Bagaimana Cara Memahami Hadis Pemimpin Mesti dari Suku Quraisy?

Bagaimana Cara Memahami Hadis Pemimpin Mesti dari Suku Quraisy?

Bagaimana Cara Memahami Hadis Pemimpin Mesti dari Suku Quraisy?

Jika Anda adalah penikmat wacana politik Islam, diskursus hadis Quraisy mungkin tak terdengar asing. Barangkali, wacana tersebut masih cukup memikat. Sekurang-kurangnya, perbincangan Quraisy dimaksudkan untuk menjawab kegelisahan apakah teori politik Islam klasik relevan dengan gagasan negara modern ataukah sebatas doktrin usang yang berakhir pada imaginasi utopis.

Singkatnya begini. Hadis Quraisy menyatakan bahwa para pemimpin lazimnya berasal dari keturunan Quraisy. Hadis ini diriwayatkan oleh Ahmad ibn Hanbal dan al-Bayhaqi yang bersumber dari sahabat Anas ibn Malik. Berdasarkan hadis tersebut, ulama sepakat bahwa salah satu prasyarat kepala negara adalah berasal dari keturunan Quraisy. Pandangan ini didukung mayoritas ulama, seperti al-Mawardi (w. 450 H), al-Juwayni (w. 478 H) dan pemikir Muslim kontemporer seperti Rasyid Ridha sebagaimana dikutip dari karyanya, al-Khilafah.

Catatan Ibnu Khaldun (1332 s.d. 1406 M) menarik untuk diteliti karena kepiawaiannya menyingkap teks-teks keagamaan dalam sudut pandang cultural studies, seperti yang banyak ditemukan dalam magnum opus-nya, Muqaddimah. Dalam konstruk sosiologi, Ibnu Khaldun mengungkap bahwa ketentuan hadis Quraisy lekat dengan isu etnis yang sulit tercerabut dari akar tipologi kepemimpinan masyarakat Arab kala itu.

Literatur sejarah menyebutkan, mulanya suku Jazirah Arab dikenal sebagai kaum nomaden yang tidak memiliki wilayah kekuasaan khusus. Karenanya, penaklukan dan invasi antar suku lazim terjadi. Suatu wilayah kekuasaan pada akhirnya terbentuk atas kerjasama dan kesepakatan antar suku yang menetap di wilayah tersebut. Untuk menghindari terjadinya penaklukan dari suku lain, diperlukan suatu kerjasama politik yang lazim dipegang suku terkuat dan yang paling dihormati. Di sinilah Quraisy memainkan peran penting dalam kontestasi perpolitikan masyarakat Arab primitif. Khalil Abdul Karim (1997) menilai, Quraisy memiliki akar sejarah panjang sebagai suku paling berpengaruh yang memiliki keberanian dan trah kepemimpinan politik dalam penaklukan wilayah sejak pertama kali didirikan oleh Qushay bin Kilab (w. 480 M) yang kemudian diteruskan oleh keturunannya, Abdu Manaf dan Abdul Muthalib.

Dengan demikian, Ibnu Khaldun mengungkap bahwa sangat logis jika nabi menginformasikan bahwa kepemimpinan harus berasal dari klan Quraisy untuk memberikan perlindungan terhadap ancaman dan kekacauan (raf’u al-tanazu’). Ibnu Khaldun mendasari pemikirannya pada konsep penaklukan (conquest) yang menginspirasi dibentuknya teori konflik sebagai satu dari dua teori berdirinya negara. Bagi Ibnu Khaldun, kekuasaan semata-mata dibentuk untuk melindungi wilayah teritorial dari ancaman bangsa lain. Pengertian negara menurut Ibnu Khaldun tersebut relatif jauh berbeda dari pengertian negara dalam teori integrasi yang dicetuskan Aristoteles.

Saya menangkap beberapa poin penting dari pernyataan Ibnu Khaldun tersebut. Pertama, konteks sosial budaya yang memengaruhi gagasan Ibnu Khaldun. Kedua, ‘ashabiyyah sebagai kunci memahami gagasan Ibnu Khaldun. Ketiga, penegasan Ibnu Khaldun bahwa prasyarat Quraisy diajukan untuk menghindari perpecahan yang timbul dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keempat, kriteria substantif dalam narasi Quraisy.

Pertama, patut dipahami bahwa Ibnu Khaldun hidup di masa pemerintahan dinasti Fathimiyyah di Mesir yang menganut ajaran Syi’ah. Karenanya, framework Ibnu Khaldun tak dapat dilepaskan dari konteks pemerintahan yang masih menganut sistem monarki. Sebagaimana kaum Syi’ah yang meyakini kepemimpinan pasca nabi ditunjuk langsung secara personal (ta’yin), Sunni juga meyakini bahwa jalur kepemimpinan pasca wafatnya nabi hanya dapat dijalankan keturunan Quraisy. Jadi, terdapat kesamaan politik identitas dan platform sejarah, baik oleh Syi’ah maupun Sunni dalam memandang teori kepemimpinan.

