Di suatu zaman, hidup seorang yang sangat kaya raya dengan harta melimpah. Tidak saja banyak harta, ia juga memiliki keturunan yang banyak. Agaknya, punya banyak anak menjadi salah satu simbol kemewahan dalam hidup, saat itu. Karena begitu banyak harta yang dimiliki, dalam satu kesempatan, ia berkata kepada keluarganya, “nikmatilah harta ini untuk beberapa tahun ke depan!”
Selepas itu, ternyata ada seorang tamu mengetuk pintu rumahnya. Tamu itu adalah malaikat maut yang menyamar dan berpenampilan sebagai seorang yang miskin. Setelah salah satu anggota keluarga si kaya ini membuka pintu, malaikat itu bertanya, “Pak Fulan ada?”.
“Maaf, beliau sedang keluar mendatangi orang sepertimu,” ujar salah satu keluarganya sambil berbohong. (Maksudnya adalah si Fulan sedang keluar rumah, datang kepada orang-orang miskin sambil memberikan bantuan kepada mereka, pen.). Pintu rumah pun kemudian ditutup.
Malaikat itu diam sejenak dan kemudian mengulangi lagi apa yang barusan ia lakukan, Ia mengetuk pintu lagi. Setelah pintu dibukakan, ia berkata, “Tolong sampaikan kepadanya, aku adalah malaikat maut!”
Ternyata, dari dalam si Fulan mendengar apa yang dikatakan tamu itu. Mendengar itu ia begitu kaget. Ia langsung berkata kepada anggota keluarganya untuk berhati-hati ketika berbicara dengan tamu itu. Anggota keluarganya itu pun bertanya kepada malaikat itu, “Apa maksud kedatanganmu ke sini selain untuk mencabut nyawa Pak Fulan?”.
“Tidak ada,” jawab malaikat singkat.
Malaikat itu pun menemui si Fulan dan memerintahkan untuk berwasiat kepada keluarganya selagi ada waktu, karena sebentar lagi ia akan menemui ajalnya. Para anggota keluarga yang medengar ucapan malaikat itu hanya bisa menangis.
“Bukalah semua peti tempat menyimpan semua aset keluarga!” kata si Fulan memerintahkan anggota keluarga. Mereka pun membuka semua peti sebagaimana diperintahkan. Di dalam peti-peti itu terdapat begitu banyak emas, perak, dan harta berharga lainnya.
Setelah semua dibuka, ia mengutuk dan melaknat harta-harta miliknya itu, “Sungguh terlaknat kalian semua. Kalian selama ini telah membuatku lupa kepada Allah Swt. Kalian juga telah melalaikan aku dari akhirat. Bahkan hingga detik ini ketika ajalku sudah tiba”.
baca juga: protes pembela agama Allah di Akhirat
Ternyata harta-harta yang ada di depannya tidak terima mendapat kutukan dan tuduhan seperti itu. Dengan izin Allah, tiba-tiba mereka bisa berkata, “Janganlah kamu menggutukku! Bukankah awalnya kamu adalah orang yang hina dan aku bisa mengangkat derajatmu di hadapan manusia? Bukankah pula itu berarti aku berdampak baik dalam kehidupanmu?”.
Tidak hanya itu, harta-harta itu melanjutkan, “Apakah kamu lupa, kamu rela mendatangi para pejabat dan ketika orang-orang shalih datang kepadamu kamu menolak mereka? Bukankah kamu juga melamar anak-anak para para pejabat itu untuk dinikahkan dengan anak-anakmu dan ketika orang-orang shalih itu datang untuk melamar anakmu engkau tak bersedia?”
“Ketika kamu menggunakan aku untuk tujuan keburukan, aku juga tidak protes dan menolak. Padahal jika seumpama kamu gunakan aku untuk kebaikan, aku juga tidak menolak. Mengapa kamu memilih untuk menggunakan aku sebagai sarana perbuatan buruk?” kata harta itu semakin memuncak kemarahannya.
Ia mengakhiri luapan kemarahan itu sambil dengan kalimat, “Sekarang, hari ini, engkau lebih hina dari aku. Aku dijadikan Allah SWT memang seperti ini, netral, tidak bisa berbuat apa-apa. Sedangkan engkau dicipatakan Allah dari tanah dan diberi kemampuan untuk berbuat baik dan buruk!”
Kisah ini terdapat dari ‘Uyun al-Hikayat karya Ibnu Jauzi. Dari sini kita mengetahui bahwa hal-hal duniawi itu sifatnya netral: tidak buruk dan tidak baik. Ia menjadi bernilai baik/buruk karena kita yang menggunakannya. Dan yang paling penting, pahala atas pemanfaatan atau dosa dari penyalahgunaan harta akan kembali kepada kita masing-masing.
Allah Swt. berfirman:
اِنَّمَآ اَمْوَالُكُمْ وَاَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۗوَاللّٰهُ عِنْدَهٗٓ اَجْرٌ عَظِيْمٌ
“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah pahala yang besar”. (At-Taghabun/64:15)
Dalam tafsir al-Muntakhab dijelaskan bahwa ayat ini menjelaskan bahwa harta dan anak adalah ujian. Jika seseorang bisa memanfaatkannya dengan baik, maka ia mendapat pahala. Namun, jika yang terjadi sebaliknya (ia terperdaya oleh harta), maka harta akan benar-benar menjadi fitnah baginya. Semoga Allah anugerahi kita kemampuan untuk bisa menggunakan harta-harta milik kita di jalan yang benar. Laa haula wa laa quwaata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim…
Sumber:
Jamaluddin Abi al-Farj bin Ibn al-Jauzi, ’Uyun Al-Hikayat (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2019), hlm. 49-50.
Tim Lajnah Ulama Al-Azhar, al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, (Mesir: al-Majlis al-A’la, 1995), hlm. 833.