Dulu Imam Ahmad bin Hanbal pernah mendapat pertanyaan dari salah satu kaumnya, begini: “kalau kita sedang berada di luar angkasa, maka ke-mana-kah kita menghadap ketika shalat?”
Untuk ukuran waktu itu, pertanyaan tersebut jelas merupakan lompatan imajinasi yang luar biasa. Maklum, audiens yang dihadapi Imam Ahmad adalah masyarakat kosmopolit. Maka ketika hari ini kita berhadapan dengan kemajuan teknologi yang belum pernah sedahsyat sebelumya, diskursus (fatwa) keagamaan pun juga ikut berkembang. Yang terbaru adalah tentang peribadatan di ruang media.
Semesta meta (baca: metaverse), misalnya, merujuk pada dunia virtual tiga dimensi yang dihuni oleh manusia melalui subtitusi avatar yang dikendalikan dari dunia nyata. Metaverse adalah simulasi wujud dunia manusia yang dipindahkan ke dalam internet. Hal ini tentu saja merupakan sebuah lompatan besar teknologi, sekaligus petanda terbukanya wajah baru dunia digital menjadi era metaverse.
Konsep perpindahan aktivitas duniawi ke dalam dunia maya turut memantik wacana perpindahan aktivitas ibadah yang semula hanya dilakukan di dunia nyata menuju semesta meta. Profesor Ralph Schroeder, salah satu pengamat dunia virtual dari Universitas Oxford, pernah menjelaskan tentang kemungkinan tersebut. Ia menggambarkan bahwa beribadah di dunia virtual menyerupai karakteristik ibadah yang ada di dunia nyata. Di sana, seorang pemimpin agama dan jemaat dapat melakukan ritual yang biasanya dilakukan melalui avatar mereka. Mereka dapat hadir bersama, mengoordinasikan suara dan gerak tubuh, serta mampu memusatkan perhatian pada objek pemujaan mereka.
Beberapa waktu lalu, publik Indonesia digegerkan dengan wacana haji dan umrah di dalam metaverse. Pemicunya adalah Konferensi dan Pameran Layanan Haji dan Umrah yang digelar pemerintah Arab Saudi di Jeddah, Arab Saudi, pada Desember 2021. Pada konferensi tersebut, pemerintah Arab memamerkan Ka’bah versi virtual yang ada di metaverse. Proyek tersebut memungkinkan umat Islam melihat Ka’bah dan Hajar Aswad secara nyata tanpa harus pergi ke Mekkah.
Menteri Agama (Menag) Republik Indonesia, Yaqut Cholil Qoumas, yang menghadiri konferensi tersebut, diberi kesempatan untuk menjajal teknologi haji metaverse. Ia berkomentar bahwa teknologi (haji virtual) yang dikembangkan oleh pemerintah Arab sangat bagus dan akan coba diadaptasi dalam proses transformasi digital layanan haji di Indonesia. Berangkat dari keinginan Menag untuk melakukan transformasi digital layanan haji, menyeruaklah wacana haji metaverse di tanah air. Sampai di titik tersebut, muncullah sebuah pertanyaan mendasar, “Bolehkah kita melaksanakan ibadah di dalam metaverse?”
Mungkinkah Beribadah di Metaverse?
Secara hakikat, metaverse adalah sebuah dunia rekaan manusia yang ada di semesta digital. Meski dapat beraktivitas layaknya di dunia nyata, namun tidak lantas mampu menghadirkan segi fisik manusia di sana. Karena itulah manusia masih membutuhkan media pewujudan kesadaran atau entitas diri berupa avatar untuk dapat berada di metaverse.
Pada cetak-biru kegiatan ibadah umat beragama, ada dua tuntutan dasar yang harus dipenuhi seorang individu. Pertama, dalam beribadah kita dituntut untuk menghadirkan kesadaran diri. Seorang bayi atau anak-anak, orang yang gila, mabuk, dan bahkan lupa, tidak dikenai kewajiban untuk beribadah karena di masa itu mereka tidak memiliki kesadaran akan diri mereka sendiri. Kedua, seseorang dituntut untuk menghadirkan kesadaran dan fisik ragawi mereka dalam beribadah, karena selain kesadaran diri, ada beberapa jenis kegiatan peribadatan yang juga membutuhkan olah fisik dan kehadiran individu.
Ditarik dari kasus wacana haji metaverse, Ketua Dewan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrorun Niam, menjelaskan bahwa ibadah haji merupakan ibadah mahdhah (khusus) yang bersifat taufiqi (hal yang telah ditetapkan Rasulullah berdasarkan wahyu), dengan tata cara yang sudah ditentukan dan membutuhkan kehadiran fisik.
Seperti saat melaksanakan thawaf yang mewajibkan umat Islam mengelilingi Kabah sebanyak tujuh kali, ketika Wukuf yang mengharuskan umat muslim berdiam diri sambil berdzikir di padang Arofah, atau ketika ibadah Sa’I yang mengharuskan jemaat haji untuk berlari kecil mengitari bukit Shafa dan Marwa sebanyak tujuh kali, serta ritual yang lainnya. Oleh karena itulah, pelaksanaan haji melalui semesta meta dikatakan tidak memenuhi syarat sah rukun haji, lantaran tidak mampu menghadirkan diri ragawi manusia.
Meski begitu, tidak berarti bahwa upaya digitalisasi haji tersebut sia-sia. Inovasi yang dilakukan pemerintah Arab Saudi terkait digitalisasi situs keagamaan dan sejarah seperti Kabah, menjadi inspirasi bagi pemerintah Indonesia dalam upaya transformasi pelayanan digital di bidang haji dan umrah.
Bukan memigrasi ibadah haji dari dunia nyata ke virtual, Menag Yaqut Cholil Qoumas berencana membuat program peragaan pelaksanaan ibadah haji (manasik haji) bagi para calon Jemaah haji Indonesia menggunakan teknologi metaverse. Menurutnya, program manasik haji menggunakan metaverse akan memberikan kesan langsung bagi calon Jemaah, selayaknya hadir langsung ke dalam Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dengan cara virtual. Hal tersebut akan lebih memudahkan calon Jemaah untuk mengenali lokasi dan wilayah yang akan mereka kunjungi sebelum pergi ke sana.
Bagi umat Islam, melaksanakan ibadah mahdhah badaniyah (ibadah khusus yang melibatkan jasmani) seperti shalat, puasa, wudhu, haji, umrah, dan lain-lain, di dalam metaverse memang tidak sah secara syariat. Namun hal tersebut tidak lantas menutup kemungkinan ibadah lain dilakukan di semesta meta. Contoh saja beberapa ibadah seperti mengaji, ceramah, diskusi, silaturrahmi, dan lain sebagainya. Amalan-amalan tersebut dapat dilakukan di dalam metaverse karena bisa dilakukan dengan kesadaran diri tanpa mewajibkan kehadiran fisik, dan dapat digantikan oleh substitusi avatar dan sejenisnya.
Beribadah di metaverse dalam klausul tertentu memang tidak diperbolehkan, lantaran keterbatasannya yang tak mampu menghadirkan bentuk fisik manusia. Namun bukan berarti semesta meta tak mampu memberi kemanfaatan bagi umat beragama. Metaverse adalah sebuah wadah yang menawarkan kemudahan akses bagi penggunanya. Kemudahan tersebut dapat dimanfaatkan bagi umat beragama untuk menyiarkan ajaran mereka, serta dapat menjadi alat untuk mempermudah kegiatan beribadah mereka. Wallahu alam.