Tadi pagi aku diskusi dengan beberapa mahasiswa tentang situasi mutakhir Indonesia yang centang perenang, karut bin marut, saling dendam kesumat dan saling menghancurkan karakter. Perbincangan terjadi dan berlangsung damai, saling mendengar dan saling merespon tanpa emosi.
Lalu salah seorang dari mereka bilang dengan percaya diri : “Kita ini tidak berhukum dengan hukum Allah dan tidak mengikuti Allah. Kita hanya mengandalkan akal saja. Inilah jadinya. Kacau balau”.
Aku bilang : “Anda benar. Saya sepakat bahwa kita harus taat kepada Allah dan berhukum dengan hukum Allah. Semua orang yang beriman niscaya setuju dengan pernyataan itu. Tapi persoalannya tidaklah sesederhana itu. Bagaimana kita dapat mengetahui hukum Allah itu, yang manakah ia?.
“Itu ada dalam Al-Qur’an”, katanya lagi.
“Ya. Tapi bukankah al-Quran itu adalah susunan huruf-huruf?. Huruf-huruf itu bicara atau mengatakan apa?. Ia adalah simbol-simbol dari kehendak-kehendak-Nya. Bagaimana kita memaknai simbol-simbol itu?.
Dalam sejarah kaum muslimin sampai hari ini selalu terjadi perbedaan pendapat hukum di kalangan para ahli. Mengapa kaum muslim sering tidak sepakat atas maksud suatu ayat, sehingga melahirkan kesimpulan yang berbeda-beda?. Mengapa ada ribuan tafsir yang berbeda-beda dan beragam?
Mengapa ada banyak aliran hukum (Mazhab) di kalangan kaum muslimin, padahal sumber hukum mereka sama: al-Qur’an dan Hadits (al-Sunnah)?. Yang pasti dari Allah itu yang mana di antara banyak pendapat itu, atau bagaimana dan seperti apa?. Belum lagi jika bicara tentang “Qiroat Sab’ah”, 7 model bacaan.
Perbedaan Qiroat itu, bisa menimbulkan perbedaan hukum.
Lalu saya segera menanyakan lagi : “Siapakah yang menafsirkan, memaknai atau memahami ayat-ayat Al-Qur’an itu? Dan dengan apakah ia menafsirkan, memaknai atau memahaminya?.”
Demikian pula halnya dengan hadits Nabi saw. Bukankah semuanya kini sudah dalam bentuk tulisan, hasil kumpulan atau kompilasi para ahli. Dan kita melihat penilaian tentang autentisitas atau validitas suatu hadits dari sisi transmisi beragam. Meskipun ada kesepakan tentang autentisitas atau validitas (kesahihan) sebuah hadits dari sisi “sanad” (transmisi), tetapi apakah sahih pula dari aspek matan (isi/konten). Banyak ahli hadits mengatakan :
ليس كل ما صح سنده صح متنه
“Tidak semua hadits yang valid sanad (transmisi) nya, sahih mantannya”.
Dalam redaksi Imam Nawawi, ahli hadits besar dalam kitab “al-Taqrib”, disebutkan :
أن صحة الإسناد لا تقتضي صحة المتن
“kesahihan sanad (rangkaian Nara sumber) tidak serta merta berarti sahih matan (konten) nya.
Para mahasiswa itu diam saja. Ada yang mengangguk-angguk. Lalu saya menulis di white board :
وهذا القرآن إنما هو خط مسطور بين دفتين لا ينطق إنما يتكلم به الرجال. (الطبرى: تاريخ الأمم والملوك)
“Al-Qur’an ini adalah tulisan yang ditulis di antara dua tepi. Ia tidak berkata-kata (berpikir), sesungguhnya yang berkata adalah orang”.(Imam al-Thabari dalam “Tarikh al-Umam wa al-Muluk”).
Itu adalah kata-kata Ali bin Abi Thalib dalam perdebatannya dengan orang-orang khawarij pada peristiwa “Tahkim” di Daumah al-Jandal, tahun 37 H, usai perang saudara di Shiffin, di hulu sungai Eufrat (First), Irak.
Imam Ali bin Abi Thalib juga pernah mengatakan :
القران حمال أوجه
“al-Qur’an itu mengandung berbagai dimensi makna”