Bagaimana Mazhab Syafii Bisa Tersebar Luas?

Bagaimana Mazhab Syafii Bisa Tersebar Luas?

Mazhab Syafii dianggap sebagai mazhab yang populer di Asia Tenggara, lalu, bagaimana mazhab ini bisa tersebar luas dan bertahan hingga saat ini?

Bagaimana Mazhab Syafii Bisa Tersebar Luas?

Bagaimana Mazhab Syafi’i bisa berkembang di seluruh dunia? Pakar hukum islam, Abu Zahrah, dalam Tarikh Madzahib al-Islamiyah mencatat penyebaran dan penguatan mazhab biasanya tidak lepas dari campur tangan pemerintah.

Menurut Abu Zahrah, pemerintah atau khalifah pada masa itu sering mengangkat hakim dari mazhab yang berlaku. Di Irak misalnya, ketika Daulah Abbasiyah menjadikan kota Baghdad sebagai ibu kota, khalifah memilih ulama-ulama dari kalangan hanafiyah untuk mengisi pos-pos hakim.

Bahkan ketika suatu saat khalifah memilih ulama dari kalangan Mazhab Syafi’i, tepatnya pada masa Khalifah al-Qadir Billah (w. 422 H), terjadi kegaduhan oleh penduduk Baghdad karena fatwa yang dikeluarkan. Hingga akhirnya khalifah pun mencopot ulama yang bermazhab Syafii tersebut. Begitu juga dengan Mazhab Maliki.

Jika penyebaran Mazhab-Mazhab sebelumnya, baik Hanafi maupun Maliki, terjadi melalui bantuan pemerintah pada saat itu, dengan menjadikan mazhab tersebut sebagai mazhab resmi negara, maka berbeda halnya dengan persebaran Mazhab Syafi’i.

Mazhab Syafii berkembang bukan berawal dari campur tangan pemerintah. Mazhab ini tersebar luas karena tangan dingin murid-murid Imam al-Syafi’i dan para pengikutnya.

Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh mencatat ada 5 fase perkembangan Mazhab Syafii. Mulai mazhab tersebut dibangun oleh Imam al-Syafi’i hingga tersebar luas sampai sekarang. Hal ini didukung dengan beberapa literatur lain, seperti Manaqib al-Syafii karya Imam al-Baihaqi, Fakhruddin al-Razi dalam kitab yang berjudul sama, dan Adab al-Syafii wa Manaqibuhu karya Abdurrahman bin Abi Hatim.

Fase pertama persebaran mazhab ini dimulai pada tahun 178 H, yakni setelah Imam Malik wafat dan berlangsung hingga 16 tahun. Fase ini berlangsung hingga Imam al-Syafi’i kembali lagi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H.

Fase kedua, munculnya mazhab lama (qadim). Fase ini dimulai ketika kedatangan Imam al-Syafi’i ke Baghdad yang kedua kalinya, tahun 195 H, hingga al-Syafii hijrah ke Mesir pada tahun 199 H. Pada fase inilah muncul fatwa-fatwa Imam al-Syafi’i yang dikategorikan dan sering disebut sebagai kaul qadim.

Sedangkan fase ketiga dimulai pada tahun 199 H, hingga wafatnya Imam al-Syafi’i. Bahkan bisa dibilang pada fase ini mazhab baru (jadid) Imam al-Syafi’i telah sempurna, atau sering disebut sebagai kaul jadid.

Setelah fase ketiga, fase-fase selanjutnya dimulai dengan periwayatan Mazhab Syafi’i oleh para muridnya (ashab al-syafiʻi). Pada fase keempat ini, para murid Imam al-Syafi’i cukup gencar dan massif dalam meriwayatkan masalah sesuai metode istinbath(penggalian hukum) ala Imam al-Syafi’i.

Fase ini dimulai pada abad ke-5 Hijriyah dan berakhir pada abad ke-7 Hijriyah. Pada fase inilah muncul ulama-ulama hebat murid Imam al-Syafi’i yang menulis ulang mazhab dan pemikiran Imam al-Syafi’i.

Salah satunya, Imam al-Muzanni (w. 264 H). Ia menulis kitab al-Mukhtashar, ringkasan kitab al-Umm, kitab fikih karangan Imam al-Syafii. Usahanya ini disebut termasuk sebagai bagian dari penyebaran atau periwayatan Madzab al-Syafi’i.

Selain al-Muzanni, ada juga al-Buwaithy (w. 231 H), al-Rabi’ bin Sulaiman al-Muradi 270 H) dan murid-muridnya yang lain.

Setelah fase periwayatan selesai dan berakhir pada abad ke-7, fase selanjutnya adalah pengokohan dan penguatan rancang bangun mazhab.

Fase ini dilalui dengan menarjih (memilih pendapat yang paling kuat) dan menuliskannya dalam kitab-kitab ringkas (mukhtashar). Setelah dituliskan dalam kitab-kitab ringkas, kemudian muncul kitab-kitab penjelas (syarh) dari kitab ringkas tersebut.

