“Sosok Tuhan itu kayak gimana sih?” “Kenapa Tuhan seolah-olah ada banyak, mengingat ada banyak agama?”
Dengan meningkatnya waktu bersama buah hati di rumah, barangkali para orang tua akan terkejut-kejut mendengar pertanyaan-pertanyaan ajaib dari anaknya. Maklum, selama ini waktu anak banyak dihabiskan di sekolah dan memang orang tua “menitipkan” dan sepenuh hati mempercayakan buah hatinya pada sekolah.
Belajar di rumah seyogianya tidak dimengerti sekadar memindahkan tempat menerima materi di rumah, sehingga kita tidak cukup memasrahkan anak pada aplikasi bimbingan belajar. Sebaliknya, orang tua juga harus siap dengan rasa penasaran anak. Terlebih, anak-anak yang sedang bertumbuh akal dan jiwanya. Tak terkecuali, pertanyaan tentang sosok Tuhan, sebuah pertanyaan yang barangkali sulit bahkan musykil dijawab oleh orang tua biasa.
Sehari-hari saya bekerja sebagai guru sekolah alternatif di bilangan Yogyakarta. Beberapa kali pertanyaan tentang Tuhan meluncur dari mulut peserta didik.
Terus terang, saya pernah pusing menghadapi pertanyaan anak semacam: “Mas, sosok Tuhan itu kayak gimana sih?” “Mas, kenapa Tuhan ada banyak (karena agamanya juga banyak)?”
Pertanyan-pertanyaan murid saya ini tentu saja memacu saya untuk terus belajar, hingga akhirnya bertemu dengan buku lawas karya Y.B Mangunwijaya berjudul Menumbuhkan Sikap Religius pada anak dan buku Quraish Shibah yang berjudul M. Quraish Shihab Menjawab Pertanyaan Anak Tentang Islam.
Dalam dua buku tersebut, dijelaskan banyak ilmu tentang cara membincangkan persoalan iman yang oleh sebagain orang dianggap sensitif untuk dibicarakan pada anak. Padahal, anak, melalui radarnya, sudah bisa ‘menangkap’ Tuhan dengan perspektifnya yang khas : cendrung konkret dan belum bisa abstrak.
Kalau kita mau jujur, semasa kita kecil, kita pastilah pernah membayangkan Tuhan dalam bentuk fisik yang kongkrit. Itu adalah hal yang wajar, sebab anak-anak masih berpikir kongkret.
Saya dulu pernah dimarahi ketika menggambarkan Tuhan. Tuhan dalam bayangan masa kecil saya adalah seorang lelaki yang tingginya selangit, memakai peci dan berbusana serba putih. Dan memang di dalam ajaran agama Islam, Tuhan haram digambarkan. Saya dan barangkali Anda ditakuti oleh orang-orang dewasa dengan beban dosa. Saat itu, saya ketakutan. Mengapa Tuhan bisa sangat kejam dan menakutkan?
Saya benar-benar tidak bisa melupakan satu scene dalam serial Lorong Waktu yang menampilkan Opie Kumis sedang melamun di Masjid. Kemudian dia ditanya oleh Pak Ustadz, “Sedang mikir apa?”
Ope menjawab, “Allah kira-kira laki apa perempuan ya?”.
Sontak saja si Opie Kumis dipukul pantatnya oleh Ustadz, alih-alih mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Praktik menakuti anak dengan beban dosa sangatlah merusak. Keimanan anak akhirnya adalah iman ketakutan, bukannya kasih sayang. Bagaimana tidak, Tuhan diperkenalkan sebagai hakim atau barangkali polisi yang paling suka mencari kesalahan orang.
Dalam situasi yang berbeda, Tuhan juga diperkenalkan sebagai pedagang di mana Tuhan menuntut amal kita dahulu, sebelum memberikan imbalan berupa pahala. Padahal, kita tidak sedang dalam posisi berdagang, to give and to take.
Tuhan memberikan kasih sayang bukan karena Dia menuntut perbuatan kita, tapi ia memberikan kasih sayang memang karena Dia adalah Sang Pengasih dan Penyayang. Karena itulah, surga itu terlalu megah bagi kita, sehingga amal baik pun tidak menjadi jaminan menjadikan kita layak memasukinya.
Nabi SAW bersabda: “Tidak seorang pun masuk surga karena amalnya. Sahabat bertanya, “Engkau pun tidak?” Beliau menjawab, “Saya pun tidak, kecuali berkat rahmat Allah kepadaku.”
Ketidaktepatan kita dalam mengenalkan Tuhan pada anak, bisa berakibat si anak dapat menjadikan Tuhan sebagai Tukang sulapnya. Anak-anak yang tak pernah belajar, ketika ujian mereka mendadak menjadi relijius, sholat malam, rajin ke gereja, karena berharap Tuhan mau menambal kekurangan prestasi mereka yang malas belajar.
Bagaimana mungkin Tuhan kita harapkan menjadi wasit yang curang? Tuhan, barangkali, karena sifat pemurahnya, tetap saja menganugrahi si pemalas tadi dengan keberuntungan, tapi anak bisa jadi kemudian menjadi menyepelakan Tuhan. Dianggapnya Tuhan sebagai pembantunya.
Lantas bagaimana cara kita mengenalkan sosok Tuhan pada anak?
Kesadaran pertama yang harus dimiliki oleh orang tua adalah pemahaman bahwa proses ini tak bisa sekali jadi. Diperlukan dialog terus-menerus melalui peristiwa sehari-hari. Sebab, setiap harinya, pemahaman anak atas Tuhan akan terus berkembang.
Kepada anak kecil, misalnya, Prof Qurasih Shihab menyarankan gunakanlah perumpamaan-perumpamaan yang mudah. Umpamanya, mengandaikan Tuhan dengan nyawa; Ia kita yakini ada, namun tak mampu kita tangkap wujudnya.
Dan bila anak tidak puas dan terus mengejar jawaban, maka tidaklah mengapa jika kita, sebagai orang tua, menjawab bahwa kita tidak tahu. Toh memang kita tidak pernah tahu.
“Jangan bohong, itu paling menusuk hati. Jujur saja, kalau kita juga masih belum tahu Tuhan. Kepuasan anak bukan pada ‘teori’ tapi pada ‘Ibulah’ yang mengatakannya”. Demikian nasihat Y.B Mangunwijaya dalam bukunya.
Bila Anda Takut anak Anda menjadi tidak percaya Tuhan, sesekali ajaklah mereka ke tepi laut. Usahakan cari tebing yang tinggi, sehingga Anda, juga anak Anda, bisa melihat laut beserta cakrawalanya yang luas.
Pikiran anak memang masih kongkrit, tapi anak memiliki penghayatan yang bagus. Laut, yang secara fisik berupa air bisa menjadi sesuatu yang dirasakan berbeda ketika sang anak, juga anda, melihatnya dalam spektrum yang lebih luas. Tataplah laut, rasakan desar anginnya dan penuhlah dada anda dengan rasa takjub.
Dan, coba bisikkan pada telinga anak Anda, “nak, dari manakah angin berhembus?” atau “Siapa yang menghembuskannya?” Tanpa Anda jawab, si anak biasanya akan merasa bahwa kita memang tak mampu menjawabnya, hanya bisa merasakannya.