Bagaimana arrahmah.com Mengisahkan Teror Bom di Sarinah

Bagaimana arrahmah.com Mengisahkan Teror Bom di Sarinah

Media seharusnya bisa berbuat lebih: menyuarakan hak-hak warga yang menderita oleh diskriminasi dan kekerasan atas nama agama

Bagaimana arrahmah.com Mengisahkan Teror Bom di Sarinah
Arrahmah.com dan media islam sejenis menuliskan tragedi bom surabaya tanpa empati. Lalu, label islam seperti apakah yang hendak mereka bangun?

Beberapa saat setelah teror Sarinah (14/1), berita-berita tentang kejadian memilukan tersebut beserta foto-foto korban tersebar di media sosial. Beberapa orang mungkin merasa tangannya gatal jika tidak ikut membagikan berita, foto atau video tragedi bom dan penembakan di Sarinah. Besar kemungkinan mereka melakukan itu lantaran rasa empati atau sekadar turut meramaikan atau ingin berkontribusi dengan terus meng-update perkembangan terbaru.

Hanya saja, membagikan berita, foto atau video tak selamanya baik. Apalagi tanpa kroscek terlebih dahulu. Misalnya, ketika seseorang membagikan salah satu berita dari arrahmah.com perihal tragedi Sarinah di akun FB dan Twitter-nya atau di grup-grup WA yang ia ikuti. Berita tersebut memiliki judul yang ‘gagah’: Teror di Sarinah, Pemerintah Wajib Bertanggung Jawab. Namun, manakala kita membacanya, alih-alih mendapat informasi penting, kita justru disodori pernyataan-pernyataan yang membuat keruh suasana.

Berita itu dibuka dengan pernyataan dari Jaka Setiawan, seorang pengamat intelijen independen. Baiklah, sampai di sini kita tahu, narasumber yang dipakai arrahmah.com tidak kredibel. Lalu mari kita simak apa pendapat Jaka Setiawan soal tragedi Sarinah. Menurutnya, teror di Sarinah sebetulnya sudah ‘direncakan’ dan ‘diketahui’ petinggi negara. Pasalnya, beberapa waktu sebelum terjadinya teror, Jaksa Agung Australia George Brandis datang ke kantor Menkopolhukam. Dalam pertemuan itu, selain Luhut Pandjaitan, hadir pula Kepala BIN dan Kapolri. Jaka Setiawan mencurigai ada sesuatu di balik pertemuan itu.

Tidak hanya sampai di situ, arrahmah.com juga menurunkan tulisan dengan judul Ketika dituduh dan tertuduh sebagai terduga “teroris”, apa perasaanmu? Tulisan itu berisi ‘curhat’ Muhammad Jibriel Abdul Rahman, pemimpin arrahmah.com, ketika ia dipenjara di LP Cipinang karena kasus terorisme.

Tulisan itu sendiri berbunyi: Kuingin berikan sedikit nasihat kepada teman-teman yang mereka saat ini dituduh, atau tertuduh, atau dujuluki sebagai “TERORIS”. Jangan pernah merasa sedih dan hina atas tuduhan-tuduhan yang dilemparkan kepadamu oleh musuh-musuhmu.Apalah arti tuduhan-tuduhan itu, tuduhan manusia biasa, ujian-ujian yang Allah berikan kepada saudara-saudaramu di belahan dunia Islam di seluruh dunia lebih dahsyat dengan apa yang kita rasakan saat iniTidak jelas apa relevansi diturunkannya tulisan itu selepas teror Sarinah.

Ya, kita sepakat arrahmah.com bukan referensi/rujukan yang layak untuk berita apa pun. Tapi bayangkan orang-orang yang membuka berita itu lantaran ada teman atau saudara yang membagikannya di grup WA/FB. Bukan turut berupaya membuat suasana menjadi kondusif, arrahmah.com justru memperkeruh keadaan dengan berita yang isinya tak sesuai judul, yang narasumbernya tak jelas dan hanya bisa menyodorkan teori konspirasi murahan. Menjengkelkan sekali jika berita-berita ala arrahmah.com ini bertebaran dan terus menerus memapar kita. Sialnya, portal-portal yang mirip arrahmah.com ini tidak sedikit.

Ade Armando, dosen Ilmu Komunikasi UI, mengatakan, media hari ini telah gagal memanfaatkan anugerah kebebasan berekspresi yang diberikan kepadanya. Media seharusnya bisa berbuat lebih: menyuarakan hak-hak warga yang menderita oleh diskriminasi dan kekerasan atas nama agama misalnya. Dengan kebebasan yang dinikmatinya mereka berpotensi melakukan itu. Menurut Ade Armando, media hari ini terjebak dalam rutinitas sehari-hari menjalankan sebuah industri bisnis, memproduksi berita, memasarkan, dan meraup keuntungan. Sulit membayangkan arrahmah.com mengamalkan apa yang diidealkan Ade Armando. Apalagi mereka termasuk media pencari sensasi dan corong propaganda Islam radikal.

Lalu apa yang semestinya dilakukan oleh para pengguna media sosial di tengah suasana kacau karena teror seperti saat ini?

Kiranya, yang patut dilakukan adala menahan diri. Ya, menahan diri untuk tidak membagikan apapun tanpa mengecek atau memeriksanya dengan saksama terlebih dahulu. Menahan diri untuk tidak semakin membuat takut khalayak dan membuat suram keadaan. Menahan diri untuk tidak membagikan foto-foto mengerikan korban bom Sarinah. Lagipula siapa sih yang dengan asyik dan nikmat memandangi foto-foto itu?

Menunggu segalanya terang benderang tentu pilihan terbaik. Sebab, jika terlalu latah membagikan apa pun, bisa-bisa yang kita sebar sebetulnya adalah hoax. Dan itu akan semakin memperburuk keadaan. Kita tidak bisa menghentikan media menyebarkan berita-berita mereka (baik yang hoax atau tidak, yang menakut-nakuti masyarakat atau tidak) tapi kita bisa menghentikan jari-jari kita untuk tidak asal bagi (berita, video, video).

Situs arrahmah.com telah melakukan itu, apakah anda melakukan hal yang serupa dengan mereka? Saya kira tidak.  .

A. Zakky Zulhazmi, alumni Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.  Penulis buku Propaganda Islam Radikal di Media Siber (Intijati, 2015)