Akhir Februari 2016 lalu, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) merilis hasil yang mengejutkan. Dalam riset tersebut, dinyatakan bahwa sebagian besar kampus sudah berstatus darurat radikalisme, karena penyusupan jaringan radikal ke organisasi-organisasi kemahasiswaan. Anas Saidi, peneliti LIPI, menjelaskan bahwa organisasi kemahasiswaan yang mengusung khilafah dan meragukan Pancasila merupakan jejaring gerakan radikal yang masuk ke kampus.
Dalam risetnya, Anas Saidi menyatakan bahwa mahasiswa dari jurusan eksak, lebih mudah dimasuki oleh paham radikal, daripada mereka yang belajar di jurusan sosial-humaniora. Dari risetnya, Anas Saidi merekomendasikan bahwa pemerintah harus turun tangan untuk membendung radikalisme di kampus, melalui Kementrian Agama (Kemenag), Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) serta Kemristekdikti untuk mereformulasi sistem pengajaran dan kurikulum.
Pengamatan penulis, organisasi-organisasi kemahasiswaan yang menjadi agen dari gerakan radikal, cenderung mengusung sistem khilafah sebagai imajinasi atas negara yang kuat. Para aktivisnya juga cenderung untuk menolak Pancasila sebagai dasar negara. Sementara, tidak ada jaminan bahwa penggantian dasar negara akan menjadikan negeri ini lebih solid.
Mahasiswa dan Agama: Perspektif Cinta
Bagaimana mahasiswa-mahasiswa belajar memaknai agama? Jika selama ini gerakan-gerakan kemahasiswaan berusaha memaknai agama secara politik dan penuh prasangka kekerasan, serta teori konspirasi yang rumit dan melelahkan, perlu adanya pergeseran perspektif dalam mengkaji agama dengan cara pandang cinta.
Mahasiswa perlu belajar untuk memahami Islam—atau agama apapun yang menjadi imannya—dalam perspektif cinta. Dalam cara pandang cinta, agama menjadi ramah dan sekaligus membimbing manusia pada kasih sayang, bukan pada kekerasan dan permusuhan.
Sejalan dengan kajian ini, John D Caputo merilis sebuah buku penting dalam memahami perspektif agama, berjudul On Religion pada 2001. Buku ini, diterjemahkan penerbit Mizan pada 2013, dengan tajuk: Agama Cinta, Agama Masa Depan. Kekuatan John D Caputo dalam buku ini, adalah bagaimana ia secara kritis mempertanyakan doktrin-doktrin agama, menyelami tradisionalisme-sekularisme, hingga mengajukan konsep agama cinta sebagai jawaban atas pencarian umat manusia.
Caputo menulis bahwa,“Gagasan di buku ini, bagaimana bergerak melampaui keharfiahan, fundamentalisme, dan takhayul yang sama sekali palsu, tanpa mengulangi kritik Pencerahan terhadap agama yang memandang rendah agama. Suatu agama tanpa agama, bagaimanapun, membutuhkan kebenaran religius, tetapi sejenis kebenaran yang berbeda dengan omongan ‘agama yang benar berarti agamaku satu-satunya agama yang benar’.
Agama-agama, dalam bentuk plural, bersifat unik dan merupakan oase praktik-praktik etis dan narasi-narasi religius yang khas, dan menurut saya menjadi saksi dari berbagai cara yang berbeda dalam mengasihi Allah, tetapi tanpa klaim kepemilikan ekslusif atas kebenaran” (2013: 136).
Menggunakan perspektif dekonstruksi ala Derrida, John D Caputo sejatinya ingin membongkar kenaifan dalam beragama, serta doktrin-doktrin legitimasi agama yang sering melahirkan kekerasan dan hegemoni.
