Entah kisahnya nyata atau tidak, seorang suami berpenghasilan 2,5 juta setiap bulan. Suami tersebut bekerja di luar kota, dengan kondisi istri dan anaknya masih tinggal di rumah mertua.
Singkat kisah, istrinya protes karena hanya mendapatkan jatah bulanan 100 ribu, sementara mertuanya 500 ribu, sisanya habis untuk berbagai cicilan.
Gaya komunikasi suami kepada istrinya terlihat kurang baik, ibu mertuanya juga kelihatan kurang berempati dengan menantunya. Catatan harian ini akan berusaha untuk membedah kisah ini, dengan harapan bisa membantu.
Mula-mula harus tetap dipahami bahwa rumah tangga itu misteri. Kadang mudah ditebak, kadang sulit ditebak. Lika-likunya seperti terpola, tetapi juga sering kali muncul di luar nalar.
Ada yang bisa menghadapinya dengan biasa-biasa saja, ada yang awalnya pedih lalu secara perlahan mulai menerima atau yang sampai frustasi berkepanjangan. Itulah mengapa rumah tangga, yang diawali dengan pernikahan yang sah, disebut Al-Qur’an sebagai mitsaqan galizha, perjanjian yang amat berat.
Tidak ada jalan keluar yang paling menenangkan dalam menghadapi setiap masalah dalam rumah tangga, kecuali dengan terus berlatih bersikap dewasa dan mengembalikannya kepada Allah Swt.
Tidak luput dari masalah dalam rumah tangga adalah masalah keuangan. Dalam kasus ini, seperti setiap saya dihadapkan pada kasus-kasus serupa dalam kehidupan rumah tangga orang lain, bahwa setiap pihak harus membuka diri, berpikiran terbuka, tidak saklek, tidak merasa paling berkuasa dan menyadari bahwa setiap pihak berkontribusi melakukan kekeliruan.
Dalam hal keuangan, yang berasal dari gaji, harus diupayakan agar suami tetap melibatkan istrinya secara kemitraan. Berapapun nominal gaji suami, sebaiknya suami dengan istri dapat terus bertukar pikiran, bagaimana setelah mendapat gaji, uang tersebut akan digunakan untuk keperluan apa saja, mengingat setiap bulan itu ada pengeluaran yang sifatnya rutin dan yang tak terduga.
Tidak ada salahnya suami memberi uang 500 ribu kepada ibu yang menjadi orang tuanya. Hanya saja tidak bijak kalau saklek atas dasar pertimbangan sepihak dari suami.
Sesuaikan dengan keperluan setiap bulannya, pembagian pengeluaran tersebut harus mengandung asal proporsional. Bahkan misalnya di bulan kapan, ibunya suami yang berjasa memberikan ruang untuk dijadikan tempat tinggal menantu dan anaknya, tidak diberi uang sama sekali juga tidak masalah.
Dengan catatan ibunya diberi pengertian dan komunikasinya dijalin dengan baik setiap hari.
Lalu bagaimana langkah berikutnya yang bisa dilakukan istri?
Sebagai Muslim/Muslimah yang baik, selalu minta petunjuk dari Allah agar apa yang ia hadapi mendapat kemudahan. Lalu ajak suami bicara baik-baik, logis dan penuh simpati. Istri dalam hal ini memang harus bisa menyisihkan uang berapapun nominalnya untuk merintis kemandirian, misalnya dengan berjualan kecil-kecilan.
Selain merintis kemandirian itu penting, juga untuk kewaspadaan dini agar ia tetap menjadi istri yang berwibawa. Tidak ada salahnya juga kalau istri bisa mengajak ibu mertuanya untuk bertukar pikiran.
Uang 2,5 juta memang tidak terlalu banyak, meskipun masih banyak saudara-saudara kita di luaran yang pendapatan bulanannya lebih kecil dari 2,5 juta. Oleh karena itu, nominal tidak jadi ukuran, yang jadi ukuran adalah rasa syukur, pengelolaan keuangan yang baik dan ada nominal yang harus disisihkan untuk menabung.
Sekali lagi suami tidak boleh sewenang-wenang, semua sendiri dan memutuskan kebijakan dalam rumah tangga secara sepihak tanpa melibatkan suara istri. Suami mesti mengetahui pengeluaran bulanan yang rutin menjadi kebutuhan, berikut keperluan-keperluan lainnya. Hal ini dilakukan bukan berarti istri tidak bersyukur.
Saya yakin keadaan akan berangsur membaik. Suami akan sadar akan kelemahannya selama ini, demikian juga ibu mertuanya.
Di saat yang sama, istri juga akan semakin menghormati suami dan ibu mertuanya, akan semakin pandai dalam mengelola keuangan. Hidupnya pun akan tenang dan berkualitas.
Kalau misal, setelah segala upaya dilakukan, dan tidak ada tanda-tanda perbaikan dari suami, solusinya hanya 2 pilihan: bertahan dengan suami yang saklek atau bertindak tegas (setelah sekian bulan) untuk mengakhiri hubungan dengan suaminya. Bertahan atau berpisah adalah keputusan yang masing-masing ada risikonya. Saran saya, ikuti apa kata hati.
Terakhir, istri tidak boleh terlalu bergantung pada suami. Tidak perlu menghabiskan energi untuk mengeluh dan meratapi nasib. Bergerak dan bertindak tegaslah.
Kebaikan hidup istri seutuhnya ada di tangan Allah dan dirinya sendiri. Satu cara mentok, cari cara lain. Tetap kendalikan diri dan jaga mental.
Jangan sampai karena satu masalah ini, mental drop dan akhirnya jatuh sakit, semuanya berantakan. Terlalu banyak contoh para istri yang bisa hidup mandiri, baik secara intelektual, emosional, spiritual maupun finansial.
Wallahu a’lam