Bagaimana Ibadah dan Syariat Nabi Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Nabi?

Bagaimana Ibadah dan Syariat Nabi Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Nabi?

Bagaimana Ibadah dan Syariat Nabi Muhammad Sebelum Diangkat Menjadi Nabi?

Sebelum menjadi Nabi dan sebelum menikah dengan sayyidah Khadijah, Nabi Muhammad adalah seorang penggembala kambing miliknya dan milik warga Mekkah. Pekerjaan itulah yang membuat beliau sering merenung dan berfikir. Beliau merenungkan keadaan dan penciptaan dirinya. Dengan hati yang bersih dan pikiran yang terang, beliau melihat bahwa keadaan dirinya tidak bisa dipisahkan dengan alam semesta. Pemikiran dan perenungan itu yang membuat beliau selalu menjauhi kehidupan orang-orang bodoh. Beliau pernah bercerita bahwa dulu, ketika menggembala kambing bersama kawannya, pernah terlintas dalam hati beliau keinginan untuk bermain-main, menikmati alunan musik dan begadang di tengah malam seperti yang dilakukan umumnya pemuda di Mekkah.

Suatu hari, keinginan itu Nabi utarakan kepada teman sesama penggembala kambing. Beliau katakan kepadanya bahwa beliau ingin turun ke Mekkah untuk bermain-main dan begadang seperti para pemuda lain. Karena itulah, beliau meminta temannya itu menjaga kambing-kambingnya untuk malam itu saja. Lalu beliau turun dari tempat penggembalaan dan tiba di Mekkah. Di pinggiran Mekkah, perhatian beliau tertuju pada pesta pernikahan dan beliau pun mendatangi tempat itu. Namun tiba-tiba beliau mengantuk dan tertidur sebelum sampai ke tempat itu.

Malam berikutnya, Nabi kembali turun ke Mekkah untuk tujuan yang sama. Beliau mendengar dari kejauhan alunan musik yaang sangat merdu. Beliau duduk mendengarkannya, tetapi kemudian mengantuk dan jatuh tertidur lelap hingga pagi. Seolah-olah beliau tak diizinkan oleh penciptannya untuk ikut-ikutan hidup dalam kesia-siaan.

Setelah Nabi Muhammad menikah dengan sayyidah Khadijah, kehidupan mereka sangat harmonis. Pada masa itu, di kalangan bangsa Arab ada orang yang dianggap pemikir dan orang bijak yang berpengetahuan. Mereka memiliki kebiasaan khas, yaitu menyendiri dan menyepi dari keramaian masyarakat selama beberapa waktu setiap tahunnya. Pada bulan tertentu, mereka pergi ke gunung atau tempat sepi lain untuk merenung dan menyendiri mendekatkan diri kepada tuhan-tuhan mereka. Biasanya mereka bertapa seraya berdo’a mengharap diberi rizki dan pengetahuan. Mereka menyebut pengasingan untuk beribadah seperti ini dengan istilah tahannuf atau tahannus.

Nabi Muhammad menemukan sebuah tempat yang paling sesuai untuk menyibukkan diri dalam perenungan dan tafakkur. Setelah sekian lama bergaul dengan masyarakat dan mencermati perilaku dan kebiasaan mereka, Nabi Muhammad memutuskan untuk menyepi dan menyendiri (tahannus). Di puncak gunung Hira yang berjarak sekitar 10 km sebelah utara kota Mekkah, ada sebuah gua yang tepat untuk tempat menyendiri. Sepanjang bulan ramadhan setiap tahun, Nabi Muhammad pergi kesana dan berdiam di tempat itu dengan membawa bekal secukupnya. Apabila bulan ramadhan telah berlalu, beliau kembali kepada istrinya, sayyidah Khadijah; kembali bergaul dengan masyarakat dan orang-orang di sekitarnya.

Selain merenung (tafakkur) yang biasa beliau lakukan setiap tahun pada bulan ramadhan, bentuk ibadah Nabi yang lain adalah memuliakan tamu.

Adapun tentang syari’at yang dianut Nabi Muhammad selama ber-tahannus, ulama berbeda pendapat. Dalam Tarikh-nya – sebagaimana dikutip Muhammad Husain Haekal – Ibnu Kasir menuturkan beberapa pendapat ulama pada masa-masa perenungan dan penyendirian di gua Hira. Sebagian ulama berpendapat bahwa beliau menganut syari’at Nabi Nuh, tetapi ada juga yang berpendapat beliau mengikuti syari’at Nabi Ibrahim atau syari’at Nabi Musa atau syari’at Nabi Isa.

Namun ada juga yang berpendapat bahwa beliau mengamalkan syari’at tertentu hanya saja tidak dapat dipastikan, apa syari’at yang beliau anut. Menurut Husain Haekal, pendapat terakhir lebih tepat karena sesuai dengan dasar-dasar perenungan dan pemikiran Nabi Muhammad.