Telepon berdering di pagi Jumat (8/11) pukul 8.30. DKM Masjid al-Munawwaroh Warung Silah Ciganjur menanyakan apakah bisa mengisi khutbah badal khatib yang berhalangan? Tanpa babibu, tanpa banyak alasan, saya menyanggupinya. Kenapa? Karena saya tahu bahwa Masjid itu adalah Masjid Gus Dur. Cintaku pada Gus Dur ghaniyyun ‘anit-ta’rif, tak butuh definisi dan alasan.
Di atas motor dari rumah menuju Ciganjur, saya merangkai tema khutbah. Dalam lintasan pikiran berbisik, alangkah baiknya kalau khutbah di Masjid kekasihku, Gus Dur, menjelaskan tentang kekasihku, Nabi Muhammad SAW. Akhirnya pikiranku memutuskan tema “Bukti Cinta Kita kepada Nabi Muhammad SAW”. Tema ini juga relevan dalam suasana bulan Maulid ini.
Dalam khutbah saya mengatakan bahwa, pada bulan ini umat Islam merayakan Maulid Nabi dengan penuh sukacita dan rasa syukur. Membaca barzanji berjamaah, memperbanyak membaca shalawat, dan berbagai ritual serta acara pengajian mengenang Rasulullah.
Ada tiga bukti cinta kita kepada Nabi. Pertama, meneladani akhlaknya yang muliya. Memposisikan Nabi sebagai uswah (teladan) yang kita pelajari, gali, dan kita hidupkan akhlak muliyakanya dalam keseharian.
Kedua, mematuhi dan menjalankan perintah, dan menjauhi larangannya. Menebarkan nilai-nilai luhur, kasih sayang (rahmah), dan menjauhi nilai-nilai rendah dan nista.
Ketiga, memperbanyak menyebut namanya dalam shalawat, barzanji, dan sejenisnya. Dalam pepatah Arab dikatakan, “man ahabba syaian katsura dzikrahu” (barangsiapa yang mencintai sesuatu/seseorang maka dia akan banyak menyebut namanya). Nabi mengatakan bahwa, “man ahabbani kana ma’iy fi al-jannah” (barangsiapa yang mencintaiku, maka kelak dia akan bersamaku di surga).
Allah dan Malaikat-Nya pun bershalawat kepada Nabi Muhammad. Dalam satu ayat di katakan, “Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman bershalawatlah kepada Nabi dan ucapkanlah salam sejahtera kepadanya dengan sebenar-benarnya salam”.
Berbagai ragam shalawat bermunculan sebagai ekspresi cinta kepada Nabi. Kita mengenal shalawat badar, shalawat fatih, shalawat nariyah, shalawat asghil, dan sejenisnya. Kekayaan ragam shalawat ini telah mengisi warna kebudayaan Islam.
Bahkan, dalam tradisi Mesir, shalawat menjadi magnet paling kuat dalam merekatkan hubungan yang longgar dan dapat mempersatukan yang sedang berkonflik. Ketika saya belajar di Kairo Mesir, sering kali melihat di pinggir jalan dua orang sedang berkonflik, saling marah, saling mengumpat “ya ihrab baytak”, akan tetapi konflik itu redah dan tidak sampai terjadi kekerasan fisik manakala ada orang ketiga yang melerai dengan mengajak “shallu ‘ala an-Nabi”. Kedua pihak bersama sama membaca shalawat, saling meminta maaf, dan berpelukan.
Shalawat diwujudkan dalam laku. Jika mulut kita sudah bershalawat. Apakah prilaku kita juga sudah bershalawat? Mari kita bershalawat secara kaffah, shalawat di hati, di mulut, dan prilaku. Shalawat prilaku adalah menghadirkan rahmat dan akhlak mulia Nabi Muhammad. Dan, seakan Nabi Muhammad hadir menyaksikan tingkahlaku kita, sehingga kita malu jika berakhlak tidak seperti akhlak beliau.
Nabi Muhammad adalah rahmah. Allah berfirman, “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil-‘alamin” (Dan tidaklah Aku mengutusmu kecuali sebagai rahmat/kasihsayang bagi semesta alam). Dalam ayat ini mengandung makna bahwa; Pertama, Nabi Muhammad sendiri adalah rahmah/kasihsayang. Kelak di akhirat, Nabi Muhammad adalah seorang yang diberi hak perogratif dari Allah yaitu sebagai penolong, syafi’. Sehingga kita senantiasa memohon agar mendapat syafa’atnya.
Syafa’at Nabi pun terjadi di dunia. Syahdan, Suku Mudhar mengalami paceklik dan kemarau selama tujuh tahun. Kepala suku dan beberapa perwakilan masyarakat Mudhar datang ke Rasulullah, memohon syafa’at dan doa agar suku Mudhar diberi hujan dan menghilangkan paceklik. Rasul berdoa agar suku Mudhar diberi hujan dan hilang pacekliknya. Dan masih banyak kisah sejenis lainnya.
Kedua, ajaran Islam yang dibawa Nabi adalah ajaran rahmah (kasihsayang) bagi seluruh alam semesta. “‘Alamin” adalah ma siwa Allah, selain Allah. Jadi, ajaran Islam adalah kasihsayang bagi umat Islam, umat manusia, jin, lingkungan, pohon, hutan, tumbuhan, binatang, air, dan seluruh makhluk tanpa kecuali.
Rahmah bagi umat manusia dengan memperekat kohesis sosial dan mengokohkan tali persaudaraan antar umat Islam, persaudaraan antar anak bangsa, dan persaudaraan antar umat manusia. Dengan demikian, tercipta kerjasama dan bahu membahu dalam mewujudkan peradaban unggul.
Rahmat bagi lingkungan dengan mewujudkan ramah lingkungan, menjaga hutan, menjaga air bersih, tidak membuang sampah sembarangan.
Ramah dalam membangun negeri dengan membangun fasilitas dalam mempermudah kegiatan ekonomi, dan kebaikan. Membangun berbasis kemaslahatan dan kemanfaatan bagi sesama