Bagaimana Hukum Puasa Orang yang Sakit Pikun dan Alzeimer?

Bagaimana Hukum Puasa Orang yang Sakit Pikun dan Alzeimer?

Bagaimana status puasa orang yang punya penyakit pikun dan alzeimer, apakah sah atau tidak?

Bagaimana Hukum Puasa Orang yang Sakit Pikun dan Alzeimer?
keutamaan puasa

Pikun sebagaimana disampaikan oleh Syeikh Tajuddin al-Subki dan dikutip oleh al-Suyuthi di dalam Al-Asybah wa al-Nadzair, adalah kondisi yang menempati derajat antara junun dan aghma’. Junun itu merupakan penyakit hilang akal sehingga bisa disebut gila. Sementara aghma’ merupakan kondisi hilang ingatan disebabkan suatu hal. Keduanya masuk kategori sakit (maradh).

Adapun pikun ditempatkan dalam kondisi antara keduanya, adalah disebabkan karena ciri khas dari orang yang mengalami pikun, adalah mudahnya hilang ingatan (sehingga menyerupai aghma’) namun tidak sampai pingsan sebagaimana yang sering terjadi pada orang yang aghma’ (ayan). Jadi, semata hal yang  menyebabkan kelemahannya dalam hukum adalah karena tidak mampu menguasai akalnya. Padahal, paling parahnya kondisi tidak mampu menguasai akal adalah ciri khas dari gila (junun). Alhasil, pikun masuk dalam bagian dari illat maridh (sakit), diqiyaskan dengan kondisi aghma’ dan junun yang keduanya  berhalangan dari ibadah karena illat sakit (maridh).

Ada dialektika menarik soal illat sakit ini. Seseorang dalam kondisi sakit, namun kuasa berangkat ke masjid, maka hukum shalatnya adalah sah. Bahkan andaikan ia shalat Jum’at, maka shalat Jum’atnya adalah sah disebabkan karena berangkatnya pelaku. Bagaimana dengan shalat Dzuhurnya? Shalat Dzuhurnya juga sudah dihukumi sebagai tergantiikan oleh sahnya shalat Jum’at yang dilakukannya. Ini dalam kondisi sakit yang benar-benar muhaqqaq (nyata).

Nah, orang yang pikun itu hakikatnya ia masih sehat. Artinya, tidak ada penyakit yang dideritanya. Adapun sebab ia dikelompokkan sebagai udzur adalah karena faktor usia dan mudah pelupanya itu. Dengan demikian, secara fisik, dia tidak ada masalah. Masalah yang dialaminya adalah karena faktor ingatan saja, namun akalnya masih bekerja. Padahal, jika akal masih bekerja, maka ia masih disebut mukallaf. Alhasil, dia masih berada dalam wilayah jangkauan perintah menjalankan syariat, semampunya. Allah SWT berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا وَأَنفِقُوا خَيْرًا لِّأَنفُسِكُمْ ۗ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya:

“Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian. Dengarkanlah dan taatlah kalian, serta nafkahkanlah harta  yang terbaik untuk diri kalian. Barang siapa yang dipelihara dari sifat kekikiran dirinya, maka merekalah orang-orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Taghabun [64]: 16)

Pertanyaannya adalah bagaimana bila ada seseorang  yang mengalami penyakit Alzeimer (pikun) yang di malam harinya sudah niat berpuasa, namun, karena faktor pikunnya, kemudian di siang hari bulan Ramadhan, ia makan dan minum, sebab lupa bahwa hari itu adalah bulan Ramadhan? Apakah puasanya dipandang sah?

Jika kita melihat bahwa orang tua dengan kondisi pikun ini hakikatnya adalah tidak sakit secara fisik, maka pada dasarnya orang yang sudah tua renta sekalipun, hakikatnya juga tidak boleh meninggalkan puasa Ramadhan. Mengapa? Karena udzur puasa adalah disebabkan karena faktor sakit yang nyata (muhaqqaq). Kondisi pikun, tidak menghalangi wajibnya puasa tersebut sebab kondisi akalnya masih berjalan. Permasalahannya adalah daya ingat. Orangnya mudah pelupa (nasiya).

Ada sebuah hadis yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah, bahwasanya Baginda Nabi SAW pernah bersabda:

إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ؛ فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

Artinya:

“Ketika seseorang lupa, sehingga makan dan minum (di siang hari bulan Ramadhan), maka sempurnakanlah puasanya. Sesungguhnya yang memberi makan dan minum itu adalah Allah SWT.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).

