Jum’at, 14 Februari 2020 kali ini begitu spesial. Bukan saja karena hari pasarannya adalah kliwon yang dalam tradisi penanggalan Jawa tergolong sakral, melainkan hari ini juga diperingati Valentine Day yang merupakan budaya Barat dan selalu membuat sibuk Satpol PP atau polisi syariat untuk melawat hotel-hotel kelas melati.
Baiklah. Seperti diketahui, hari Valentine merupakan sebuah momentum yang didaulat sebagai Hari Kasih Sayang dan telah bertahun-tahun selalu mengundang gejolak sosial. Nasibnya pun tidak lebih baik dari Hari Natal atau Tahun Baru yang selalu dikait-kaitkan dengan hadis tasyabbuh itu.
Dan oleh karena itu, Hari Valentine di Indonesia semakin ramai ‘dirayakan’ justru oleh penentang-nya. Lha gimana, saya sendiri justru hampir tidak pernah sadar dan peduli kapan Hari Valentine tiba. Sayang, ketidak-acuhan itu tiba-tiba terpecah setelah salah satu grup Whatsapp di ponsel saya memberitahu bahwa seorang kawan membagi pesan berantai yang intinya berisi keutamaan untuk tidak merayakan Hari Valentine.
Bagi saya, apa pentingnya untuk menghapuskan memori Valentine dari bumi Indonesia dengan dalih bahwa ia adalah budaya Barat dan diyakini telah merusak moral anak bangsa? Apakah kita, misalnya, tidak ingin meninjau lebih jauh lagi?
Atau, apa benar seluruh budaya yang berkaitan dengan barat selalu memiliki citra negatif? Bukankah kita diajarkan untuk tidak terlalu gegabah? Lalu, apakah tidak ada nilai-nilai dari Valentine yang bisa kita adopsi?
Bukankah kehadiran Islam sendiri pada awalnya menerapkan tiga konsep dalam merespon tradisi yang berkembang di masyarakat?
Maksudnya, Islam kala itu, melalui Kanjeng Nabi Muhammad, dalam menyikapi satu kebiasaan atau tradisi yang sudah mapan tidaklah segarang umatnya pada masa kini. Sebaliknya, Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dalam banyak kasus justru mampu merangkul bahkan mengadopsi sejumlah tradisi dan kebudayaan bangsa Arab pada waktu itu.
Sehubungan dengan hal ini, terdapat sedikitnya tiga model interaksi antara Islam dengan budaya Arab masa lalu (Ali Sodikin, 2008). Pertama, Islam hadir sebagai tahmil, yaitu menerima, menyempurnakan dan melanjutkan dari apa-apa yang sudah ada di masyarakat. Contoh dari hal ini adalah penghormatan terhadap bulan-bulan yang di dalamnya diharamkan terjadi peperangan atau pertumpahan darah antar suku, yakni Dzulqo’dah dan Dzulhijjah.
Kedua, Islam hadir sebagai taghyir. Di titik ini, Islam menerima sekaligus menata ulang nilai-nilai pakem masyarakat yang jahiliyah menuju ke arah yang sesuai dengan ajaran Islam. Secara teknis, tradisi dan kebudayaan bangsa Arab tetap dilanjutkan, akan tetapi pelaksanaannya direkonstruksi sehingga tidak bertentangan dengan prinsip fundamental teologi Islam.
Model interaksi ini, misalnya, adalah ibadah Haji yang sudah mafhum sejak Arab pra-Islam. Selanjutnya Islam tetap melaksanakan ritual thawaf dan sai, dengan tujuan tidak lagi dipersembahkan kepada Latta dan Uzza melainkan kepada Gusti Allah ta’ala lewat merapalkan kalimah thoyyibah.
Ketiga, Islam hadir sebagai tahrim, yaitu menghapus tata nilai yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Adapun budaya yang dihapus keseluruhan prakteknya adalah kebiasaan Bangsa Arab yang begitu tega mengubur bayi perempuan hidup-hidup karena dianggap aib.
Selain itu, ada juga budaya yang dilarang, namun pelarangannya tidak serta merta melainkan secara gradual atau bertahap. Pelarangan minum khamr dan perbudakan merupakan contoh paling konkret dari hal ini.
Di titik ini, kita pun menjadi paham bahwa Islam pada dasarnya sangatlah kalem dan cenderung adaptif dalam merespon sosio-kultural bangsa Arab. Ini tentu saja mengingatkan kita kepada strategi dakwah yang digambarkan dalam Q.S. an-Nahl: 125, khususnya tentang strategi dakwah dengan pendekatan bil hikmah (kasih sayang), mauidhah hasanah (nasehat yang baik), dan mujadalah ihsan (dialog akademis).
Islam, dengan demikian, hadir bukan saja menempatkan fungsinya sebagai pengevaluasi tradisi masyarakat yang tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan, akan tetapi Nabi Muhammad mendakwahkah Islam dengan menempatkan diri sebagai sang pembela sekaligus pembaharu di tengah kultur masyarakat yang beragam.
Kembali ke soal perayaan Valentine. Apakah dengan keberadaanya kita lalu akan menerima seutuhnya, atau, sebaliknya, menghapuskannya sama sekali?
Bagi saya, bagaimana kalau kita tidak dua-duanya? Haha. Artinya, ya biasa-biasa saja. Lagi pula, apa salahnya merayakan Valentine? Bukankah jika dimaknai lebih jauh Valentine atau Hari Kasih Sayang tidak hanya berlaku bagi sepasang kekasih yang lagi dimabuk cinta, bukan?
Ringkasnya, kasih sayang itu tidaklah terbatas. Dengan kasih sayang orang-orang jadi tidak membenci satu sama lain. Dengan kasih sayang, kebencian pun akan sirna.
Ah, saya jadi teringat pada konsep “ketiadaan gelap” dari seorang tokoh penting dari aliran neoplatonisme bernama Plotinus. Jadi, pada dasarnya gelap itu adalah tiada. Sebaliknya, yang ada hanyalah cahaya. Gelap dimungkinkan karena ketiadaan cahaya.
Serupa dengan itu, kebencian itu pada dasarnya tidak ada. Yang ada hanyalah kasih sayang. Kalau Anda adalah pembenci, bisa dipastikan Anda sedang kekurangan sentuhan kasih sayang atau cinta.
Maka, dengan adanya Hari Kasih Sayang, selamat menebar cinta dan kasih untuk sekalian alam. Adapun teknisnya, silakan Anda renungkan dan bikin sendiri. Yang jelas, tidak ada kasih sayang yang dirayakan dengan penuh kebencian dan hasrat menang-menangan terhadap mereka yang berbeda.