Bagaimana Manusia Kekinian Memahami Tuhan?

Bagaimana Manusia Kekinian Memahami Tuhan?

Bagaimana Manusia Kekinian Memahami Tuhan?

Bagaimana Tuhan dan kemanusiaan dipahami oleh manusia kekinian, manusia dalam era digital yang terhubung oleh media sosial? Sering kita jumpai, betapa melalui media sosial, terlihat gambaran wajah manusia yang berbeda karakternya dengan kehidupan nyata.

Di media sosial, karena asas kebebasan dan keterbukaan, terlihat wajah dan pikiran manusia yang menjadi sisi lain hidupnya. Ungkapan kebencian (hate speech) muncul sebagai suara-suara tanpa refleksi, tanpa filter diri. Denny Siregar, aktifis media sosial, menuliskan refleksinya terhadap tingkah-polah manusia kekinian di media sosialnya, terutama facebook. Sejumlah refleksinya, secara jernih dan ringkas menghadirkan kisah pergulatan hidup manusia, sekaligus paradoks yang terjadi. Sejumlah 68 esainya yang tersusun dalam buku ini, “Tuhan dalam Secangkir Kopi” menawarkan refleksi yang segar, sekaligus menyindir kebebalan manusia.

Simaklah, bagaimana ia membongkar perspektif tentang ujian Tuhan. “Ketika seseorang datang dalam situasi kesulitan, prasangka kita mengatakan bahwa dia sedang diuji. Kita jarang berpikir, bahwa kedatangannya adalah ujian bagi kita tentang bagaimana kita bersikap terhadapnya” (Hal. 180).

Denny Siregar mengungkap bahwa manusia sering menzalimi diri sendiri. “Kita sadar, bahwa ketika kita shalat tepat waktu, pikiran kita akan terbebas dari beban kewajiban sampai datangnya waktu shalat berikutnya. Tapi kita sering memenjarakan pikiran kita sendiri dengan menunda-nundanya” (hal. 137).

Dalam refleksi yang berbeda, Denny mengisahkan bahwa shalat merupakan cermin bagaimana Tuhan menempa manusia dalam proses yang berliku, dari menghajar kesombongan manusia, menjernihkan dalam sujud, hingga membangunkan kembali sebagai wujud kekuasaan dan cinta kasihNya. Namun, berkali-kali manusia lalai dalam kesombongan dan kemunafikan yang berlipat ganda. Inilah proses hidup manusia, yang oleh penulis digambarkan sebagai siklus dalam gerakan shalat. “Fase-fase kita berdiri, menunduk, dan sujud tergantung bagaimana kita menyikapinya dengan kesadaran. Ada yang ditundukkan dua kali saja sudah cukup. Ada yang tiga kali baru sadar, bahkan ada yang jatuh bangun sampai empat kali. Hanya kecintaan kita kepada Nabi Saw, dan keluarganya, yang terbisikkan melalui shalawatlah, yang menyelamatkan kita dalam prosesnya,” (hal. 118).

Dalam buku ini, Denny Siregar mengungkap betapa manusia sering gagal mengambil pelajaran, menyerap hikmah di balik setiap keputusan Tuhan. Hal ini terefleksi dalam esainya berjudul Tuhan. “Tuhan, ketidakyakinanku akan besarnya kuasa-Mu dari semua kesulitanku adalah kesombonganku yang terbesar. Ketakutanku akan segala masalah yang nanti terjadi di hadapanku, meski lidahku mengucap bahwa Engkau adalah Maha Pengasih dan Maha Penyayang, adalah kemunafikanku yang terbesar,” (hal. 114).

Dalam ulasan lain, Denny mengajak pembaca untuk merefleksikan keadaan betapa manusia sering mengambil posisi Tuhan dalam keseharian. “Coba perhatikan, betapa mudahnya kita menjadi Tuhan. Ah, maaf, bukan saja mudah, tetapi kita senang menjadi Tuhan. Kenapa? Karena pada dasarnya, kita suka sekali menilai orang lain. Lebih dari itu, kita sangat suka menghakimi orang lain,” ungkapnya.

Pada sisi lain, manusia juga sering merasa tersinggung jika dinilai buruk, bahkan dihakimi teman-temannya. Keburukan yang diungkap bukan lantas menjadi refleksi dan koreksi atas tindakan, namun justru menjadikan pintu munculnya amarah, bahkan dendam. “Tuhan-tuhan” yang suka menghakimi ini, menjadi gejala manusia dewasa ini, yang tidak merasa dirinya sendiri penuh salah dan dosa. “Kapan kita tidak lagi menjadi Tuhan dengan menghakimi manusia lain? Mungkin ketika Malaikat Munkar dan Nakir datang untuk menghakimi kita?”.

Melalui buku ini, Denny mengajak pembaca untuk terus menerus “melihat ke dalam”, merefleksikan diri yang sering terbonsai kesombongan.[]

Info Buku:

Judul Buku     : Tuhan dalam Secangkir Kopi, Ngopi Bareng Denny Siregar
Penulis            : Denny Siregar
Penerbit         : Noura
Cetakan          : I, Mei 2016 | xv+199 hal | ISBN : 978-602-385-112-6

 

*Munawir Aziz, peziarah dan peneliti, Aktif di Gerakan Islam Cinta (@MunawirAziz)