Pilihlah guru agama yang tepat. Kalau salah, seluruh praktik beragama kita bisa kacau-balau dan salah. Memilih guru yang benar sangat penting dalam proses belajar agama. Karena bagaimana cara beragama kita sangat ditentukan oleh orang yang mengajari kita. Mencari guru agama di masa sekarang tentu sangat mudah. Apalagi di era internet seperti sekarang ini, seluruhnya sudah tersedia secara online. Ada banyak website dan akun media sosial yang menyediakan layanan keagamaan. Ada banyak ustadz juga yang menyediakan layanan konsultasi online dan belajar agama secara online ataupun offline.
Di tengah kemudian pencarian ustadz, perlu pengetahuan dasar untuk mencari pendakwah atau ustadz yang tepat untuk belajar agama. Salah satu rekomendasi Prof. Quraish Shihab adalah carilah pendakwah atau ustadz yang menganut paham wasathiyyah (moderat). Karena dalam Islam sendiri ada ragam pendapat dan aliran. Orang yang moderat dalam beragama adalah orang yang memiliki pengetahuan luas. Mereka tidak akan mudah menyalahkan dan menghakimi praktik beragama orang lain.
Sebab itu, ketika ditanya bagaimana cara memilih ulama atau ustadz yang benar dalam program Shihab & Shihab, Prof. Quraish Shihab menegaskan, “Pilihlah ustadz yang menganut paham wasathiyyah, anda tidak akan dengar makian. Dia paham bahwa ini boleh ada alasannya. Itu juga boleh ada alasannya”.
Pendiri Pusat Studi Al-Qur’an ini mengilustrasikan bahwa Tuhan tidak akan bertanya kepada kita, 5 + 5 berapa? Tapi yang ditanyakan Tuhan, 10 itu hasil dari berapa? Jawabannya bisa 9+1, 8+2, 7+3, dan lain-lain. Begitulah beragama. Perbedaan pendapat sudah lazim dalam Islam. Semuanya bisa diakomodir selama memiliki argumentasi yang kuat, baik dari al-Qur’an ataupun hadis.
“Semakin luas pengetahuan seseorang, semakin besar toleransinya, karena dia paham” Tegas Prof. Quraish Shihab.
Pendakwah atau ustadz moderat tidak mudah menyalahkan, karena mereka memiliki ilmu yang sangat luas. Mereka mengerti bahwa perbedaan itu sudah ada sejak dulu. Bahkan ketika Nabi masih hidup saja, para sahabat terkadang juga berbeda pendapat dalam memahami instruksi yang disampaikan Nabi.
Pada masa Rasulullah misalnya, beliau pernah mengutus beberapa orang sahabat berkunjung ke perkampungan Bani Quraizhah. Sebelum berangkat, Rasul berpesan, “Kalian jangan salat asar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah”. Tidak ada satupun sahabat yang bertanya mengenai maksud dari pernyataan Rasulullah ini. Semuanya tampak sudah memahami apa yang dikehendaki Rasulullah.
Di pertengahan jalan, waktu ashar sudah masuk. Salah seorang sahabat mengusulkan agar shalat terlebih dahulu. Khawatir kalau perjalanan dilanjutkan waktu shalat habis. Sementara sahabat yang lain menolak usulan itu. Alasannya, Rasul memerintahkan shalat di perkampungan Bani Quraizhah. Meskipun waktu salat asar habis.
Kedua belah pihak dari rombongan sahabat ini bersiteguh dengan keyakinannnya masing-masing dan tidak ada yang mengalah. Sahabat yang ingin mengerjakan shalat ashar di jalan memahami pesan Nabi secara substansial atau kontekstual. Sementara sahabat yang lain memahaminya secara literal dan tekstual.
Dua sudut pandang ini tentu melahirkan dampak dan implikasi yang berbeda. Kalau perintah Nabi di atas dipahami secara kontekstual, maksudnya adalah Nabi memerintahkan agar sahabat yang diutus segera sampai di tempat yang dituju sebelum waktu shalat ashar selesai. Artinya, kalau pun tidak sesuai harapan, ketika waktu shalat sudah masuk di tengah perjalanan, tetap diwajibkan salat saat itu.
Namun sahabat yang memahami secara literal berpandangan bahwa Nabi memerintahkan salat asar di perkampungan Bani Quraizhah dan tidak boleh dilakukan di tengah perjalanan, sekalipun waktu shalat sudah masuk. Dikarenakan tidak ada titik temu, kedua belah pihak akhirnya mengadu kepada Rasul. Setelah mendengar penjelasan mereka, Rasul membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan salah satunya.
Artikel ini terbit atas kerjasama dengan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI