Bacaan Qur’an Aldi Taher Itu Bukan Ngaco, Tapi Menyadarkan Kita Bahwa Dialek Umat Muslim Tidaklah Seragam

Bacaan Qur’an Aldi Taher Itu Bukan Ngaco, Tapi Menyadarkan Kita Bahwa Dialek Umat Muslim Tidaklah Seragam

Persona Aldi Taher seolah tak pernah lepas dari al-Qur’an. Ini bukan show off. Mana mungkin orang yang pernah gagal Pilkada dua kali mikirin pamer.

Bacaan Qur’an Aldi Taher Itu Bukan Ngaco, Tapi Menyadarkan Kita Bahwa Dialek Umat Muslim Tidaklah Seragam

Muda, energik, tampak islami,” begitu kira-kira persona yang dibangun Aldi Taher. Teranyar, ia mendeklarasikan diri sebagai “Presiden Cinta”, dan ditengarai sedang mencari wakil presiden.

“Saya presiden cinta, bismillah saya mencari wakil presiden cinta, syaratnya followers Instagram atau followers Youtube subscribe-nya paling tinggi di dunia atau di Indonesia, boleh juga. Silakan yang mau menjadi wakil presiden cinta saya, silakan. Jangan lupa belajar al-Quran yang lancar,” ujarnya.

Ya, subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illallah deh pokoknya!! Unggahan demi unggahan Aldi di media sosial seolah tak pernah lepas dari mushaf al-Qur’an. Di mobil, di coffe shop, di depan rumah makan Padang plus mobil mewah mercedes, dan di manapun dia berada selalu ada al-Qur’an.

Jangan tanya apakah ia dalam keadaan bersuci atau enggak, karena pasti yang demikian itu adalah sama saja menciderai kemurnian dakwah a la #Belajar_Baca_Alquran_Rekam_Posting.

Show off? Belum tentu.

Mana mungkin sekelas orang yang pernah gagal Pilkada dua kali masih mikirin pamer.

Seperti diketahui, eks suami Dewi Persik ini sempat menjajal maju Pilgub di Sumatera Barat (Sumbar) dan Pilgub Sulawesi Tengah (Sulteng), namun keduanya gagal.

Di Sumbar, Aldi mendaftar ke Poros Baru yang digawangi Golkar, Nasdem, dan PKB. Nahas, koalisi tersebut memilih mengusung Fakhrizal-Genius Umar.

Serupa dengan itu, dia juga gagal maju di Sulawesi Tengah. Selain tak ada satu pun partai yang mengusung, Aldi Taher tidak mengantongi cukup dukungan untuk menjadi calon independen.

Apakah ia menyerah? Jangan boleh!!

Dalam sebuah unggahan di Instagram, misalnya, Aldi mengaku bakal mencoba peruntungan di Pilkada-pilkada mendatang.

“InsyaAllah nanti ikhtiar lagi, tahun 2020 maju Pilkada lagi, bismillah,” kata Aldi lewat IG TV @alditaher.official.

Dan, ya, unggahan itu tentu saja sambil memegang mushaf al-Qur’an. Bahkan, ia sempat mengingatkan agar followers-nya selalu belajar al-Qur’an.

“Alhamdulillah gagal Pilkada Sumatera Barat, Pilkada Sulteng, tetap belajar memperlancar baca al-Qur’an, rekam, posting!! Internetmu buat apa? Buat menyampaikan walau satu ayat atau maksiat? Na’udzubillah.

Segera setelah itu, Aldi lalu membaca Q.S. Al-Muthaffifin, daann… seperti bisa diduga, bacaannya sungguhlah menggetarkan sanubari. Telak, materi tajwid Iqra’ jilid tiga saya ikut meronta-ronta.

((((Kitabun Murquum))))

Terus terang, saya sempat mendaras kembali Surah al-Muthaffifin itu, spesifik ayat sembilan. Bukan apa-apa, khawatir saja kalau ternyata hafalan saya yang keliru. Masih tidak percaya, saya pun membuka mushaf.

Ternyata ayatnya bunyi begini:

ٌكِتَابٌ مَّرْقُوْم

Meski begitu, kita memang tidak boleh berburuk sangka. Barangkali Aldi Taher sedang menggelitik kesadaran semua kita bahwa dialek umat Muslim dalam merapal al-Qur’an itu tidak seragam. Sebaliknya, ada begitu banyak rupa dialek dalam membaca Qur’an.

Adapun yang masyhur di tradisi kita itu adalah riwayat Imam Ashim dari jalur Hafs. Betapa tidak, hampir seluruh al-Qur’an yang dicetak itu menggunakan riwayat Imam Hafs. Malahan, pada tahun 1106 H, mushaf al-Qur’an yang dicetak di Jerman juga menggunakan riwayat Imam Hafs.

Kepopuleran Imam Hafs ini bahkan diakui para ulama. Dilansir NU Online, ada banyak pujian yang disampaikan oleh sejumlah ulama kepada Imam Hasf atas dedikasinya terhadap al-Qur’an dan qira’at-nya.

Imam Yahya bin Ma’in, umpama, berkata: “Riwayat yang sahih dari Imam Ashim adalah dari perawi Imam Hafs bin Sulaiman.”

Lalu, Imam Abi Hisyam al-Rifa’I berkata: “Hafs adalah murid Imam Ashim yang paling mengerti atas qira’at Ashim, ia lebih unggul daripada Imam Syu’bah dalam soal ketepatan huruf (dhabt al-huruf).”

Kemudian, Imam al-Dzahabi juga berkata: “Ia (Imam Hafs) adalah seorang yang tsiqah (terpercaya), tsabat (mantap), dan tepat (dhabt)”

Dan, Imam al-Munadi pun berkata: “Ia (Imam Hafs) membaca kepada Imam Ashim berulangkali. Para ulama terdahulu mengangggapnya sebagai orang yang hafal melebihi Imam Syu’bah, dan mensifatinya sebagai orang yang tepat dalam mengucapkan huruf yang diajarkan oleh Imam Ashim”.

Lebih dari itu, Imam Hafs sendiri pernah menyatakan bahwa riwayat bacaannya tidak ada yang menyalahi qira’at Imam Ashim kecuali pada satu kata: yaitu pada Surat ar-Rum ayat 54 (ضعفا، ضعف).

Pada kata itu, Imam Hafs membaca dengan dhammah (pada huruf dlad), sedangkan Imam Ashim membaca dengan fathah. Artinya, Imam Hafs dalam hal ini memiliki dua bacaan, yaitu dhammah dan fathah. Dalam masalah ini, Imam Hafs mengikuti kebanyakan ulama qira’at yang lebih memilih membaca dhammah dan tidak meninggalkan bacaan gurunya.

Di luar itu, percayalah, masih ada dialek lain yang makmum pada bacaan Imam Warsy, Imam Nafi’, dan Imam-imam lain yang tertuang dalam disiplin ilmu Qira’ah Sab’ah (tujuh) d/a Asyrah (Sepuluh).

Lalu, dari manakah bacaan “murqum” itu?

Ah, mungkin saja Aldi Taher sedang mengamalkan Qira’ah Ihda Asyaroh. Etapi, qiraat itu kan mentok di sepuluh. Duh, pucing pala anjay…