Di tataran normatif, orang boleh memuja setinggi mungkin tentang betapa harmonisnya hubungan Pancasila dan agama-agama; betapa Pancasila adalah ‘perasan’, ‘sari pati’, atau ‘titik temu’ dari pelbagai khazanah kepercayaan dan kebudayaan di Indonesia, karena ia ‘digali’ dari bumi Nusantara sendiri, sehingga ia tidak mungkin mengeksklusi agama-agama.
Namun demikian, dalam sejarah, apa “yang seharusnya” acap kali tak selaras dengan apa “yang terjadi”.
Ambillah sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Mengikuti pandangan normatif itu, kita akan mengandaikan bahwa sila ini adalah intisari dari pelbagai kepercayaan/agama di Nusantara, dan karena itu akan mudah diterima begitu saja. Tetapi, catatan sejarah menunjukkan bahwa kuatnya hegemoni tafsir monoteis (sebagian kelompok Muslim bahkan menyebut bahwa inti sila pertama adalah ‘tauhid’) terhadap sila itu hingga tingkat tertentu telah ‘memaksa’ agama-agama non-Abrahamik untuk menyesuaikan diri agar layak diakui sebagai ‘agama’; agar statusnya lebih tinggi dari ‘sekadar’ aliran kepercayaan.
Satu syarat utama untuk diakui sebagai ‘agama’ adalah memiliki konsep ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Wujud konkretnya dalam aturan legal mula-mula mengejawantah dalam Peraturan Menteri Agama 9/1952, yang mendefinisikan agama sebagai suatu sistem kepercayaan yang monoteistik, mempunyai kitab suci yang diyakini sebagai wahyu, dan mempunyai nabi. Dampak dari hal ini kentara dalam catatan sejarah tentang bagaimana proses agama-agama non-Abrahamik diakui.
Di awal Kementerian Agama berdiri, baru Islam, Protestan, dan Katolik yang diakui. Hindu baru diakui dan memiliki biro urusan Hindu di Kementerian Agama pada 1960, belasan tahun setelah Pancasila terbubuhkan dalam pembukaan konstitusi. Buddha diakui lebih belakangan lagi: pada awalnya gabung dalam biro urusan Agama Hindu, dan baru terwadahi dalam biro tersendiri untuk agama Buddha pada 1980. Konghucu diakui representasinya dalam MATAKIN, sempat diakui di awal Orde Baru, lalu tidak diakui hingga Orde Baru jatuh, dan kemudian diakui lagi pasca-Reformasi antara lain berkat Gus Dur. Tapi sampai kini belum ada Ditjen Konghucu di Kemenag.
Mengapa pengakuan terhadap agama-agama itu bisa sedemikian lama baru terwujud? Karena negara datang dengan ‘memaksakan’ konsep ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dengan segala turunannya kepada agama-agama non-Abrahamik ini jika ingin diakui sebagai agama. Generasi saat ini mungkin menerima begitu saja keenam agama yang diakui itu ada representasinya dalam institusi negara, padahal sejarah tarik-ulurnya panas, dan perdebatan internal di masing-masing komunitas agama ini tak kalah panas.
Hindu, misalnya, mengalami evolusi nama diri, dari Agama Siwa-Buddha, Agama Hindu Bali, hingga Agama Hindu saja. Menghadapi syarat pengakuan agama dari negara, komunitas Hindu terbelah dalam spektrum, dari yang ingin menekankan aspek lokal ke-Bali-an Hindu hingga yang kuat orientasinya pada Hindu India untuk menekankan bahwa Hindu adalah agama lintas bangsa. Ringkasnya, setelah perdebatan dari kongres ke kongres, muncullah nama ‘Sang Hyang Widhi’ sebagai paralel dari konsep Ketuhanan YME dalam Hindu.
Agama Buddha mengalami proses serupa (sebagian kelompoknya bahkan berpandangan Buddhisme tak mengenal konsep Tuhan, atau mengenal tapi konsep Tuhan bukan hal yang sentral), dan muncullah ‘Sang Hyang Adi Buddha’. Di Konghucu, yang di Cina sana lebih merupakan filsafat kehidupan, muncul ‘Tian’ sebagai padanan Tuhan YME. Lebih lanjut, karena mengalami proses institusionalisasi, agama-agama ini mesti membuat standar ajaran dan ritual resminya (yang dirumuskan dengan agama Abrahamik sebagai standar acuannya), yang pada gilirannya menciptakan suatu ortodoksi.
[Ironi dari hal-hal ini ialah fakta bahwa burung Garuda dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika diambil dari khazanah Hindu-Buddha, dan bahkan istilah ‘agama’, ‘sembahyang’, ‘puasa’, ‘surga’, ‘neraka’ diambil dari peradaban berbahasa Sanskerta.]
‘Aliran kepercayaan’, yang jumlahnya ratusan dan sebagian sudah berkembang di Nusantara sebelum Islam dan Kristen datang, bernasib lebih tak mujur. PNPS 1/1965 (UU Penodaan Agama), yang ditetapkan oleh ‘penggali’ Pancasila sendiri yaitu Sukarno, menciptakan stratifikasi dan klasifikasi antara agama-agama dunia yang diakui, agama-agama dunia yang tak diakui, dan ‘aliran kebatinan/kepercayaan’. Tertulis dalam penjelasan PNPS 1965 itu agar pemerintah mengarahkan aliran kebatinan/kepercayaan menuju Ketuhanan Yang Maha Esa. PNPS 1965 itu didasari oleh Pancasila, dan ketika diuji materikan ke MK dulu, ia dinyatakan konstitusional antara lain karena dasar negara kita adalah Pancasila yang sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berikut ini adalah paparan seringkas mungkin dari sejarah Pancasila dan agama-agama. Untuk detailnya, agar bisa merasakan lebih dalam panasnya tarik-ulur politik pengakuan agama di Indonesia Anda bisa baca, umpamanya, tentang Hindu ada Michel Picard (2011), “Balinese religion in search of recognition: From ‘Agama Hindu Bali’ to ‘Agama Hindu’”; atau tentang Buddha, Karel Steenbrink (2013), “Buddhism in Muslim Indonesia” ; atau tentang Konghucu, Evi Lina Sutrisno (2018), “Negotiating the Confucian Religion in Indonesia” ; atau tentang aliran kepercayaan, Samsul Maarif (2017), “Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur”.