Salah satu indikator moderasi beragama yang ditetapkan oleh Kementerian Agama RI adalah toleransi, yakni sikap mengakui eksistensi, menghormati dan menghargai keberagaman, baik dalam hal agama, keyakinan, aliran maupun pandangan.
Dengan sikap toleran, semua orang tidak boleh menghina dan mencaci maki agama, keyakinan, aliran atau pandangan orang lain. Dari sikap ini diharapkan bahwa bangsa Indonesia dapat hidup berdampingan secara damai, meskipun berbeda-beda.
Islam memandang toleransi (tasamuh) ini sebagai salah satu sikap terpuji. Hal ini karena dengan sikap tersebut semua orang yang berbeda-beda latar belakangnya bisa hidup dengan tenang dan penuh kemaslahatan.
Ketika Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah pada tahun 622 M., beliau membuat perjanjian bersama dengan umat-umat yang beragama lain, seperti Yahudi dan Kristen, dan dengan suku-suku yang ada saat itu. Kesepakatan bersama ini kemudian dikenal dengan Mitsaqul Madinah, atau Shohifatul Madinah.
Di dalam kesepakatan ini tertera bahwa semua pemeluk agama diberikan kebebasan dalam menjalankan agama dan keyakinannya masing-masing, dan semua suku yang ada memiliki derajat yang setara. Hal ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk bersikap toleran.
Sikap toleran ini bahkan didokumentasi dalam wahyu ilahi. Misalnya, Q.S. al-Ma’idah:47: “Hendaklah para pengikut Injil memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan di dalamnya.Barang siapa tidak memutuskan (perkara) menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang fasik (keluar dari ketaatan kepada Allah Swt.).” Begitu juga, kaum Yahudi di Madinah diberi kebebasan untuk mengamalkan kitab Taurat, sebagaimana yang tertera dalam Q.S. al-Ma’idah: 44-45.
Sebaliknya, sikap intoleran (tidak toleran) dipandang sebagai sikap yang tidak terpuji karena secara sosiologis sikap tersebut dapat menimbulkan perpecahan antar-umat yang berbeda agamanya, sukunya atau aspek-aspek lainnya. Karena itu, Q.S. al-An’am:108 melarang umat Islam memaki sembahan orang-orang kafir, karena mereka akan balik mencaci Allah.
Begitu juga, Q.S al-Baqarah 111-113 melarang kaum Yahudi dan kaum Nasrani di Madinah pada masa Nabi Muhammad SAW mengklaim kebenaran pada kelompoknya masing-masing saja dan menafikan satu dengan yang lain serta tidak saling menghormati. Q.S al-Baqarah: 111-113 itu diwahyukan dalam konteks historis, sebagai berikut.
Juga, diriwayatkan (lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 2:22-23) bahwa sebagian penduduk Najran yang beragama Nasrani menemui Rasulullah di Madinah. Beliau menerima mereka dengan sangat baik dan penuh hormat.
Saat mereka sedang berbicang-bincang dengannya, datanglah sekelompok pimpinan agama Yahudi, lalu mengatakan, “Wahai Muhammad, orang-orang Kristen itu beragama tidak didasarkan pada landasan yang kuat, dan tak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi.”
Tentunya, orang-orang Kristen dari Najran tersinggung dan marah. Mereka merespons dengan mengatakan hal yang sama, yakni bahwa justru kaum Yahudi-lah yang tidak memiliki dasar yang kuat dalam beragama. Mereka juga mengklaim bahwa yang akan masuk surga hanyalah kaum Nasrani saja.
Pertengkaran antara dua kelompok itu terjadi di depan Rasulullah. Beliau lalu memohon kepada Allah agar menurunkan wahyu dalam rangka menyelesaikan konflik ini.
Akhirnya, Allah mewahyukan ayat-ayat tersebut. Di antara pernyataan yang ada di dalamnya adalah: “Barang siapa tunduk/menyerahkan diri kepada Allah (dengan cara mengesakan-Nya) dan berbuat baik, maka dia akan mendapatkan pahala dari-Nya dan tidak ada ketakutan bagi mereka dan mereka tidak akan bersedih hati.”
Dengan pernyataan ini konflik tersebut akhirnya teratasi dengan tanpa memihak salah satunya. Kedua umat tersebut dipersatukan oleh Nabi Muhammad dengan cara mengembalikan mereka ke kalimatun sawa’ (‘kata yang sama’), yakni monoteisme.