Di antara lima fase tersebut, yang paling menonjol adalah fase ketiga, ketika para murid Imam al-Syafi’i dengan sangat massif meriwayatkan fatwa sekaligus metode penggalian hukum yang dilakukan Imam al-Syaf’ii.

Fase ini dinilai sangat penting karena tanpa adanya fase ini, Mazhab Syafi’i tidak akan bisa berkembang hingga sekarang. Berapa banyak mazhab yang hilang dan tidak sampai di masa kita sekarang karena minimnya periwayatan.

Bahkan menurut Ahmad Timur Basya dalam Nadhrah fi Tarikh Huduts al-Madzahib al-Arba’ah, penyebaran Mazhab Syafi’i tidak terlepas dari melimpahnya karya-karya para penganutnya. Dari karya-karya tersebutlah banyak orang belajar dan mengetahui seluk beluk, metode dan fatwa kalangan Syafi’iyah.

Dari Mesir Menyebar ke Negeri Lain

Negara Mesir menjadi sentra penyebaran mazhab Syafii yang cukup dominan. Walaupun, dalam sejarah, mazhab Syafi’i pernah menjadi kecil pengaruhnya akibat diganti dengan mazhab fikih Ahli Bait (salah satu aliran di Syiah) ketika kaum Syiah Rafidha menguasai Mesir, namun hal itu tidak bertahan selamanya.

Mazhab Ahli Bait tersebut hilang bersamaan dengan tumbangnya kekhalifahan Daulah Ubaidiyin dari kalangan Rafidhah oleh Shalahuddin bin Yusuf bin Ayyub atau biasa dikenal dengan Salahuddin al-Ayyubi. Hingga akhirnya Mazhab Syafi’i dan para pengikutnya yang sebelumnya lari ke Irak kembali lagi ke Mesir.

Ahmad Timur Basya mencatat ada beberapa tokoh besar yang ikut berpengaruh dalam menyebarkan Mazhab Syafi’i. Mulai dari Muhyiddin bin Syaraf al-Nawawi (yang biasa terkenal dengan sebutan Imam al-Nawawi) Izzuddin bin Abdussalam, Ibn Daqiq al-ʻId, Taqiyuddin al-Subki, hingga Sirajuddin al-Bulqini, ulama besar Syaf’iiyah yang tinggal di Mesir.

Baru setelah tersebar dengan begitu massif oleh para pengikutnya, Mazhab Syafi’i mulai digunakan sebagai mazhab resmi. Termasuk menjadi mazhab resmi Dinasti Ayyubiyah yang digagas oleh Shalahuddin al-Ayyubi.

Tidak hanya di Mesir, Ahmad Timur Basya juga mencatat bahwa Mazhab Syafi’i juga dianut dan berkembang oleh beberapa negara, di antaranya Turki, Syam dan Irak.

Sebelum disatukan oleh murid-murid al-Qafal al-Marwazi, Mazhab Syafi’i terpecah menjadi dua kelompok: kelompok Khurasan yang digawangi oleh Ishaq bin Rahawaih dan lain-lain, serta kelompok Irak yang digawangi oleh Ahmad bin Hanbal dan ulama-ulama lain.

Menurut al-Subki dalam Muqaddimah Takmilat al-Majmu’, dialektika kedua aliran tersebut mulai menyusut setelah Imam al-Juwaini menyusun kitab yang secara khusus menarjih (mengunggulkan) masalah yang diperselisihkan oleh dua kelompok tersebut dalam Nihayah al-Mathlab fi Dirayah al-Mazhab, dan mulai surut pada masa Imam al-Rafi’i dan al-Nawawi.

Selain itu Mazhab Syafii juga merambah ke India Selatan, tepatnya di kota Malibar. Terbukti dengan adanya kitab fikih Syafi’iyah yang terkenal di kalangan pesantren yang digubah oleh Zainuddin al-Malibari berjudul Fathul Muin Syarh Qurratul Ain.

Bahkan berdasarkan penuturan Ibnu Batutah dalam Tuhfat al-Nadhar fi Gharaib al-Amshar wa Ajaib al-Asfar, Mazhab Syafii sudah mulai masuk ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia, terlepas dari berbagai perdebatan siapa yang membawanya ke Nusantara.

Sirajuddin Abbas dalam bukunya Sejarah dan Keagungan Mazhab Syafii menyebutkan 92 pengikut Mazhab Syafii yang merupakan ulama-ulama kenamaan, mulai abad ke-3 hingga 14 Hijriyah. Termasuk dalam kategori tersebut beberapa ulama Nusantara yang tak diragukan lagi keilmuannya, seperti Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Hasyim Asy’ari, hingga Syekh Sulaiman al-Rasuli.

Daftar ulama penganut Mazhab Syafii yang dikumpulkan oleh Sirajuddin Abbas ini nampaknya bukan jumlah tetap, mengingat masih banyak ulama terkenal penganut Mazhab Syafi’i lain yang belum dimasukkan.

Wallahu A’lam.

 

Artikel ini merupakan hasil kerjasama dengan Beritagar.id