Gerakan terorisme selalu mengatasnamakan agama dan menggunakan berbagai sumber keagamaan untuk mendukung dan melegitimasi hasrat mereka dalam membunuh manusia-manusia kafir, murtad, musyrik dan label-label keagamaan lainnya seperti zindiq, fasik dan lain-lain. Tentu dengan catatan bahwa definisi kafir, murtad, musyrik dan label-label lainnya ini hanya diperuntukkan bagi kelompok selain mereka, baik muslim mapun non-muslim.
Dalam salah satu tulisan mereka yang berjudul “Sebuah Ketulusan kepada Musuh” terkandung suatu pesan bahwa semua orang Islam yang tunduk dan taat kepada negara Indonesia yang bagi mereka berasas thaghut telah murtad dari Islam dan telah menjadi musyrik. Padahal Islam jelas-jelas menunjukkan bahwa menjadi muslim itu cukup dengan bersyahadat saja, haram darahnya untuk dibunuh. Namun bagi mereka, itu saja tidak cukup.
Tauhid bagi mereka harus disertai dengan kufur kepada thagut dengan maknanya yang masih mengundang banyak tafsir. Dari sekian makna thagut itu, mereka hanya memutlakan satu makna bahwa thagut itu segala sistem yang bukan dari Allah. Lewat pandangan yang ekstrim inilah, mereka berhak membunuh, meneror, mencuri dan melakukan berbagai aksi jahat lainnya terhadap yang muslim dan non muslim yang bekerja di pemerintahan, yang membayar pajak kepada pemerintah dan seterusnya hanya dengan alasan mereka telah murtad dan kafir.
Seringkali ayat-ayat al-Quran dan hadis-hadis Nabi dijadikan sebagai tameng . Padahal dua sumber ini banyak yang dipelintir. al-Quran pun dalam berbagai ayatnya tidak pernah memerintahkan untuk membunuh dan memerangi orang kecuali jika posisinya diserang terlebih dahulu oleh mereka. Bahkan terhadap orang-orang yang keluar dari Islam, al-Quran menegaskan bahwa hukuman bagi mereka hanyalah di akhirat nanti dan tidak pernah menegaskan untuk memerangi dan membunuh.Hal demikian seperti yang dapat dijelaskan dalam ayat berikut:
“Barang siapa yang keluar dari agamanya lalu ia mati dalam keadaan kafir, maka akan sia-sialah amalan mereka di dunia dan di akhirat. Mereka itulah para penghuni neraka dan kelar akan kekal di dalamnya” (QS. al-Baqarah: 217).
Ayat ini menunjukkan bahwa hukum orang yang murtad dari Islam ialah hukuman yang bersifat ukhrawi dan bukan duniawi. Tidak hanya ayat ini, ayat-ayat lain pun seperti dalam (QS. Ali Imran: 90, 91, 100, 106, 177), (QS. al-Maidah: an-Nisa: 137), (QS. An-Nahl: 106) dan (QS. al-Hajj: 11). Ayat-ayat al-Quran ini juga memberi definisi secara tegas murtad dan konsep yang dikandungnya, yakni keluar dari Islam dan kembali ke agama sebelumnya atau berpindah ke agama lain atau tidak beragama sama sekali.
Ayat-ayat al-Quran ini juga menunjukkan bahwa hukuman yang akan diterima oleh orang-orang yang telah murtad dari Islam hanya akan diterima di akhirat nanti. Selain itu, al-Quran juga dalam ayat-ayat ini tidak menjelaskan sama sekali tentang keharusan untuk memaksa orang murtad untuk kembali ke Islam atau membunuhnya ketika orang murtad tidak mau kembali masuk Islam.
Jika kelompok teroris bersikukuh melihat bahwa muslim yang menjadi PNS di berbagai sektor pemerintahan telah murtad dan menjadi musyrik dan wajib dibunuh, maka tentu itu adalah pemahaman yang keliru. Lewat pembacaan terhadap ayat-ayat bertemakan murtad jelaslah bahwa hukuman bagi kaum murtad hanyalah di akhirat nanti.
Jika al-Quran menjelaskan secara eksplisit tentang hukum orang yang murtad yang menunjukkan tidak ada keharusan untuk memaksa mereka kembali ke Islam atau bahkan membunuh mereka, pertanyaannya lantas bagaimana dengan yang disabdakan Nabi: “Barang siapa yang murtad dari agamanya, bunuhlah dia.” Hadis ini, seperti yang dijelaskan Thaha Jabir al-Ulwani, sangat terkenal di masa tabi’in. Adapun sebelum masa ini, hadis ini hanyalah hadis ahad dan masuk ke dalam kategori hadis mursal. Jika pun sahih, hadis ini bila ditelisik dari konteks kemunculannya, memiliki kaitan erat dengan konspirasi Yahudi yang disebut dalam al-Quran dalam surat Ali Imran ayat 72. Jadi membunuh Yahudi yang murtad itu sah bukan karena kemurtadannya namun karena konspirasinya untuk menghancurkan Islam.
Dalam riwayat Ahmad disebutkan dari Abu Burdah bahwa Muadz bin Jabal mendatangi Abu Musa al-Asy’ariyy di Yaman dan di sampingnya ada seorang lelaki. Muadz pun bertanya: siapakah ini wahai Abu Musa? Abu Musa menjawab: orang Yahudi yang masuk Islam kemudian murtad menjadi Yahudi lagi dan kami mengajaknya lagi untuk masuk Islam dan bertaubat selama dua bulan ini. Muadz bin Jabal berujar: demi Allah aku tidak akan membiarkan orang ini sampai kalian membunuhnya. Abu Musa lalu berkata: Allah dan rasulnya memutuskan bahwa barang siapa yang keluar dari islam, maka bunuhlah. Hadis ini memiliki kaitan erat dengan firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 72, yakni tentang konspirasi Yahudi untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Di masa Nabi, keluar masuk islam merupakan fenomena biasa, karena biasanya orang Yahudi masuk Islam hanya sekedar untuk menghancurkannya dari dalam. Namun sikap Islam terhadap konspirasi ini jelas dan tegas, yakni dengan membunuh. Jadi Islam di masa Nabi tidak membunuh orang karena murtad-nya, namun karena konspirasi untuk menghancurkannya dari dalam. Inilah yang banyak dilakukan oleh Yahudi di masa itu. Jadi hadis mengenai perintah membunuh murtad harus dibaca dalam konteks yang berlaku di masa itu, yakni konspirasi.
Nabi pun selama hidupnya tidak pernah membunuh orang murtad sekalipun. Hal demikian seperti yang ditegaskan oleh al-Imam as-Syafi’i yang mengatakan: “….Nabi tidak pernah membunuh seorang yang murtad dari Islam atau orang zindiq…”
Dengan demikian, aksi pembunuhan terhadap orang-orang muslim atau orang-orang non muslim yang dilakukan teroris-teroris saat ini karena alasan telah murtad dari Islam jelas tidak ada sandaran kuat dari al-Quran dan sunnah kenabian dan karenanya aksi terror mereka yang mengatasnamakan jihad selamanya tidak sesuai dengan hadis-hadis Nabi dan bahkan bertentangan sama sekali dengan dasar-dasar Islam. Wallahu a’lam