Pada kesempatan ini, izinkan saya menyampaikan secuil tafsir surat al-Ma`idah, ayat, 61-63. Agar tidak terlalu panjang, mohon maaf, saya hanya menyampaikan beberapa point penting dalam tiga ayat tersebut. Silatkan ayat dan terjemahannya dibuka di Al-Qur’an masing-masing.
Banyak kitab tafsir menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan terkait kedatangan beberapa orang Yahudi yang menyatakan iman pada Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wasallam.
Allah kemudian memberi tahu Kanjeng Nabi bahwa sesungguhnya mereka telah berlaku munafik karena perbuatan dan perilaku mereka tidak mencerminkan pernyataan iman mereka. Apa buktinya?
Buktinya, bila ada peluang dan kesempatan, mereka segera bergegas melakukan pelanggaran dosa, permusuhan dan aniaya, serta memakan barang-barang yang haram.
Sungguh, mereka telah melakukan keburukan. Sebab, mereka sama sekali tidak mencerminkan keimanan yang telah mereka ikrarkan, yang telah mereka lisankan. Akan tetapi, ternyata ada orang yang keadaannya jauh lebih buruk dari orang-orang Yahudi munafik di atas. Siapa mereka?
Yaitu para ulama, santri, intelektual, akademisi dan orng-orang terpelajar, terdidik, yang membiarkan pelanggaran-pelanggaran yang telah dilakukan oleh umat mereka, tanpa ada ikhtiar, tanpa ada upaya, tanpa usaha mencegah dan menghalanginya. Sikap tidak peduli tersebut menunjukkan bahwa mereka tidak bertanggung jawab dan melalaikan tugas mereka dalam beramar ma’ruf nahi mungkar, dalam menyeru pada jalan kebaikan dan melarang kemungkaran, mencegah keburukan.
Apa yang dapat kita petik dari ayat ini? Antara lain, kita dapat belajar:
Pertama, iman tidak cukup hanya sekedar diucapkan, tapi harus dibuktikan dalam perbuatan dan aktivitas sehari-hari. Saudara-saudara, dalam hemat saya, jangan dipisahkan, ‘yang ini’ ibadah mahdloh, ritual. Sementera ‘yang itu’ ibadah sosial. Keduanya adalah satu, dalam untuk menggapai ridlo Allah.
Kedua, tugas utama para ulama, intelektual dan akademisi, selain mengajak berbuat kebaikan (amar ma’ruf), adalah upaya mencegah terjadinya maksiat dan perbuatan jahat (nahi mungkar).
Ketiga, dosa ulama, intelktual, dan akademisi yang acuh dan tidak peduli dengan terjadinya kemungkaran adalah lebih besar dari dosa pelaku kemungkaran itu sendiri.
Dan barangkali karena merasa beratnya beban yang dipikul oleh para ulama dan akademisi, sahabat Abdullah bin Abbas kemudian menyatakan bahwa ayat ini adalah ayat yang terdahsyat dalam Al-Qur`an: (هي أشد آية في القرآن).
Terkait ayat di atas, Imam adl-Dlahhak juga berkata: “Tidak ada ayat Al-Qur`an yang paling saya takuti selain ayat ini” (ما في القرآن آية أخوف عندي منها).
(4) Sikap tidak peduli dengan terjadinya kemungkaran akan menjadikan Allah meratakan siksa-Nya, bukan hanya kepada pelaku kemungkaran, tapi juga pada semua orang yang ada di daerah tersebut. Ini sebagaimana hadits Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu ‘alayh wasallam:
إن الناس إذا رأوا الظالم ولم يأخذوا على يديه أوشك الله أن يعمهم الله بعذاب من عنده – رواه الترمذي
Wallahu a’lam bish-shawab. (Hilmy Muhammad, Pengasuh Pesantren Krapyak, Jogjakarta)