Padahal, seperti hukum muamalah lainnya, model kepemimpinan perlu disesuaikan dengan ruang, waktu, dan kebutuhan manusia dalam lintas generasi. Dalam konteks negara–bangsa seperti sekarang, prasyarat Quraisy tentu tak dapat diaplikasikan karena pemerintahan tidak lagi menganut sistem tribalisme. Abdul Qadir Audah (1981) juga mengemukakan garis keturunan Quraisy tak tepat dijadikan prasyarat karena terjadi pergeseran tren kepemimpinan dari fanatisme etnik menuju konsep negara modern.

Kedua, teori ‘ashabiyyah Ibnu Khaldun hanya berlaku dalam masyarakat yang menganut sistem pemerintahan primitif. Kelemahan teori ini terlihat dari upaya justifikasi atas superioritas bangsa Arab di atas bangsa Non-Arab (‘Ajam) berikut konstruk budaya yang melatarinya. Meminjam pendapat Elmessiri, ‘ashabiyyah lambat laut mengalir dalam denyut framework masyarakat yang turut berkonstribusi melahirkan fraksionalisasi Quraisy–Non Quraisy, Arab–Non Arab dan mayoritas vis a vis minoritas. Pada akhirnya, mayoritas akan menilai diri mereka sebagai komunitas yang paling berhak menduduki jabatan strategis dan menciptakan warga negara kelas dua sehingga kedewasaan berpolitik sulit diwujudkan dalam iklim demokrasi. ‘Ashabiyyah mengistimewakan kepemimpinan hanya pada keturunan Quraisy. Ekses negatif demikian ditolak kritikus sejarah Muslim Arab, Mamduh al-‘Araby (1988), dan menyatakan fanatisme golongan tak sesuai dengan cita-cita nabi dalam membangun Negara Madinah yang menyamaratakan hak kewajiban masyarakat dari berbagai latar belakang suku dan agama.

Ketiga, mencegah terjadinya kekacauan (raf’u al-tanazu’) seharusnya menjadi akhir polemik lantaran hal tersebut menjadi tujuan utama bernegara di samping upaya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), penegakan hukum dan kerjasama di berbagai bidang. Karena itulah Ibnu Khaldun menekankan pemerintahan dapat dijalankan dalam berbagai sistem, tak terkecuali kerajaan (t.th: 192). Dan, sebagaimana dikemukakan al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M), fungsi negara adalah instrumen yang mengawal terselenggaranya misi-misi agama, termasuk kemanusiaan.

Keempat, teks hadis Quraisy harus diterjemahkan simbol kriteria-kriteria substantif seperti sifat-sifat keberanian dan kekuatan sebagaimana ditegaskan teks syariah (QS. Al-Qashash/28: 26) bersama dengan nilai-nilai lain, seperti amanah dan mampu bersikap adil (QS. Al-Nisa’/4: 59). Pemikiran tersebut didukung sejumlah hadis yang diriwayatkan al-Bukhari, al-Turmudhi, al-Nasa’i, Ibnu Majah, al-Bayhaqi, dan Ahmad ibn Hanbal, terkait sahnya kepemimpinan hamba sahaya keturunan Habsyi (Etiopia, red). Makna hadis Quraisy, menurut Dhiyauddin al-Rays, tak tepat jika dimaknai pertalian darah.

Pengarusutamaan syarat-syarat utama juga perlu dilakukan agar Muslim tak terjebak pada simbol-simbol agama yang belakangan justru dijadikan komodifikasi untuk memuaskan hasrat politik. Berulang kali, nabi menunjuk Ibn Ummi Maktum sebagai suksesor saat terjadi kekosongan kekuasaan di Madinah. Padahal, Ibn Ummi Maktum sendiri bukan termasuk orang yang saleh dalam beragama. Tentu kesaksian sejarah tersebut bertolak belakang dengan apa yang dituangkan dalam karya-karya politik Islam klasik. Atas dasar itulah, Malik ibn Anas menyatakan rakyat berkewajiban terlibat dalam berperang meski perintah berasal dari penguasa tirani.

‘Ala kulli hal, prasyarat kepala negara yang berasal keturunan Quraisy hanya berlaku sebagai kriteria tambahan (mukammilat), bukan syarat utama seperti dikemukakan Ibnu Khaldun dan mayoritas ulama. Karena penyelenggaraan negara menyangkut kepentingan umum, kriteria-kriteria utama seperti mampu bersikap adil, amanah, dan berwawasan luas harus didahulukan. Saatnya, pendewasaan berpolitik dimulai dari menanggalkan simbol-simbol yang menutupi substansi. Ini sekaligus meruntuhkan perbincangan semu yang mensyaratkan calon kepala negara harus mampu membaca-tulis Alquran, mengimami shalat dan berwudhu dengan baik karena hal tersebut jelas hanya akan menjauhkan nalar substansi.