“Agama apapun akan lebih baik tanpa gagasan bahwa ia adalah ‘satu-satunya agama yang benar’ dan yang lain bukan, seakan-akan beberapa agama sedang berada dalam kontes menyingkirkan satu sama lain demi kebenaran religius. Mereka harus membuang gagasan sebagai ‘sang agama yang benar’. Mereka harus berhenti melangsungkan iklan negatif tentang agama orang lain atau orang yang kurang beragama, dan mereka perlu mengubur kebiasaan mengklaim bahwa kepercayaan mereka yang tertentu ialah yang paling pas untuk realitas yang ada di luar sana” (2013: 137).
Menurut Caputo, agama adalah cinta kasih Allah, ‘Allah adalah kasih”, yang merupakan inti religius. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa, apa yang dimaksudkan oleh Agustinus, bahwa ketika kita mengasihi apapun, sungguh Allah-lah yang kita kasihi, betapapun sulitnya. Atau, dapat berarti bahwa, sebagaimana yang dimaksudkan oleh filsuf feminis Prancis, Luce Irigaray, bahwa kasih adalah sesuatu kekuatan Ilahi, suatu lingkungan pergaulan Ilahi yang mendorong para kekasih ke dalam pelukan satu sama lain dan membiarkan mereka bermesraan satu sama lain (2013: 157). Caputo dengan jeli merombak pemahaman dan doktrin-doktrin agama yang selama ini dipahami sebagai kemandekan berpikir umat beragama.
Tentu saja, sumbangan penting Caputo dalam buku ini, adalah bagaimana ini berhasil membangun perspektif yang kuat tentang cinta dalam agama-agama. Beragama dengan cinta, akan menjadikan pemahaman sekaligus gerakan keagamaan seseorang lebih manusiawi.
Islam Cinta?
Bagaimana Islam memandang cinta? Haidar Bagir, salah satu pemikir Islam modern, mengungkapkan bahwa, “cinta tidak pernah gagal menghadapi kesulitan sebesar apapun, karena cinta mengatasi kesepian dan kesendirian, betapapun intensnya. Akankah manusia yang berasyik-masyuk dengan Tuhan, Yang Maha Pengasih-Penyayang, sekaligus Maha Kuasa—bisa kesepian? Apakah manusia yang menjadikan hidupnya sebagai sumber kasih sayang bagi manusia lain bisa kesepian?” Ungkapnya dalam buku Belajar Hidup dari Rumi (Noura, 2015).
Melalui buku ini, Haidar Bagir dengan jelas menghadirkan kisah kerinduan dan cinta, dengan belajar dari pemikiran sufistik Maulana Rumi. “Puisi adalah notasi-notasi kasar dari musik yang adalah (keseluruhan) diri kita,” ungkap Jalaluddin Rumi yang dikutip Haidar. Dari sekitar 270 kepingan puisi yang dihadirkan dalam buku ini, sebagian besar mengajarkan tentang hakikat cinta dan kehidupan.
Kepingan syair Rumi dalam buku ini, terasa segar untuk memahami alur kehidupan yang demikian kompleks. “Jadilah lentera, atau sekoci penyelamat, atau sebuah tangga. Bantu sembuhkan jiwa seseorang. Keluar dari rumahmu bak seorang penggembala,” ungkap Rumi. Atau, dalam syair yang lain: “Raihlah tali Allah. Apa itu maknanya? Menyisihkan egoisme. Akibat egoisme orang tinggal di penjara” (2015: 208). Serta, dentuman berikut ini: “Cinta adalah samudra Tuhan tak bertepi. Tapi, betapa mengherankan, ribuan jiwa tenggelam di dalamnya, sambil berteriak lantang: Tuhan tidak ada!” (2015: 107).
Jika memahami agama sebagai cinta, sebagai keimanan yang berlandaskan kasih sayang, tentu saja tidak ada celah untuk kebencian. Memahami agama dengan bahasa cinta, adalah memahami manusia-manusia dengan welas asih.
Pada titik ini, radikalisme dapat diredam dengan nilai-nilai agama yang berlandaskan cinta. Kaderisasi mahasiswa melalui jaringan pergerakan maupun organisasi-organisasi, perlu memahami bahwa Islam adalah agama cinta, bukan agama kekerasan[].