Bagaimana Islam Memaknai Konsep “New Normal”?

Bagaimana Islam Memaknai Konsep “New Normal”?

Seiring akan diberlakukannya “New Normal”, bagaimana Islam menyikapinya?

Bagaimana Islam Memaknai Konsep “New Normal”?
Foto: Antara/Galih Pradipta

Konon, masyarakat Indonesia susah diatur—“ngeyelan”, “semau gua”, “terserah gua”, dan lain sebagainya. Bahkan, kondisi ini sempat tranding di jagad maya dengan tagar #IndonesiaTerserah. Apalagi H-4 perayaan Idul Fitri. Masyarakat berbondong-bondong pergi ke tempat pusat perbelanjaan. Pasar, Mall, toko baju, dan tempat lain ramai dipenuhi lautan manusia. new normal

Masyarakat seolah tidak menghiraukan anjuran pemerintah. Anjuran untuk tetap menjalankan protokol kesehatan. Hal ini seperti tidak digubris. Pada saat H-2 perayaan Idul Fitri, jumlah kasus positif Covid-19 tembus menyentuh angka 900an. Angka terbanyak selama pemerintah mengumumkan jumlah pasien positif Covid-19 secara terbuka.

Inilah bangsa Indonesia. Bangsa yang jumlah penduduknya terbesar keempat di dunia. Juga bangsa mayoritas berpenduduk Muslim. Tak salah, jika masyarakat berbondong-bondong menuju tempat keramaian tadi. Itu tradisi turun-temurun. Tradisi menyambut perayaan Idul Fitri.

Untuk itu, penyambutan hari besar Islam di tahun ini terasa berbeda dan tak biasa. Kita disuruh untuk tetap tinggal di rumah, bekerja di rumah, ibadah di rumah, dan silaturahmi melalui media virtual. Kondisi ini seolah menyebabkan culture shock (kejutan budaya).

Masyarakat sudah terbiasa mudik, berjabat tangan saling memaafkan di hari yang fitri, berziarah kubur, dan liburan pasca Idul Fitri. Namun itu semua kandas di tengah pandemi Covid-19. Tak ayal, jika masyarakat mengalami shock¸jenuh, dan prustasi.

Menyikapi kondisi ini pemerintah memberi jalan keluar. Walaupun tujuan utama kembali menggerakan roda ekonomi.

Pemerintah menerapkan aturan kehidupan baru. Aturan ini disebut “New Normal”. Dalam kajian “New Normal”, pemerintah mengadopsi masukan dari World Health Organization (WHO). Ada tiga skema yang menjadi kajian—mengurangi penularan, mengecek kapasitas sistem kesehatan, dan surveilans (rapid test bagi orang yang terindikasi berkerumun).

Skenario pertama mengurangi penularan. Skenario ini dilakukan dengan menjaga jarak, berperilaku hidup bersih dan sehat, bekerja di rumah, dan beribadah di rumah. Kondisi ini telah dilakukan lebih kurang berjalan hampir 3 bulan. Namun angka yang positif Covid-19 tidak terkendali. Semakin melandai ke atas dalam simetris curva. Bahkan ada “meme” dengan curva crowded. Apakah skenario ini berhasil? Wallahu’alam

Kedua, skenario pengecekan sistem pelayanan kesehatan. Skenario ini menghitung jumlah pasien baru dengan kondisi fasilitas kesehatan. Namun skenario ini tetap mengikuti protap dunia kedokteran. Mafhum dengan istilah “zona lampu”—hijau, kuning, merah, dan hitam.

Hijau menandakan pasien negatif dan sembuh. Kuning menandakan waspada penuluran—istilah ini dikenal ODP (Orang Dalam Pengawasan). Merah menandakan zona merah—orang yang positif Covid-19—istilah ini dikenal dengan Pasien Dalam Pengawasan (PDP). Hitam mendakan pasien meninggal dunia.

Dalam skenario kedua ini, apakah pemerintah sudah menghitung jumlah pasien dengan fasilitas kesehatan. Kita tinggal menunggu hasil laporan tenaga kesehatan.

Ketiga, skenario test masal dalam kerumunan. Test masal ini telah menjadi kendala. Bahkan menjadi perdebatan para ahli. Skenario pemerintah terkadang tidak masuk akal. Misal, ada 11 kementerian yang bersiap menjalankan “New Normal”. Diperbolehkan beraktifitas tapi dengan penjagaan secara ketat. Dari 11 kementerian ini, semua lembaga negara yang bergerak pada sektor ekonomi.

Perdebatan ini muncul dari sekelompok yang tetap ingin menjalankan ibadah secara berjamaah. Namun belum masuk ke dalam skenario ketiga tersebut. Dampaknya berbuntut panjang.

Kondisi ini telah merubah tatanan beribadah. Larangan untuk salat berjemaah di masjid. Larangan pelaksanaan berdakwah secara terbuka dengan mengundang banyak jemaah. Larangan salat Idul Fitri berjamaah dilapangan terbuka. Larangan bersilaturahim kepada sanak keluarga. Larangan berjabat tangan. Dan masih banyak larangan lainnya.

Bagi sebagian kalangan kondisi ini kontradiksi. Kontradiktif dengan anjuran agama tentang keutamaan beribadah. Pahala yang dijanjikan Allah SWT. Pahala yang berlipat ganda.

Namun semua larangan itu, sesungguhnya ada makna baru yang dapat kita ambil hikmah. Istilah yang jamak diketahui dengan sebutan “al-muhafadlotu ‘ala qodimis sholih wal akhdu bil jadidil ashlah” (mempertahankan tradisi lama yang masih baik dan mengambil inovasi baru yang lebih baik).

Apa yang dapat kita ambil inovasi baru itu? Ajaran pertama dalam fikih berbicara tentang bab thaharah (bersuci). Dalam kaul ulama disebutkan “an-nadhafatu minal iman” (kebersihan adalah sebagian dari iman). Ada juga dalam kitab Ihya’ Ulumuddin al-Ghazali disebutkan “buniya ad-diin ‘ala an-nadzafah” (agama itu dibangun di atas kebersihan).

Berbicara kebersihan secara langsung berhubungan dengan kesucian. Kitab fikih mazhab semua seraya sepakat. Kesucian adalah hal utama ketika akan melaksanakan ibadah, baik ibadah mahdhah maupun ghairu mahdhah.

Kembali ke konteks “New Normal”. Jika selama ini masyarakat enggan atau jarang mengimplementasikan kebersihan. Maka hari ini, kondisi yang tepat, bermuhasabah. Segala tindakan yang luput untuk menjaga kebersihan. Dengan adanya protokol kesehatan. Harusnya, senantiasa lebih mengutamakan aspek-aspek kebersihan.

Seraya demikian. Jika kita Muslim sejati. Tentu, menjaga wudhu, menjaga mata, menjaga perilaku, saatnya kita tingkatkan. Istilah “New Normal” dalam ibadah harus dimaknai lebih luas. Apalagi dengan menjaga kebersihan, kita senantiasa dapat mawas diri.

Tempat ibadah yang selama ini, mungkin luput dari penjagaan kebersihan, dengan adanya anjuran menjaga kebersihan, secara langsung senantiasa harus dijaga. Kita juga tahu, ada banyak masjid, tempat ibadah yang dibersihkan menggunakan disinsfektan. (AN)

Wallahu a’lam.