Di dalam riwayat lain, masih dari sahabat Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad SAW bersabda:

مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ

Artinya:

“Barang siapa lupa sehingga makan, sementara ia sedang berpuasa, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya yang memberi makan dan minum itu adalah Allah SWT.” (HR. Bukhari)

Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban di dalam dua kitab shahihnya dan al-Daruquthni di dalam kitab Sunan-nya, juga menyampaikan sebuah hadits dengan sanad dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu. Nabi SAW bersabda:

مَنْ أفْطَرَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ نَاسِياً فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ وَلا كَفَّارَةَ

Artinya:

“Barang siapa berbuka pada siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka tiada kewajiban mengqadha’ baginya, dan tidak ada kafarah (tebusan fidyah).” (HR. Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Al-Daraquthny)

Imam Nawawi rahimahullahu ta’ala mengomentari hadits di atas, di dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhadzab, sebagai sanadnya shahih atau paling tidak adalah hasan. Berdasarkan keterangan dari hadis terakhir ini, jumhur ulama’ dari kalangan fuqaha’ Hanafiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah menetapkan status hukum puasanya orang yang lupa sehingga makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, adalah sebagai sah dan tidak wajib qadha’.

Misalnya, Al-Zaila’i, salah seorang ulama dari kalangan Madzhab Hanafi, menyatakan:

فإن أكل الصائم أو شرب أو جامع ناسيًا.. لم يفطر

Artinya:

“Jika seseorang yang berpuasa melakukan makan dan minum serta berjima di siang hari bulan Ramadhan karena lupa, maka puasanya tidak batal.”

Alasannya tidak batal ini adalah karena lupa, merupakan tabiat dasar manusia. Oleh karenanya, jika lupa ini dipandang sebagai membatalkan puasa, maka dapat membuat beratnya seseorang.

Syeikh Khathib al-Syirbini, salah seorang ulama dari kalangan Syafiiyah, di dalam Mughny al-Muhtaj, secara tegas juga menyampaikan:

وإن أكل ناسيًا لم يُفْطِرْ

“Jika seseorang lupa, sehingga makan di siang hari bulan Ramadlan, maka puasanya tidak batal.”

Al-Buhuthi, salah seorang ulama bermadzhab Hanbali, di dalam Kasyaf al-Qina’, menyampaikan:

(ولا) يُفْطِرُ (ناسٍ) لفعل شيءٍ مما تقدّم؛ لقوله صلى الله عليه وآله وسلم: «عُفِي لأمّتي عَن الخَطَأ والنّسْيَانِ ومَا استُكرِهُوا علَيه»، ولحديث أبي هريرة رضي الله عنه يرفعه: «مَنْ نَسِيَ وَهُوَ صَائِمٌ فَأَكَلَ أَوْ شَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ، فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ» متفق عليه. (فرضًا كان الصوم أو نفلًا)؛ لعموم الأدلة

“Tidak batal puasanya seorang yang lupa karena mengerjakan sesuatu yang dilarang sebagaimana keterangan sebelumnya, karena adanya sabda Nabi Shalllallahu ‘alaihi wasallam: ‘Dimaafkan bagi umatku karena kesalahan dan lupa dan sesuatu yang dilakukan karena terpaksa.’ Dan karena adanya hadits Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu, dengan status marfu’ yang menegaskan: ‘Barangsiapa lupa makan dan minum, sementara dirinya sudah niat berpuasa, maka hendaknya ia menyempurnakan puasanya. Karena sesungguhnya yang memberi makan dan minum itu adalah Allah.” HR. Muttafaq Alaih. (Hukum ini berlaku baik untuk puasa wajib atau sunnah), karena sifat umumnya dalil.”

Berdasarkan keterangan ini semua, maka puasa bagi orang yang pikun dan penderita Alzeimer yang lupa makan dan minum di siang hari bulan Ramadhan, hukumnya adalah sah sebagaimana syara’ menjelaskan akan tidak batalnya puasa seseorang yang makan dan minum karena lupa, untuk orang yang sehat.

Pendapat ini juga diakui oleh kalangan ulama’ Madzhab Maliki, sebagaimana diwakili pernyataannya oleh Sayyid Abdullah ibn Al-Haj al-Alwi al-Maliki di dalam kitab beliau Nasyr al-Bunud. Pendapat lain bisa dilihat pada Pendapat Ibn Al-Subki dalam Kitab Jam’u al-Jawami’ min Syarhi al-Mahalli.