Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru? Begini Penjelasannya

Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru? Begini Penjelasannya

Bagaimana Hukum Merayakan Tahun Baru? Begini Penjelasannya

Tahun baru tinggal menghitung jam, beberapa orang sudah mulai sibuk mempersiapkan agenda yang akan dilakukan pada malam tahun baru. Perayaannya pun sangat beragam, Ada yang merayakan di puncak gunung, ada juga yang merayakan di alun-alun kota dan tempat-tempat lainnya, baik bersama keluarga, teman-teman, maupun orang tercinta.

Perayaan tahun baru adalah sebuah perayaan di mana budaya merayakan akhir tahun dan menandai awal tahun depan. Dalam sejarahnya, tahun baru dimulai dari tanggal 1 Januari yang diresmikan oleh salah seorang kaisar Romawi bernama Julius Cesar pada tahun 46 SM. Kemudian kembali diresmikan oleh pemimpin katolik tertinggi yaitu Paus Gregorius XII pada tahun 1582. Sedangkan proses penetapannya dilakukan oleh bangsa Eropa barat yang menggunakan kalender Greogorian pada tahun 1752.

Dewasa ini, ketika berbicara tentang hukum merayakan perayaan tahun baru, maka tidak terlepas dari hadis tasyabbuh yang agaknya dijadikan rujukan bagi sebagian orang yang melarangnya dengan dalih menyerupai non-Muslim. Bunyi hadisnya begini : مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم “barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka ia termasuk bagian dari mereka”. (H.R Abu Dawud).

Kata tasyabbuh pada hadis di atas mempunyai makna yang sangat luas. Pertanyaannya kemudian, apa makna dari kata tasyabbuh yang dimaksud oleh Nabi?

Jika dilihat dari aspek bahasa, kata tasyabbuh berasal dari bahasa Arab, akar katanya adalah sya-ba-ha yang berarti penyerupaan kepada sesuatu, persamaan warna dan sifat. Disebut juga syibh, syabah, dan syabih. Sedangkan menurut Ibn Manzur, tasyabbuh adalah suatu objek yang menyerupai atau menyamai dengan sesuatu yang lain. Adapun secara istilah, tasyabbuh menurut Imam Muhammad al-Ghazi al-Syafii didefinisikan sebagai sebuah usaha seseorang untuk meniru sosok yang dikaguminya baik itu dari tingkah lakunya, penampilannya, atau bahkan hingga sifat-sifatnya.

Ibn Qayyim al-Jawziyyah dalam kitabnya, Awn al-Ma’bud yang merupakan kitab syarah dari Sunan Abi Dawud memaknai kata tasyabbuh sebagai segala bentuk penyerupaan terhadap Muslim maupun non- Muslim dalam hal kebaikan maupun keburukan. Jadi, ketika seseorang menyerupai orang shalih maka orang tersebut mendapatkan kemuliaan sebagaimana kemuliaan orang shalih. Begitu juga sebaliknya, ketika seseorang menyerupai orang fasik maka orang tersebut tidak mendapatkan kemuliaan. Sehingga tasyabbuh dalam hal ini dapat dibagi menjadi dua macam. Pertama, tasyabbuh terhadap pelaku kebaikan yang mencakup kategori orang shaleh. Kedua, tasyabbuh terhadap pelaku keburukan yang mencakup kategori orang fasik.

Jika dilihat dari aspek historis, konon hadits tersebut mucul karena keinginan Nabi Muhammad Saw untuk membedakan umat Muslim dengan non-Muslim. Pada saat itu, Islam adalah agama baru yang sebelum datangnya, telah banyak kepercayaan lain yang hampir semuanya menyembah berhala. Dari situlah kemudian Nabi Muhammad Saw membentuk sebuah politik identitas untuk menunjukkan eksistensi Islam sebagai agama baru yang meluruskan kepercayaan lain dari masyarakat Arab yang mayoritas menyimpang.

Jika melihat konteks dewasa ini, agaknya hadis tersebut kurang tepat jika diterapkan secara literal. Karena jumlah umat Muslim sudah tersebar luas di berbagai penjuru dunia, lain halnya dengan jumlah umat Muslim pada waktu itu yang masih sangat terbatas.

Lebih lanjut, permasalahan yang sering menimbulkan pertanyaan adalah bagaimana hukum merayakan perayaan tahun baru? Dalam hal ini, setidaknya terdapat dua pandangan, yaitu :

Pertama, mereka yang membolehkan perayaan tahun baru berdalih dengan al-Qur’an surat Maryam ayat 30 tentang kenabian Isa. Bukankah setiap orang Islam wajib percaya terhadap semua Nabi tidak terkecuali Isa? Tidak bolehkah jika merayakan hari lahir Isa? Bukankah Nabi Muhammad Saw juga merayakan keselamatan Musa dari Firaun dengan berpuasa Asyura? Jika demikian apa salahnya merayakan perayaaan tahun baru selama akidahnya terpelihara.

Kedua, mereka yang melarang perayaan tahun baru berdalih dengan larangan tasyabbuh dalam hadis Nabi. Selain itu, mereka juga mengaitkannya dengan kesan yang ditimbulkan dan makna populernya yaitu pengakuan ketuhanan Yesus Kristus. Sehingga hal tersebut jelas bertentangan dengan akidah keislaman serta menimbulkan kekaburan dan kerancuan akidah.

Pada akhirnya, intisari yang dapat diambil dari pelarangan menyerupai suatu kaum pada hadis tersebut adalah lebih kepada sinkretismenya (percampur adukan akidah), bukan kepada tasyabbuhnya (menyerupai). Jadi, terkait dengan hukum merayakan perayaan tahun baru, bagi mereka yang melarang adalah dalam rangka memelihara akidah dan khawatir terhadap kerancuan pemahamannya. Adapun ketika seseorang merayakan perayaan tahun baru namun murni akidahnya dan mempertimbangkan situasi dan kondisi sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya maupun Muslim lainnya, maka agaknya hal tersebut menjadi diperbolehkan.