Ayat-ayat Perang Ini Tidak Relevan Digunakan Saat Kondisi Damai

Ayat-ayat Perang Ini Tidak Relevan Digunakan Saat Kondisi Damai

Diakui atau tidak di dalam Alquran banyak ayat-ayat yang jika dipahami secara sepintas dapat mendorong umat Islam untuk berbuat kekerasan.

Ayat-ayat Perang Ini Tidak Relevan Digunakan Saat Kondisi Damai

Diakui atau tidak di dalam Alquran banyak ayat-ayat yang jika dipahami secara sepintas dapat mendorong umat Islam untuk berbuat kekerasan. Sejarah peperangan di masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya ketika melawan orang-orang Quraisy yang menyakiti terlebih dahulu secara fisik dan menjegal untuk beribadah, meniscayakan turunnya ayat-ayat yang merespon peristiwa tersebut.

Naasnya, ayat-ayat model demikian itu sering disalahgunakan di masa sekarang, beberapa kali digunakan untuk melakukan kekerasan, intimidasi dan ajakan perang kepada sesama warga negara hanya karena berbeda keyakinan dan pemahaman agama. Hal inilah yang menurut Abdul Mustaqim (pakar Ilmu Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) perlunya memaknai ulang ayat-ayat Alquran yang terkesan mengajak melakukan kekerasan.

Beberapa ayat Al-Quran yang berpotensi dipahami melakukan kekerasan salah satunya adalah Q.S At-Taubah [9]: 36,

إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ

Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa.

Jika dibaca secara sepintas, ayat ini dapat dijadikan dalil untuk memerangi orang musyrik. Dalam konteks keindonesiaan, tidak menuntut kemungkinan untuk berdalil memerangi siapa pun yang berbeda keyakinan (bukan muslim bagi orang Islam). Pemahaman yang hanya sepintas pada ayat di atas, bisa sampai pada kesimpulan bahwa memerangi siapa pun yang tidak beragama Islam adalah suatu kewajiban.

Para mufasir memberi penjelasan bahwa hakikat makna ayat ini hanyalah sebuah dorongan bagi umat Islam untuk melakukan perlawanan terhadap kaum musyrik apabila mereka memerangi terlebih dahulu (defensif).

Para ulama ahli tafsir juga memaknainya sebagai sebuah izin untuk melakukan peperangan di bulan-bulan haram jika hanya kaum musyrik memulai menyerang. Hal itu sebagai balasan (qishash) bagi mereka, sebagaimaan ditegaskan dalam Q.S Al-Baqarah [2]: 194 yang artinya, “Bulan haram dengan bulan haram, dan pada sesuatu yang patut dihormati, berlaku hukum qishash. Oleh sebab itu barangsiapa yang menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.”

Menurut Quraish Shihab, ayat ini menggunakan kata anfusakum, bukan anfusahum atau anfusuna. Itu berarti bahwa adanya kesatuan kemanusiaan antara semua manusia apapun keyakinan dan agamanya. Sehingga jika seseorang menganiaya orang lain, maka sama halnya dengan menganiaya dirinya sendiri. Menurutnya pula, ayat ini membolehkan umat muslim memerangi kaum musyrik manakala orang musyrik telah jelas-jelas memerangi terlebih dahulu.

Artinya, ayat yang secara sepintas memerintahkan umat Islam untuk memerangi orang musyrik atau non-muslim ini sesungguhnya tidak bermakna demikian. Ayat tersebut hanya sebagai izin melakukan peperangan kepada kaum musyrik yang telah lebih dahulu mememerangi umat Islam. Jika tidak ada perlakuan memerangi terlebih dahulu dari mereka, maka memerangi umat lain dengan tanpa sebab apapun adalah perilaku yang dilarang keras oleh agama.

Ayat Al-Quran lain yang juga berpotensi memicu seseorang melakukan perbuatan kekerasan adalah Q.S At-Taubah [9]: 5:

فَإِذَا انْسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ .

Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah ditempat pengintaian. Jika mereka bertaubat dan mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang

Menurut al-Maraghi, perintah memerangi orang kafir dalam ayat tersebut sebab kaum musyrikin selalu memerangi orang Islam tanpa sebab apapun. Menurutnya, jika saja mereka berhenti untuk memerangi orang Islam, niscaya Allah tidak akan menyuruh orang Islam untuk memerangi mereka. Ini berbeda dengan Ibn Katsir yang memberi penjelasan bahwa ayat ini turun sebagai perintah memerangi orang yang enggan untuk membayar zakat pada masa Nabi.

Tidak berbeda jauh dengan al-Maraghi, Jalaluddin al-Mahalli menyebutkan bahwa turunnya ayat tersebut di atas adalah manakala Nabi dan sahabat-sahabatnya disakiti oleh orang musyrik secara fisik. Mereka juga diblokade untuk tidak melakukan ibadah. Setiap kali orang mukmin hendak beribadah selalu disakiti dengan beragam bentuk, seperti dilempari batu, kotoran unta dan lain sebagainya.

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil poin bahwa, peperangan yang dilakukan kaum muslim merupakan perlawanan untuk mempertahankan diri. Rasulullah dan kaum muslim tidak memulai terlebih dulu memerangi kaum musyrik atau kafir. Perintah perang dalam ayat-ayat di atas bukanlah sesuatu yang diwajibkan, melainkan hanya sekadar alternatif untuk melawan para kaum musyrikin yang terlebih dulu menyerang.

Oleh sebab itu, kaum musyrik yang tidak memerangi serta enggan menyakiti orang Islam, tidak diperbolehkan bagi umat Islam untuk memeranginya. Hal ini ditegaskan dalam kalimat terakhir pada ayat di atas, “Jika mereka bertaubat dan melaksanakan shalat, dan menunaikan zakat, maka lepaskanlah jalan mereka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang”.

Dalam menafsirkan ayat-ayat perang ini, Quraish Shihab mengutip pernyataan Thabathaba’i bahwa seorang hamba sudah seharusnya meneladani sifat Allah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Artinya, semua manusia, apapun keyakinannya, sudah seharusnya saling menyayangi dan mengasihi satu sama lain, harus selalu damai, dan harus menjalin hubungan kemanusiaan satu sama lain secara harmonis. Hubungan manusia dengan manusia lain (hablum mina an-nas) harus terus disinergikan demi keberlangsungan hidup yang diharapkan agama, yaitu hidup dalam kerukunan dan perdamaian.

Wallahu a’lam.

 

Artikel ini diterbitkan kerja sama antara islami.co dengan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemkominfo