan mereka untuk bernegosiasi dengan identitas-identitas lain yang saling tumpang tindih.

Hal tersebut sangat bertolak belakang dengan, misalnya, Muslim Pakistan di Inggris atau Muslim Turki di Jerman yang akan dengan tegas mengklaim dan menetapkan identitas ganda mereka (sebagai Muslim dan sebagai orang Pakistan/Turki) untuk terlibat secara aktif dalam mempengaruhi kehidupan keberagamaan di negara-negara baru yang mereka tempati tersebut dan untuk mampu bertindak secara mandiri dalam lingkungan asing tersebut.

Dalam kaitannya dengan proposisi yang diuraikan oleh Rüpke di atas, proyeksi keagamaan dari organisasi-organisasi Islam Indonesia di luar negeri cenderung untuk terjebak dalam dimensi pertama agensi keagamaan yang dijelaskan olehnya, yaitu bahwa mereka melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dengan keterkaitan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan untuk tanah air, yang pada akhirnya memperlihatkan bahwa kehidupan keberagamaan mereka di negara asing adalah bagian dari sumber daya budaya yang tidak stabil yang diartikulasikan melalui agensi individu/kelompok yang lemah.

Proyeksi ke depan

Harapan muncul ketika organisasi-organisasi Islam Indonesia yang utama, seperti NU dan Muhammadiyah, mulai aktif terlibat dalam kehidupan keberagamaan publik yang lebih luas di negara-negara Barat dan negara-negara lainnya. Melalui, terutama, mahasiswa-mahasiswa yang belajar di sana yang merupakan kader dan simpatisan kedua organisasi tersebut, keduanya mampu memberikan artikulasi penting tidak hanya bagi orientasi kehidupan keberagamaan mereka di tanah air, tetapi juga memberikan secercah harapan bagi kontribusi penting mereka dalam mewarnai kehidupan keberagamaan di negara yang kini mereka tempati.

Muhammadiyah, misalnya, sudah mendirikan program Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di Mesir, dan berencana akan membangun sekolah Muhammadiyah pertama di luar negeri, yaitu di Melbourne, Australia, serta perguruan tinggi di Malaysia dan Thailand. Mereka juga menjadi consultative member ECOSOC, lembaga sosial-ekonomi PBB dan aktif terlibat dalam International Contact Group (ICG) untuk proses perdamaian di Filipina selatan.

Sementara itu, sejak beberapa tahun terakhir NU terlibat aktif dalam mempromosikan konsepsi dan praktik Islam Nusantara sebagai ciri khas Islam Indonesia yang moderat. Beberapa hal yang dilakukan untuk mendukung promosi tersebut dilakukan di antaranya oleh Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di Belanda dengan, misalnya, mengadakan konferensi akademik dua tahunan tentang nilai-nilai Islam Nusantara, yang pertama tahun 2017 di Amsterdam dan yang kedua tahun 2019 di Nijmegen. Selain itu, pengaruhnya di Afghanistan pun semakin menguat di mana di sana berdiri NU cabang dengan pengurus-pengurusnya adalah warga lokal.

Kini kita berharap bahwa di masa yang akan datang akan ada lebih banyak pemikiran-pemikiran dan praktik-praktik keagamaan yang akan dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah dan juga organisasi-organisasi Islam Indonesia lainnya di luar negeri untuk dapat menciptakan dan mengklaim agensi keagamaan yang mandiri yang pada akhirnya akan dapat menciptakan bukan hanya citra Islam Indonesia yang positif, tetapi juga kebermanfaatan mereka bagi dunia global, khususnya negara-negara di mana mereka kini tinggal.